Aku hanya mampu terdiam saja dan menatap Pak Ikram yang ekspresinya masih datar dan tidak dapat kutebak apa yang saat ini sedang ia pikirkan. Aduh, harus kukasih atau tidak usah, ya? Dengan ragu aku merogoh kembali ponsel di saku rokku namun enggan memberinya ponselku.
"Umm... saya..." akhirnya lelaki tersebut menyambar ponselku yang kebetulan tidak ku-password, kemudian dia menelepon nomornya sendiri menggunakan ponselku.
"Udah, ah. Yuk, buruan cabut. Gue sibuk banget."
Pak Ikram berjalan meninggalkan temannya, tetapi sebelum benar-benar pergi dia berbalik badan dan mengatakan kalimat ancaman kepadaku.
"Saya nggak mau tahu, pokoknya besok kamu ganti seragam kamu. Saya ini jual kacamata, bukan jual cewek!"
Aku merasa tertohok mendengarnya. Rasanya masih kesal dengan apa yang pria barusan katakan. Dia benar-benar tidak ada manis-manisnya sama sekali terhadapku. Mentang-mentang dia pemilik usaha ini.
"Makanya, kalau kerja jangan sambil main HP mulu," kata Lidya menasihatiku, aku hanya memutar bola mataku.
"Lebay banget, sih. Udah gaji dikit, nggak boleh main HP lagi."
Aku meneruskan menggosok etalase ini dengan kasar. Kemudian hening beberapa saat antara aku dan Lidya.
"Ganteng, ya?"
"Siapa?" kataku yang masih sebal.
"Pak Ikram, lah. Katanya dia masih single, loh. Andai aja aku belum nikah, udah aku rayu si Ikram itu. Lumayan, kan, dia tajir."
"Tajir, sih, tajir. Tapi dinginnya itu, loh. Bikin sebel, Lid."
"Yaudah, kalau enggak, ya, gebet aja temennya tadi. Kayaknya temennya juga kaya, sih, dari penampilannya. Tadi dia juga minta nomor kamu, kan? Kesempatan emas, An."
Lidya menyikutku. Aku tidak menanggapi dengan serius perkataan Lidya.
"An. Buat apa kamu punya wajah cantik kalau kecantikanmu itu nggak kamu gunain sama sekali? Kamu bisa, An, nikah sama pejabat, sama pengusaha tajir. Nggak usah munafik banget kayak gitu kali. Kalau ada cara yang enak, buat apa cari cara yang susah?"
Aku mengusap leher belakangku. Sejujurnya ada benarnya perkataan Lidya barusan. Dulu ketika aku berpacaran dengan Ray dan selalu bergelimang harta, bisa beli ini dan itu tanpa capek bekerja. Tapi jujur aku lelah menghadapi lelaki yang menyukaiku karena fisikku dan hanya sebatas hubungan main-main di ranjang saja.
Entah mengapa,
Aku ingin menikah.
Dengan Pak Ikram? kata gadis batinku ngawur.
Yah, sebenarnya Ikram tampan juga, sih. Terlebih lagi tadi badannya sangat atletis dari balik kemeja biru yang ia kenakan, lengan kemejanya yang digelungnya sampai siku membuat dirinya benar-benar seksi.
Dia... sangat tampan.
Ditambah lagi tadi Lidya mengatakan bahwa dirinya masih single, bukan? berarti kesempatanku menjadi lebih besar lagi untuk mendapatkannya. Pekerjaan ini memang buruk dan menjengkelkan, tapi pekerjaan ini mungkin bisa menjadi batu loncatan untukku, untuk merubah nasibku. Apalagi mengingat dia kaya raya. Dia memiliki usaha optik dan sudah memiliki banyak cabang di luar kota juga. Benar-benar santapan yang nikmat.
"Hai manis," kata seorang pelanggan membuyarkan pikiranku, mataku membulat melihat orang di depanku ini.
Bukannya orang ini adalah Om-om yang kemarin kutemui di hotel Patra? Sugar Daddy-nya Lidya? Apa dia ke sini untuk menemui Lidya?
"Maaf, ada perlu apa, ya? Apa ada perlu dengan Lidya?" tanyaku dengan nada sopan. Aku menengok ke arah Lidya, tetapi Lidya hanya menunjukkan dua jarinya membentuk piece kepadaku. Apa maksudnya?
"Nggak, kok. Saya mau beli kacamata. Dan saya juga kangen sama kamu."
Awalnya aku kaget dengan apa yang baru saja dia katakan. Lelaki ini mengerikan, bahkan tatapannya menelusuri tubuhku secara blak-blakan, kini dia mengamati belahan dadaku. Aku mencoba menutupi kerah bajuku, sekarang aku merasa menyesal karena menjahitkan bajuku seminim ini.
"Cariin yang bagus, dong," katanya.
