Hari terus bergulir, kini Firly sudah memulai unasnya. Hampir setiap hari sepulang sekolah dia selalu mampir ke kantor Dimas. Memilih mengulang pelajaran sambil menemani pria itu bekerja. Sepulang dari kantor, Firly menyempatkan diri bertemu dan bercengkerama dengan Ara. Dia benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa untuk selalu bertemu dan berdekatan dengan om tercintanya.
Pagi ini Ega sekeluarga sedang sarapan bersama. Mereka menikmati sarapan sambil sesekali berbincang. Ega menanyakan tentang ujian pada si kembar Firlan dan Firly dan rencana kuliah setelah lulus nanti. Sedang Alea sambil sarapan sibuk berbalas chat dengan seseorang.
“Ziel, tiga bulan lagi kamu siap-siap ikut turnamen kejuaran dunia junior ya. Mami udah siapin pelatih tambahan buat kamu, Mr. Ting Chun nanti yang akan bertanggung jawab melatih fisik kamu. Dan tahun ajaran baru nanti kamu mulai home schooling, mami sudah mendapatkan guru terbaik untuk kamu.”
Alea berkata tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel. Azriel meletakkan sendoknya, kemudian menatap maminya dengan intens. Ada sorot kekecewaan dari matanya mendengar keputusan sepihak maminya.
“Mi, Ziel kan udah bilang ikut kejuaraannya tahun depan aja. Ziel belum siap mi, lagian umur Ziel juga masih terlalu muda buat ikut. Ziel mau tetap sekolah biasa, ngga mau home schooling,” protes Azriel. Alea meletakkan ponselnya kemudian menatap lekat-lekat anak bungsunya ini.
“Kalau kamu serius mau jadi atlit, kamu harus serius mengasah kemampuan kamu sejak dini. Selama ini kamu sudah mengikuti sirnas tingkat nasional, sudah saatnya kamu mengikuti ajang internasional. Dan kamu ngga akan konsen latihan kalau tetap sekolah biasa, waktu kamu akan banyak tersita dengan kegiatan yang ngga penting.”
“Kegiatan ngga penting? Maksud mami kumpul bareng sahabat aku dan bersosialisasi itu kegiatan ngga penting? Aku emang pengen jadi atlit mi, tapi bukan berarti aku terisolasi dari kehidupan sosial.”
Ketiga orang yang tersisa terdiam melihat perdebatan sengit ibu dan anak itu. Keduanya memang keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah. Azriel memang anggota termuda di keluarga, namun dia juga yang paling keras kepala di antara kakak-kakaknya. Ega meletakkan sendok ke piring dengan keras, membuat dua orang yang sedang berdebat itu terdiam seketika.
“Ini meja makan, bukan tempat berdebat! Habiskan sarapan kalian terus berangkat sekolah!”
Tak ada yang berani membantah saat Ega sudah meninggikan suaranya. Ketiga anaknya buru-buru menghabiskan sarapan kemudian bergegas pamit pergi ke sekolah. Seperti biasa Firlan akan mengendarai sepeda motornya ke sekolah, sedang Firly dan Azriel di antar supir ke sekolah.
Saat Firly akan menaiki mobil, nampak Elang berjalan menghampirinya. Firly menarik nafas panjang, dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan sahabatnya itu. Dua hari berturut-turut Elang memergoki Dimas mengantarnya pulang ke rumah.
“Ly..”
“Dua hari El. Tenang aja tinggal dua hari lagi. Gue udah bilang ke om Dimas tentang perasaan gue dan besok dia akan kasih jawabannya. Lo tenang aja, bukan om lo yang bakal sakit hati tapi gue. Begitu dia nolak gue, gue janji akan menghapus semua perasaan ini. Gue akan bersikap seperti dulu dan hubungan kita ngga lebih sekedar om dan keponakan.”
