Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HATI YANG TERLUKA
Mursyidah sampai di rumah setelah lewat waktu dzuhur. Mbok walijah tersenyum melihat kedatangannya. Wanita tua itu sengaja duduk di depan rumah sambil menunggui padinya yang sedang di jemur dan juga menunggu kedatangan Mursyidah. Ia sempat khawatir karena Mursyidah yang belum juga datang sementara adzan dhuhur sudah lama berkumandang.
Mursyidah menghampiri mbok Walijah dan meraih tangannya lalu menciumnya dengan takzim, layaknya wanita tua itu adalah ibunya.
"Kenapa lama pulangnya nduk? kamu ndak diapa-apakan sama mereka di sana kan?"
"Nggaklah mbok, orang mereka semua nggak ada yang kenal sama aku," jawab Mursyidah sedikit bangga karena penyamarannya berhasil, meski tadi dia sedikit merasa khawatir.
"Syukurlah... mbok ndak ingin kamu kenapa-napa di sana. Kamu sudah makan? mbok masak brongkos ayam kesukaanmu."
"Aku mau shalat dulu mbok, baru makan," sahut Mursyidah.
"Yo wes sana shalat dulu, nanti ceritakan pada mbok apa rencanamu sebenarnya. Jangan sampai kamu salah mengambil langkah karena luka hatimu."
"Iya mbok." Mursyidah tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapih.
**
Malam harinya Mursyidah duduk melamun seorang diri. Kembali teringat olehnya saat tadi pagi di rumah Gunadi, suami yang sebentar lagi akan diceraikannya. Bagaimana istri lelaki itu bahagia di atas penderitaan Mursyidah, begitu juga dengan Rukmini ibu Gunadi. Wanita itu benar-benar tidak menghargai Mursyidah, dia hanya mengganggap Mursyidah sebagai sapi perah. Sedangkan pada Astuti dia sangat baik. Entah apa yang dipandangnya pada diri Astuti. Cantik? Tentu saja cantik karena perawatan. wanita itu dapat membeli segala macam skincare diberi uang oleh Gunadi dari kiriman Mursyidah.
Sedangkan dulu Mursyidah harus menangis dulu jika meminta uang. Jangankan untuk membeli makeup, untuk makan saja Mursyidah harus ikut banting tulang membantu Gunadi. Karena hidup susah itulah Mursyidah nekad bekerja di luar negeri untuk memperbaiki hidup keluarganya meskipun saat itu anaknya masih kecil. Namun, lihat apa yang diterimanya sekarang?
Pengkhianatan!
Mursyidah merenung seorang diri, batinnya tidak terima dengan pengkhiatan yang dilakukan oleh suaminya. Hatinya sangat terluka sehingga rasa sakit itu seperti mengiris-iris setiap serat di hatinya. Mursyidah merasa dikhianati bukan hanya oleh suaminya, tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitar suaminya seperti ibu mertuanya yang sangat dia hormati, meskipun kenyataannya mertuanya itu tidak pernah menyukainya. Kepercayaannya pada sang suami yang telah dia bangun selama ini kini hancur berkeping-keping, meninggalkan luka yang dalam dan rasa sakit yang tak terkira.
Mursyidah merasa seperti kehilangan sebagian dari dirnya sendiri, dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang salah serta mengapa ini semua terjadi padanya terus saja menghantuinya. Dalam keheningan malam dan kesendiriannya, air matanya mengalir tanpa suara, sementara dia mencoba memahami bagaimana semuanya bisa berubah menjadi seperti ini.
Bukan hanya itu saja, kepergian ibunya yang tiba-tiba turut menambah kesedihannya dalam luka batin karena ulah suaminya. Beruntunglah ibunya tidak mengetahui jika Mursyidah dikhianati oleh Gunadi suaminya. Seandainya saja ibu masih ada dan melihat penderitaan anaknya pastilah ibunya akan merasa sedih. Mursyidah masih bersyukur karena ibunya tidak tahu jika anaknya telah diduakan.
Mursyidah memejamkan matanya perlahan, berusaha menguatkan hati. Namun, kenyataannya Mursyidah tidaklah sekuat itu, air matanya tetap saja mengalir. Kesedihan dan juga rasa perih karena luka yang ditorehkan oleh suami yang sangat dia cintai membuat
Tubuhnya lemah, mungkin saja hatinya saat ini sudah sangat berdarah-darah karena luka itu terlalu dalam. Tak terasa Mursyidah tidur dalam tangisnya.
