Pov. Reyna
Nampaklah mereka berjalan mendekat ke arah ruang tengah. Setiap langkahnya yang kudengar membuat jantungku berdetak lebih kencang serasa mau copot. Tubuhku semakin kaku tak mampu digerakkan. Kakek berdiri menyambutnya dengan pelukan untuk melepas kerinduan.
Aku mendongakkan kepala memberanikan diri melihat ke arah tamu nenek dan kakek. Rasa penasaranku semakin menjadi saat mendengar suara familiar yang sangat aku kenal.
Deg! Rangga!!
Tepat di saat itu dia menatapku dan pandangan kami pun bertemu. Sepertinya dia juga terkejut melihatku. Saat kakek melerai pelukannya, kemudian dia berdiri menghadap ke arahku.
Aku merangkum wajahnya yang tidak banyak berubah meski postur tubuhnya sudah berubah menjadi laki-laki dewasa. Aku masih mengenalinya meski bertahun-tahun kita tidak pernah bertemu. Bahkan, tatapan matanya masih sama seperti yang dulu.
Pandangan matanya tajam dan menusuk hingga relung hatiku. Beberapa saat kami saling diam dan hanya sorot mata itu yang berbicara. Entah apa yang ada dalam isi kepalanya, namun dia menatapku cukup lama seolah tak ingin melepaskan ku dari pandangannya.
"Kalian saling kenal?" tanya kakek yang seketika membuyarkan suasana.
Aku tersadar dan segera beralih melihat ke arah kakek. Mungkin kakek juga menyadari ada sesuatu di antara aku dan dia. Sehingga kakek mempertanyakan hal itu.
Aku menunduk melihat ke bawah lantai, sekarang meliriknya pun aku tak berani. Aku dan Rangga tidak menjawabnya dan masih terdiam. Dari bayangan aku yakin saat ini dia masih menatap ku. Aku pun jadi salah tingkah.
Tulilit tulilit tulilit!
Tiba-tiba terdengar dering handphone berbunyi. Kuambil handphone di atas nakas dan mengeja di dalam hati nama yang tertera pada layar. Rupanya telepon dari Mira, sahabatku.
Syukurlah, Mira menelepon disaat yang tepat.
Kurasa Allah telah menyelamatkan ku lewat Mira.
"Maaf, saya permisi dulu!" ujarku sembari melirik sekilas ke arah mereka yang ada di depanku, kemudian berpaling.
Aku berlalu meninggalkan ruang tengah menuju kamarku. Ku ambil napas panjang dan menghelanya perlahan. Segera aku mendial warna hijau yang berada di layar handphoneku.
"Haloo, Mir. Assalamu'alaikum," ucapku.
"Wa'alaikumsalam. Beb, besok ultah Nathan, gue belom sempet beliin kado, bingung mau ngasih apa, lo bantuin gue dong nyari sesuatu buat dia!" tutur Mira.
Kebiasaan Mira langsung nyerocos saja, kalau ngomong gak pakai koma.
"Iya deh, Mir! Kapan nih mau berangkatnya?" tanyaku.
"Nanti sore ya, Beb? jam lima gue jemput di rumah lo."
"Iya deh, siap!" jawabku singkat.
"Beb, udah dulu yah, ni nyokap minta dianter ke salon buat kondangan. Nanti gue kabarin lagi kalo uda mau ke sana. Dah ya beb, assalamu'alaikum!" Mira mengakhiri teleponnya.
"Iya, wa'alaikumsalam."
Telepon ditutup.
Aku bingung mau keluar kamar lagi atau tidak. Tujuh tahun sudah berlalu tapi setelah sekarang bertemu hatiku masih saja berdebar-debar waktu melihatnya.
Akhirnya kuputuskan keluar kamar. Kulihat di ruang tengah sudah sepi.
Mungkinkah dia sudah pulang?
Syukurlah, kuhirup napas dalam-dalam, kemudian ku keluarkan dari hidung perlahan. Rasanya lega, aku berjalan menuju dapur dengan tersenyum lebar.
Begitu sampai di lorong menuju dapur, aku berhenti mendadak karena terkejut dengan sosok yang tiba-tiba muncul di depanku.
"Eiitzzz..!" pekikku kaget.
Hampir saja aku bertabrakan dengan Rangga. Sejenak kami hanya diam saat pandangan kami bertemu. Sungguh perasaanku tidak nyaman. Dengan segera aku berpaling memutus pandangan, dan beranjak melipir hendak melewatinya. Tapi lagi-lagi dia menjahiliku.
"Eh ... eh... eh ...! Ngapain sih!" ucapku kesal karena ulahnya.
Rangga sengaja menghalangi jalan ku ke kanan maupun ke kiri. Kulihat dia tersenyum jahil ke arah ku.
Hal ini mengingatkan ku pada dahulu, saat di awal kelas satu SMP. Rangga suka menjahili ku membuat ku kesal hingga aku berlari ke sana ke mari mengejarnya untuk membalas perbuatannya. Awalnya aku cuma mengatainya cengeng ketika dia hampir menangis berebut tempat duduk dengan teman perempuan di kelasku. Lama-lama dia terus menggangguku. Kurasa bermula dari situlah aku sering berinteraksi dengannya.
"Eh, kalian ngapain berdiri disitu?" seru nenek dari ruang makan membuyarkan lamunanku.
"Reyna, ayo ke mari! kita makan siang bersama!" tutur nenek lagi.
"Iya, Nek!" jawabku patuh
Aku meliriknya sekilas, kemudian melewatinya yang mulai menyingkir ke kanan.
Sesampainya di ruang makan, aku mendudukkan diri di samping nenek dan mulai menuang nasi di piringku.
Kakek terlihat sudah menyelesaikan makannya. Piringnya telah kosong bersisa garpu dan sendok yang mengatup di atas piringnya.
"Kakek nggak nyangka lhoh Reyn, kata Rangga kalian dulu teman sekolah, ya?" tanya kakek.
Aku mendongak dan sekilas melirik ke arah Rangga.
"Emm ... iya, kek," jawabku pendek.
"Kakek perhatikan sepertinya ada sesuatu di antara kalian dimasa lalu, ya?" tanyanya lagi yang seketika membuatku terkejut.
"Uhukk..!"
Tiba-tiba aku tersedak, dan dengan cepat aku mengambil minumanku yang tersedia di hadapanku. Dengan segera aku meneguk air di dalam gelas sampai habis.
"Pelan-pelan makannya, Reyn!" ujar Rangga yang baru saja kembali duduk di kursinya sembari mengulas senyum seolah menertawakan ku.
Aku melirik tajam ke arahnya kemudian, segera berpaling dan melanjutkan makan dengan tidak tenang. Aku merasa Rangga terus menerus mengawasiku. Beberapa kali aku memergokinya sedang melihat ke arahku dengan senyum usilnya.
Aku mencoba untuk mengabaikannya meski sesungguhnya di dalam hatiku sangat tidak nyaman. Jika bisa aku ingin menghilang dari tempat ini dengan segera.
Aku buru-buru menyelesaikan makanku. Nafsu makanku hilang saat di depannya.
Ada debaran di dalam dada yang tidak seperti biasanya. Badanku serasa panas dingin dibuatnya. Sebuah rasa yang sempat tersimpan rapat di dalam dada kini seolah menguar kembali. Namun, aku semakin takut. Aku takut jatuh cinta lagi kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 322 Episodes
Comments
Noer Anisa Noerma
seruuuuu
2022-07-31
0
🌻Ruby Kejora
Nanti q sambung lagi kak😆
2022-06-27
0
PutraTiga Dara
lanjut thor
2022-05-14
1