Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Luka yang Akhirnya Bicara
Nara menatap Sergio, matanya melebar, dada sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir. Dan Tuhan, ia benar-benar tidak ingin membahasnya lagi.
"Tuan Sergio," katanya buru-buru, sebelum pria itu sempat bicara lebih jauh. Suaranya bergetar, tapi tegas. "Kalau Anda mau membahas soal malam itu… tolong jangan."
Sergio menatapnya tajam, tapi diam.
"Saya tahu apa yang terjadi sudah salah, tapi saya sudah memaafkan semuanya. Kita sama-sama dijebak, sama-sama korban dari hal yang bahkan tidak kita sadari." Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Saya sudah mengajukan pengunduran diri. Kapal akan bersandar sore ini. Saya hanya ingin pergi dengan tenang, tanpa membawa dendam atau kenangan buruk apa pun. Mohon, biarkan saya memulai hidup baru."
Nara lantas menunduk, menunggu kata setuju keluar dari mulut Sergio. Tapi tak ada.
Pria itu hanya menatapnya dalam diam. Tatapan itu dingin, dalam, dan penuh sesuatu yang tidak bisa Nara tafsirkan itu membuatnya gelisah.
"Tidak, Nara," akhirnya Sergio bicara, pelan namun penuh tekanan. "Bukan itu yang ingin aku bahas."
Nara mendongak, bingung. "Lalu apa?"
Sergio menghela napas pelan. Ia berjalan beberapa langkah, lalu berhenti di hadapannya. "Ada hal lain. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar malam sialan itu."
"Hal lain?" Nara mengerutkan kening, ragu.
Sergio memasukkan tangannya ke saku celana, menatap jendela yang basah oleh embun laut. "Aku nggak bisa pura-pura nggak tahu, Nara,"
Nara menatapnya, heran. "Nggak tahu apa?"
"Setelah kegilaan itu, aku lihat noda darah di seprai"
Nara membeku. Helaan napasnya tercekat.
"Aku pikir waktu itu cuma luka kecil. Aku bahkan nyalahin diri sendiri karena terlalu kasar. Tapi ada sesuatu yang … nggak lepas dari pikiranku. Aku tahu darah itu bukan luka biasa.” lanjut Sergio, suaranya terasa berat. Ia melangkah maju, mendekat tanpa izin, memaksa Nara merasakan kehadirannya yang dominan. "Aku konfirmasi secara rahasia ke tim medis kapal. Aku cuma bertanya apa arti noda darah seperti itu tanpa ada luka luar? Dan mereka bilang … itu jelas robekan selaput dara."
Sergio berhenti tepat di hadapan Nara, memaksa wanita itu mendongak. Wajahnya yang tampan kini dibayangi rasa bersalah yang kelam.
"Artinya…" Sergio berbisik, mematikan. "Kamu masih perawan saat aku menyentuhmu malam itu."
Ia memaksa Nara melihat luka di matanya. "Jadi sekarang, jelaskan! Jelaskan kenapa delapan tahun lalu aku lihat kamu telanjang di kamar hotel dengan pria lain … tapi sekarang aku malah tahu kamu nggak pernah disentuh siapa pun!"
Shannara menutup mata sejenak seperti seseorang yang baru saja ditelanjangi oleh kebenaran yang seharusnya tetap terkubur.
"Saya nggak mau bahas itu," ujarnya dengan suara bergetar.
Sergio menatapnya tajam.
"Kenapa? Karena kamu takut aku tahu yang sebenarnya? Atau karena kebenaran itu lebih menyakitkan daripada kebohongan yang kamu pilih?"
"Karena nggak semua kebenaran perlu diucapkan," balas Shannara pelan, matanya mulai basah. "Kadang diam lebih menyelamatkan."
"Menyelamatkan siapa?!" Sergio meninggi, matanya nyala. "Kamu? Aku? Atau orang yang ngerusak kita delapan tahun lalu?!"
Air mata Shannara jatuh satu-satu, tapi suaranya tetap tegas.
"Kalau waktu itu saya jelaskan, kamu nggak bakal berhenti. Kamu bakal terus lawan semua orang ... termasuk ibumu sendiri. Dan saya nggak mau lihat kamu kehilangan segalanya cuma karena saya."
Sergio menatapnya lama. Rahangnya mengeras, suaranya pecah.
"Jadi kamu biarin aku lihat kamu di pelukan orang lain … cuma biar aku berhenti mencintaimu?"
Shannara tersenyum kecil, getir.
"Itu satu-satunya cara yang saya punya waktu itu."
"Dan kamu pikir aku bisa berhenti?! Delapan tahun, Nara!" suaranya parau, penuh luka yang menahun. "Aku bangun tiap pagi dengan wajah kamu di kepalaku. Aku benci kamu, tapi di malam-malam sunyi aku masih nyari kamu dalam mimpi terburukku."
