“Mutiara Setelah Luka”
Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.
Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.
Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 PERMULAAN BARU YANG TIDAK DIINGINKAN
Pulang ke rumah seharusnya menjadi hal yang menenangkan, tapi bagi Kenzo, semua terasa berbeda. Rumah besar itu tidak lagi terasa seperti tempat tinggal. Lebih mirip ruangan kosong yang setiap sudutnya mengingatkan pada Amara.
Dulu, ia selalu pulang dengan penampilan rapi: kemeja licin, rambut tersisir, sepatu mengilap. Semua tertata karena Kenzo memang perfeksionis. Namun sekarang, ia terduduk di kursi roda, rambutnya tidak lagi tertata, sorot matanya kosong, dan ia hanya mengenakan baju seadanya.
Kondisi rumah yang biasa ramai kini terasa lebih sunyi. Semua orang berhati-hati, takut menyinggung perasaan Kenzo yang rapuh. Bahkan Rio, asistennya, yang biasanya cerewet memberi laporan kini bicara singkat-singkat saja.
Meski bisa bekerja dari rumah, Kenzo hampir tidak pernah fokus. Jika ada rapat penting, Rendra—ayahnya—yang turun tangan. Selebihnya, Rio mengambil alih seluruh pekerjaan dan hanya meminta tanda tangan jika benar-benar dibutuhkan.
Bu Saras tidak pernah berhenti memberi semangat.
“Ken, Nak… kamu harus mencoba terapi. Sedikit saja. Tidak perlu memaksakan diri,” ucapnya hampir setiap pagi.
Tapi Kenzo tidak pernah menjawab. Kadang ia hanya menatap kaca jendela yang menampilkan taman belakang, kadang ia memejamkan mata seolah tidak ingin mendengar apa pun.
Dalam hatinya, ia merasa lebih baik mati bersama Amara. Setiap detik ia dihantui rasa bersalah:
Seandainya saja aku tidak meninggalkannya di kamar operasi.
Seandainya saja aku tidak mengemudi seperti orang bodoh.
Seandainya saja aku mati, mungkin ini tidak terlalu menyakitkan.
Ucapan dokter terus terngiang di kepalanya—ucapan yang membuatnya benar-benar menyerah.
“Kalau aku tidak mau terapi… apa yang akan terjadi?” tanyanya dulu kepada dokter.
Dokter menatapnya dengan serius.
“Pak Kenzo… kalau bapak tidak mau berusaha, maka Anda akan lumpuh selamanya.”
Dan jawaban Kenzo waktu itu jelas.
“Baik, Dokter. Kalau begitu aku baik-baik saja lumpuh seumur hidup. Itu untuk menunjukkan rasa bersalahku pada almarhum istriku, Amara.”
Ibu Saras menangis mendengar jawaban itu. Rendra marah, tapi tidak bisa memaksa.
Kenzo sudah tidak punya keinginan untuk hidup. Ia hanya bernapas karena tubuhnya masih berfungsi—bukan karena ia punya harapan.
Hari demi hari berlalu tanpa perubahan. Kenzo mengurung diri di kamar, atau duduk lama di balkon tanpa bergerak. Seolah hidupnya berhenti sejak Amara pergi.
Hanya satu hal yang sesekali membuatnya membuka mata: suara tangis Zavian.
Itu pun bukan rasa sayang yang muncul, melainkan rasa bersalah yang semakin dalam.
Baginya, Zavian adalah anak yang ia cintai… tapi juga pengingat terbesar bahwa ia telah kehilangan Amara.
---
Beberapa hari kemudian, kabar dari rumah sakit datang.
Zavian sudah boleh pulang.
Bu Saras adalah orang yang paling sibuk mempersiapkan semuanya. Ia tahu Kenzo belum siap mengurus bayi. Maka ia memutuskan mencari pengasuh khusus. Ia ingin seseorang yang lembut, penurut, dan bertanggung jawab, tapi juga orang yang bisa tinggal di rumah karena Zavian membutuhkan perhatian penuh.