Dua hari setelah mengurung diri dalam rumah tanpa tahu apa yang harus dia lakukan, Mursyidah memutuskan mendatangi makam ibunya. Kali ini dia melakukan ziarah kubur sendiri tanpa di temani oleh siapa pun. Mungkin dengan mendatangi makam ibunya hatinya merasa sedikit lebih tenang. Matahari baru naik sepenggalan, Mursyidah sudah meninggalkan rumahnya dengan berjalan kaki. Seorang diri dia menyusuri pematang sawah dan jalan setapak. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah sempat memandang ke arahnya, tapi dia tidak mengenali Mursyidah karena wanita itu sengaja mengenakan khimar panjang dan juga cadar.
Tidak berapa lama Mursyidah sampai di area pemakaman yang sunyi. Mursyidah langsung menuju makam ibunya dan bersimpuh di sana. Matanya menatap ke ujung pusara ke arah kepala di mana ibunya berbaring.
Air matanya sudah lebih dulu keluar sebelum dia berbicara,
"Assalamualaikum ibu... Ibu baik-baik saja kan di sana?" gumam Mursyidah lirih. Tangannya sibuk mengumpulkan daun-daun kering yang jatuh di atas pusara sang ibu.
"Bu, aku selalu mendoakan ibu di setiap selasai sujudku semoga ibu tenang di sana. Bu, aku rindu padamu. Bolehkah aku mengeluh bu? Saat ini aku sedang sedih bu, aku harus bercerita kemana? Aku nggak kuat bu.
Apa sebaiknya aku ikut ibu saja?"
Mursyidah mengusap kayu yang menjadi nisan ibunya seolah-olah itu adalah kepala ibunya. Mursyidah menempelkan hidungnya di ujung nisan kayu tersebut, menciumnya lama. Air matanya yang mengalir deras tanpa dapat dibendung membasahi kayu nisan sang ibu. Rasanya memang lebih baik jika dia bersama sang ibu, dunianya tanpa ibu sangat tidak baik-baik saja. Haruskah dia mengakhiri hidupnya untuk dapat bersama dengan ibunya. Hati Mursyidah benar-benar sudah sangat galau, bingung. Entah apa yang akan dilakukannya. Dia seperti tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Lama Mursyidah termenung seorang diri. Mungkin dengan mengakhiri hidupnya dia tidak akan menderita lagi. Dia akan senang bertemu ibunya dan tinggal selamanya bersama ibunya tersebut. Tapi apakah ibunya mau menerimanya yang telah menjadi pendosa? Teringat kembali olehnya pesan ibunya saat dia sering berkeluh kesah tentang kesulitan ekonomi dalam rumah tangganya.
'Bagaimanapun putus asanya kamu, jangan pernah terpikirkan olehmu untuk mengakhiri hidup. Itu dosa besar nak! Bumi tidak akan pernah menerimamu, ingat itu!' kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Mursyidah.
Tidak! Dia tidak boleh menyerah! Meskipun kehilangan ibu, tapi dia masih punya Amar dan Aini yang harus dia jaga dan perjuangkan. Kedua orang itu sangat membutuhkannya, pastilah mereka akan sangat terluka jika Mursyidah tiada. Mursyidah menegakkan badannya dan menghembuskan napas kasar. Dia harus bangkit dan kuat. Dia masih memiliki kesempatan untuk memulai kembali dan menemukan jalan hidup yang baru. Dunia mungkin terasa berat baginya saat ini, tanpa ibu dan dikhianati suami. Namun, dia bisa mencari dukungan dari orang-orang yang peduli padanya dan membangun kehidupan yang lebih baik.
Mengakhiri hidup bukanlah solusi, melainkan mencari cara untuk menghadapi kesulitan dan menemukan harapan di tengah kegelapan dan rasa putus asanya.
Mursyidah mengusap air matanya.
"Bu, maafkan anakmu ini bu. Pikiranku benar-benar kacau bu, diriku rasanya sangat labil saat ini. Maaf jika aku tadi sempat membuatmu kecewa. Aku bingung bu, aku tidak tau lagi mana yang benar dan yang salah. Bu, aku pamit ya, aku pulang dulu... baik-baik ibu di sana."
Pandangan mata Mursyidah menyapu sekeliling pusara sang ibu, tangannya bergerak mengusap tanah di dekat pusara tersebut. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Sebuah pecahan botol kaca yang cukup tajam. Mursyidah mengangkat pecahan beling itu. Entah setan apa yang merasukinya hingga dia mengayunkan dengan cepat ke arah pergelangan tangannya sambil memejamkan matanya. Memang inilah jalan terbaik menurutnya untuk obat hatinya yang terluka.
Blaashh...
aku suka cerita halu yg realitis.