Shannara menunduk, bahunya bergetar.
"Kalau begitu, bencilah saya seumur hidup. Tapi jangan cari saya lagi. Karena kalau kamu tahu siapa yang nyebabin semua ini … kamu nggak akan pernah bisa hidup dengan tenang."
Sergio terdiam.
Sekali lagi, nama ibunya muncul di pikirannya, tapi ia menolaknya. Tidak. Ia tak mau percaya.
"Kamu sembunyikan sesuatu," gumamnya lirih. "Aku bisa lihat itu di matamu."
"Yang saya sembunyikan," balas Shannara pelan, "adalah hal yang akan menghancurkanmu kalau saya ucapkan."
Ia menatapnya dalam, mata mereka bertemu, seperti dua luka yang saling mengenali.
"Tolong, ...Jangan paksa saya bicara.”
Sergio terdiam lama. Lalu suaranya menurun, dingin dan pelan seperti bilah pisau yang diseret.
"Baik. Aku nggak akan paksa kamu. Tapi kamu juga nggak akan turun dari kapal ini sendiri."
Shannara menatapnya tak percaya.
“Kenapa?” tanya Shannara, suaranya serak namun menusuk. "Kenapa Anda begitu terobsesi menggali masa lalu? Anda sudah punya hidup sendiri. Istri yang cantik, keluarga yang anda banggakan. Bukankah itu cukup? Untuk apa lagi mengungkit masa lalu yang sudah seharusnya dikubur?"
Sergio tersentak, nama istrinya menghantamnya seperti palu dingin, mengingatkannya pada realitas yang ingin ia abaikan.
"Ini tidak ada hubungannya dengan dia, Nara." jawab Sergio, nadanya dingin, berusaha keras mempertahankan benteng pertahanannya.
"Tentu saja ada! Jangan munafik!" Shannara membantah, suaranya meninggi, menusuk. "Apa yang Anda lakukan sekarang? Bertingkah seperti kita berselingkuh dibelakang punggungnya?! Saya tidak akan menjadi wanita seperti itu! Saya ingin keluar dari kekacauan ini!"
Ia mundur selangkah, menunjuk ke arahnya dengan tangan gemetar.
"Tolong, jangan bersikap seolah-olah Anda dan saya masih memiliki sisa-sisa kisah romansa yang harus dilanjutkan! Saya ingin menutup semua ini! Saya hanya ingin hidup tenang! Anda harus kembali ke kehidupan Anda yang sempurna, dan biarkan saya busuk dalam kedamaian saya sendiri!"
"Kamu bicara seolah masa lalu itu hanyalah debu yang bisa disapu," Sergio membalas, suaranya kini dipenuhi keputusasaan yang lebih dalam.
"Aku sudah bilang, aku tidak bisa. Dan kamu membuat semuanya jauh lebih sulit dengan diammu."
Ia melangkah maju, paksa, matanya gelap karena ketakutan baru yang ia sadari.
"Aku harus tahu kebenarannya, Nara. Demi kita, dan demi konsekuensi yang mungkin terjadi."
Shannara menatapnya, bingung. "Konsekuensi apa?"
"Malam itu," Sergio berbisik, suaranya tercekat. "Aku tidak menggunakan pengaman. Sama sekali. Aku mabuk dan dikuasai amarah yang salah, Nara. Aku … aku melampiaskan semuanya padamu. Aku mengeluarkan benihku di dalam dirimu … berulang kali."
Ia menunduk, matanya menatap perut Shannara. Kata-katanya keluar dengan nada pengakuan yang menyakitkan.
"Bagaimana kalau... bagaimana kalau kamu hamil anakku, Nara? Anak yang lahir dari kebohongan dan penyesalan terbesarku."
Shannara terhuyung, ia nyaris tak bisa berdiri. Fakta ini menghantamnya lebih keras daripada semua pengkhianatan Risa dan Bayu. Ia menatap Sergio, rasa takut dan penyesalan bercampur aduk.
"Tidak!" teriaknya, menutup wajah. "Jangan bilang begitu ... Saya tidak bisa! Jangan … Saya tidak mau! Anak yang lahir dari kebohongan dan dosa!"
"Karena itulah kamu tidak bisa pergi,” potong Sergio, nadanya final. Ia memegang kedua pipi Shannara, memaksa wanita itu menatapnya. "Selama ada kemungkinan sekecil apa pun, kamu harus berada di bawah pengawasanku. Bukan sebagai selingkuhan. Bukan sebagai aib."
Ia menarik napas dalam, membiarkan kebenaran yang baru itu terasa pahit.
"Tapi sebagai wanita yang mungkin membawa pewarisku"