Selesai mengatakan apa yang harus dikatakannya Firly naik ke dalam mobil tanpa memberikan Elang kesempatan untuk berbicara. Tak lama Alphard hitam itu meluncur pergi. Elang menatap kepergian kendaraan roda empat tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa. Sedikit ada penyesalan dalam hatinya melihat kesedihan yang menggelayut di mata sahabatnya itu.
🍁🍁🍁
Ringgo berjalan tergesa memasuki cooking class yang berada di lantai tiga. Dengan gerakan penuh dia membuka pintu ruangan, mengangetkan peserta cooking class yang sedang mendengarkan penjelasan Dimas. Ringgo berjalan mendekati Dimas kemudian membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajah Dimas menegang, dia melirik chef di sebelahnya. Seakan tahu apa keinginan bosnya, chef itu maju menggantikan posisi Dimas. Setelah meminta maaf pada peserta, Dimas keluar ruangan diikuti Ringgo.
“Sudah berapa lama dia terjebak di dalam?”
“Sekitar sepuluh menit,” Dimas menghentikan langkahnya. Wajahnya nampak kesal.
“Kenapa baru bilang sekarang?!”
“Maaf pak.”
“Posisi lift ada di lantai berapa?”
“Pertengahan lantai 8 dan 9.”
Dimas mengusap wajahnya dengan kasar. Bergegas dia menuju lift pengunjung. Hatinya tak karuan saat mendengar lift khusus karyawan sedang mengalami kerusakan mesin hingga macet di tengah jalan dan Firly terjebak di dalamnya. Berulang kali dia memaki Ringgo yang terlambat memberitahunya. Dia benar-benar mencemaskan keadaan gadis kecilnya itu.
Sementara itu di dalam lift Firly tengah dirundung ketakutan. Sudah sepuluh menit lamanya dia terjebak di dalam kotak besi ini seorang diri. Dia terduduk di sudut sambil memeluk kedua kakinya. Wajahnya pucat dan keringat dingin sudah membasahi tubuhnya.
Suara dari petugas yang mencoba menenangkannya melalui intercom tidak berpengaruh sama sekali. Bayangan buruk kemungkinan yang terjadi terus menghantuinya, mulai dari kehabisan oksigen sampai lift meluncur turun dan jatuh terhempas ke lantai dasar. Tiba-tiba dia merasakan hentakan, jantungnya berdebar kencang. Firly memejamkan matanya sambil merapalkan doa-doa yang dihafalnya. Lift bergerak pelan, Firly semakin ketakutan, dia mulai menangis.
Hiks.. hiks.. om Dimas tolong Ily. Mami, papi.. Ily takut. Tolongin Ily.. bang Ilan..
Firly terus memanggil orang-orang yang disayanginya dalam hati. Airmata terus mengalir di kedua pipinya. Lift terus bergerak dengan sangat lambat, sampai akhirnya kembali berhenti. Kemudian terdengar suara-suara, tak berapa lama pintu lift perlahan terbuka. Dimas yang memang sudah berada di depan pintu langsung menerobos masuk ke dalam lift. Dihampirinya Firly yang masih duduk dengan kepala menelungkup ke lututnya.
“Ily... sayang,” Dimas menyentuh pelan bahu Firly. Gadis itu mengangkat kepalanya.
“Om Dimas.”
“Iya sayang ini om. Ayo kita keluar.”
“Om Dimas hiks.. hiks..”
Firly kembali menangis. Dimas segera membopong tubuh Firly keluar dari lift dan langsung membawanya ke ruangannya. Dia memerintahkan pada Arini untuk membawakan minuman dan pakaian ganti untuk Firly karena baju gadis itu sudah basah oleh keringat. Dimas mendudukkan Firly di sofa, melepaskan tas punggungnya kemudian berjongkok di depannya sambil menggenggam kedua tangannya.
“Ily.. jangan takut sayang, kamu udah aman sekarang. Maaf om terlambat tahu, maaf.”
Dimas menarik Firly dalam pelukannya. Tangisnya kembali pecah, ketakutan masih belum sepenuhnya hilang dari hati gadis itu. Dimas mengusap punggung gadis itu dengan lembut dan sesekali mendaratkan kecupan di puncak kepalanya.