Apa jangan-jangan Lidya yang mengatakan aku bekerja di sini kepada Om-om ini, ya? Tidak mungkin sekali kalau ini semua kebetulan semata.
"Dada kamu bagus, ya. Gede. Pasti kenyal kalau dipegang."
Dia membelai lenganku. Aku tersentak dari lamunanku ketika mendengar apa yang baru saja ia katakan. Tidak sopan sekali dia ini, bukannya itu sudah termasuk pelecehan seksual secara verbal, ya? Dengan cepat aku menarik tanganku darinya dan aku menampakkan wajah tidak sukaku kepadanya.
Lelaki ini kurang ajar, aku memang dulunya pernah nakal, pernah tidur dengan om-om juga. Tapi tidak pernah sekalipun aku mengalami pelecehan verbal seperti tadi. Aku bergidik ngeri melihat orang ini.
"Ah, maaf. Habisnya kamu ngalamun terus, sih."
"Iya. Mau beli yang mana?" tanyaku mencoba tenang, meskipun saat ini aku sedang ketakutan setengah mati. Bagaimanapun aku harus professional bekerja.
"Yang minus dua setengah ada?"
Aku mengangguk dan mencoba mencarikan kacamata dengan minus dua setengah yang ia cari.
Ketika aku sedang sibuk mencari di rak sebelah kiri. Tiba-tiba aku terperanjat—hampir berteriak juga karena kaget ketika merasakan tubuhku dihimpit dari belakang, aku juga merasakan sebuah benda di gesekkan dibelahan bokongku yang masih tertutup rok. Tentu saja aku tahu apa itu.
Tubuhku bergetar ketakutan, rasanya sekujur tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak sama sekali karena syok.
"Tidur sama Om, yuk. Kamu minta berapapun bakalan Om kasih. Asal Om bisa ngerasain punya kamu," katanya berbisik pelan di telingaku.
Lalu...
***
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi mataku tetap tidak dapat terpejam sama sekali. Kejadian mengerikan kemarin membuatku menjadi mudah waswas. Aku masih ingat dengan betul bagaimana Om-om tersebut melakukan pelecehan kepadaku. Bukan hanya sekadar pelecehan secara verbal, tetapi juga pelecehan secara langsung—menggesekkan alat kelaminnya di bokongku.
Kemarin ketika kejadian itu berlangsung, aku otomatis berbalik badan dan menampar dengan keras orang tersebut setelah kesadaranku pulih. Orang-orang di sekitar tempat kejadian langsung otomatis menatap ke arahku. Aku yang masih dalam keadaan ketakutan memilih pergi dari tempat itu, mengabaikan tatapan mengintimidasi dari orang-orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Lidya memanggil namaku tetapi kuabaikan begitu saja.
Aku meringkuk sambil memeluk lututku. Aku takut. Kejadian itu seolah masih terekam dengan jelas di otakku.
Ponselku yang berada di nakas samping tempat tidurku berbunyi. Aku mengulurkan tanganku untuk mengambilnya. Terlihat satu pesan masuk di layar ponselku. Pesan dari nomor tidak dikenal.
+6281332345411: Ini bener nomor Anha?
Aku mengerutkan keningku ketika membaca pesan tersebut. Siapa yang tidak sopan mengirim pesan kepada orang lain di jam sebelas malam seperti ini? Seperti tidak ada hari besok saja.
Ah, mungkin ini pesan penting, batinku. Maka dari itu kuputuskan untuk membalas pesan tersebut.
Anha: Iya. Maaf ini siapa, ya?
+6281332345411: Rudi.
Aku mengeryit ketika membaca pesan tersebut. Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Rudi siapa? Seingatku aku tidak pernah mempunyai teman yang bernama Rudi. Apa jangan-jangan ini nomor temannya Pak Ikram yang kemarin meminta nomorku, ya?
Beberapa saat kemudian orang yang bernama Rudi tersebut meneleponku. Awalnya aku ragu untuk mengangkatnya, tetapi akhirnya kuputuskan untuk mengangkat panggilannya.
"Halo," kataku. Tetapi tidak ada balasan dari seberang. Aku mengembuskan napas kesal, jangan bilang ini adalah telepon salah sambung dari orang iseng.
Kerutan dikeningku bertambah ketika aku mendengar suara berisik dari si penelepon. Kunaikan volume ponselku dan mengaktifkan mode loundspeaker agar aku tidak perlu repot-repot menempelkan ponselku di telingaku.
"Sinting!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Heni Husna
lanjut
2021-05-21
0
Laras Kasih
Makanya kalo gak mau dilecehkan ya jgn mengumbar aurot yg bisa memunculkan hasrat seorang lelaki.
2021-04-10
4
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
kalo gk mau di godain pake baju yg bener atuh... ulah make anu kurang bahan
2020-12-15
4