Setelah berpikir panjang, Bu Saras teringat panti asuhan yang sering ia datangi. Ia sudah bertahun-tahun menjadi donatur tetap. Tempat itu punya banyak anak perempuan yang rajin dan terlatih mengurus adik-adik kecil.
Dua hari kemudian, Bu Saras pergi ke sana.
“Ibu Saras, syukurlah datang,” sambut kepala yayasan, seorang perempuan paruh baya yang ramah.
Bu Saras langsung menceritakan semuanya—kepergian Amara, kondisi Kenzo, kelahiran Zavian yang prematur, hingga rencananya mencari pengasuh yang bisa dipercaya tinggal di rumah.
Kepala yayasan mendengarkan dengan penuh empati. “Saya ikut prihatin, Bu. Insyaallah kami bisa membantu.”
Ia memanggil salah satu anak panti. “Tiara, sini Nak.”
Gadis itu muncul dengan langkah pelan. Tubuhnya ramping, rambutnya panjang dikuncir sederhana, wajahnya bersih tanpa make up. Usianya terlihat muda tetapi dewasa. Gerak-geriknya sopan. Di panti, ia dikenal sebagai gadis yang paling telaten mengurus bayi.
“Tiara, Ibu Saras butuh seseorang untuk mengasuh cucunya. Kamu mau membantu?” tanya kepala yayasan.
Tiara mengangguk tanpa ragu. “Iya, Bu. Saya mau.”
Kepala yayasan tersenyum lalu memperkenalkan. “Ibu, ini Mutiara. Usianya 23 tahun. Tapi insyaAllah dia bertanggung jawab. Dia terbiasa mengurus bayi-bayi di sini.”
Bu Saras memegang tangan Mutiara. “Kamu bersedia tinggal di rumah kami, Nak?”
Mutiara menjawab dengan sopan, “Iya, Bu. Saya bersedia.”
Begitu tiba di rumah keluarga Aditama, Mutiara langsung terpukau. Dalam hati ia berkata bahwa tempat itu bukan rumah—tapi semacam istana. Semuanya rapi, besar, mahal, dan bersih.
Bu Saras menunjukkan kamar bayi. “Kamar ini nanti kamu tempati juga. Biar kalau Zavian menangis malam-malam, kamu bisa cepat mengurusnya.”
Mutiara melihat ranjang bayi, perlengkapan lengkap, baju-baju kecil yang sudah tertata, dan tempat tidur kecil untuknya sendiri. Ia mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu.”
---
Esok harinya, Mutiara mulai bekerja. Saat pagi, Zavian sudah bangun dan menangis. Mutiara langsung menggendongnya dan memandikan bayi itu dengan telaten. Gerakannya lembut namun cekatan, menunjukkan bahwa ia memang terbiasa.
Ia mempersiapkan air hangat, sabun bayi, handuk kecil, lalu memandikan Zavian dengan hati-hati. Bayi itu terlihat nyaman, tidak rewel, bahkan beberapa kali tersenyum kecil.
Saat itulah seseorang masuk ke kamar.
Pintu terbuka perlahan.
Suara roda kecil dari kursi terdengar menyentuh lantai.
Kenzo muncul dengan penampilan seadanya: rambut sedikit berantakan, wajah tanpa ekspresi, dan tubuh lemah yang bersandar di kursi rodanya.
Ia datang tanpa suara, hanya menatap lurus ke arah bayi di tangan Mutiara.
Mutiara terkejut, tapi ia tidak panik. Ia hanya berdiri tegak sambil tetap memegangi Zavian.
Kenzo memperhatikan dengan seksama. Tatapannya tajam namun kosong. Ia memperhatikan cara gadis itu memandikan putranya, cara tangannya menahan kepala Zavian, dan ekspresi lembutnya saat menenangkan bayi itu.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kenzo mengamati seseorang bukan karena terpaksa, melainkan karena rasa penasaran yang muncul begitu saja.
Dan ketika tatapan mata mereka bertemu…
Mutiara menunduk sopan.
Sementara Kenzo…
Tidak tahu harus mengatakan apa.
— bersambung.
Haii readers selamat pagi selamat membaca...