Arini masuk membawa minuman dan sebuah paper bag di tangannya berisi baju ganti untuk Firly. Dimas memberikan minum pada Firly untuk menenangkan perasaannya. Dibelainya lembut surai hitam milik Firly.
“Ily mau pulang om.”
“Ya udah om antar. Kamu ganti baju dulu.”
Firly menggeleng, Dimas tak ingin memaksa. Dia berdiri kemudian membantu Firly berdiri. Dirangkulnya bahu gadis itu sambil keluar ruangan.
“Rin, cancel semua jadwal saya hari ini.”
“Iya pak.”
Dimas terus menuntun Firly hingga ke depan lift. Ada keraguan saat akan masuk ke dalamnya.
“Kamu percaya om?” Firly mengangguk.
“Sekarang tutup mata kamu dan pegang tangan om.”
Firly mengikuti semua yang Dimas katakan. Masih terus menutup matanya, Dimas membawanya masuk ke dalam lift. Saat lift bergerak turun, refleks dia mengeratkan genggaman tangannya. Dimas mendekapnya, membenamkan wajah Firly ke dadanya. Firly melingkarkan tangannya ke pinggang Dimas. Desiran aneh kembali terasa saat tangan kecil itu menyentuh tubuhnya.
Pintu lift terbuka, Dimas sengaja langsung menuju basement. Dia segera menuju mobilnya, membukakan pintu untuk Firly baru kemudian naik ke kursi pengemudi. Tak ada pembicaraan selama dalam perjalanan. Sampai akhirnya mereka sampai di kediaman Ega. Firly membuka seat beltnya kemudian melihat ke arah Dimas.
“Makasih om.”
“Iya sayang. Sekarang kamu istirahat. Besok masih ada ujian?”
“Masih om,” Dimas mengusap puncak kepala Firly.
“Om, besok hari terakhir Ily ujian. Om inget kan sama janji om?” Dimas tercekat, entah mengapa dia mendadak takut menghadapi hari esok.
“Om.”
“Iya sayang om inget. Kamu besok mau ketemu di mana?”
“Di kantor om aja tapi Ily masih takut naik lift sendiri.”
“Besok om jemput kamu di sekolah. Kalau udah mau pulang kamu kasih tahu om.”
“Iya om, sekali lagi terima kasih.”
“Ily,” Firly menghentikan pergerakannya membuka handel pintu saat mendengar panggilan Dimas. Dia menolehkan wajahnya. Dimas menangkupkan kedua tangannya di wajah oval itu kemudian mencium kening Firly cukup lama.
“Istirahat ya sayang,” Firly hanya mampu mengangguk karena nyawanya entah terbang kemana setelah mendapatkan ciuman hangat di keningnya. Sejurus kemudian dia turun meninggalkan Dimas yang semakin bingung dengan perasaannya.
Dimas menghentak-hentakkan kepalanya ke sandaran jok. Otak, hati dan tubuhnya sungguh tidak singkron hari ini. Mengingat besok adalah hari terakhir yang diminta Firly semakin membuat hatinya kacau. Dimas menstarter kendaraannya, kemudian melajukannya. Tujuannya hanya satu, rumah sahabatnya. Dia ingin mengungkapkan semua keresahan hatinya saat ini.
🍁🍁🍁
**Udah om jujur aja Napa daripada nyiksa diri sendiri. Ngga sadar segitu takutnya waktu Ily kejebak di lift terus panggilnya pake sayang juga loh.
Habis baca tahu dong gimana
Like..
Comment..
Vote..
Merci Beaucoup😉**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
ik@
cinta jangan di pendam om Dimas awas tar jerawatan🤭
2022-05-10
2
Nonengsupartika
aku bingung knp d novel itu sering menyukai sepupu sndr, ponakan, om sndr
2022-03-31
1
ㅤKᵝ⃟ᴸRaisya𝐙⃝🦜
tuhhhh kan😁😁😁😁😁
2021-08-23
5