Aku kembali memakai bajuku. Setelah aku sudah mengenakan pakaian yang lengkap, aku menggandeng tangan Adi dan membawanya untuk segera keluar dari rumahku sebelum suasana semakin kacau. Aku menerobos Mama tanpa berdosa sama sekali.
"Anha! Mama lagi ngomong sama kamu, An!"
Mama masih berteriak namun aku tetap mengabaikan Mama. Adi masih tampak cemas dan ketakutan.
"Kamu sekarang pulang dulu, Di. Aku nggak mau tetangga sampai tahu keributan ini. Please, buruan pulang."
Aku mendorong Adi setengah mengusirnya. Mama dan Tante Ririn datang dari arah belakangku. Aku bernapas lega karena Adi sudah men-stater motornya dan meninggalkan rumahku.
"Anha! Jelasin ini semua ke Mama dan apa maksud semua ini! Kamu gila, ya!"
Mama menarik lenganku kembali, aku meringis kesakitan.
"Sakit, Ma."
Aku meringis kesakitan. Tante Ririn datang dari arah belakang mencoba mengendalikan Mama yang sudah dikuasai amarah.
"Kamu bener-bener gila, ya! Berani-beraninya kamu tidur sama cowok kayak gitu! Mau jadi apa kamu, Hah! Jawab Mama, Anha!" teriak Mama.
"Mbak udah, Mbak. Kita bisa omongin ini baik-baik dulu, Mbak."
Tante Ririn memegang tangan Mama dan mencoba melepaskan cengkeraman tangan Mama yang berada di lenganku. Aku hanya bisa menunduk dan mulai menangis, aku tidak berani menatap mata Mama, tatapanku hanya tertuju ke arah ubin ruang tamuku.
"Anha. Jelasin ini semua ke Mama dan Tante. Kenapa kamu ngelakuin ini semua, Sayang?" tanya Tante Ririn dengan nada pelan. Aku hanya menggeleng dan masih menangis. Aku mulai memberanikan diri menatap Mama yang juga menangis terisak sambil memegangi dadanya karena napasnya mulai tidak teratur.
Aku mengusap air mataku kasar walaupun aku tahu itu semua percuma karena rasanya air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
"Kenapa? Kenapa, Ma? Kenapa Mama baru peduli sama aku dan tanya kenapa aku ngelakuin itu semua setelah sekian tahun? Kenapa Mama baru peduli sama aku setelah aku rusak?" tangan kananku memegang pergelangan tangan Mama dan dengan kasar aku melepaskan tangan Mama yang tadinya memegangi lengan kiriku. Mama dan Tante Ririn terdiam tidak percaya dengan apa yang tadi sempat kuucapkan.
"Mama nggak perlu kayak gitu, Ma. Mama nggak kayak Mama yang biasa aku kenal."
Bibir Mama bergetar dan membentuk garis lurus dan aku tahu Mama sangat marah karena ucapanku barusan.
"Anak ini bener-bener!"
Sebelum Mama menampar ataupun menarik lenganku kembali. Tante Ririn sudah memegangi tubuh Mama dari samping dan mencoba menahan gerakan Mama yang hendak menamparku.
"Kamu Mama didik, Mama sekolahin, Mama kuliahin, semua kebutuhan kamu Mama cukupi. Mama kerja siang malem buat kamu, cuma buat kamu! Tapi kenapa kamu jadi anak kayak gini Anha!"
Mama menangis meraung. Nada suaranya terdengar sangat pilu.
Aku tersenyum getir mendengarnya. Kapan Mama mengerti bahwa aku hanya menginginkan Mama lebih memedulikanku sedikit saja, bukan seberapa banyak materi yang bisa Mama berikan kepadaku. Kenapa Mama hanya peduli ketika aku sudah rusak.
"Mama salah. Anha ngedapetin uang dari pacar-pacar Anha. Dari cowok yang nidurin An—" belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Mama menamparku sangat keras. Aku hanya terdiam dan tidak dapat berkata apapun, dan hanya bisa menangis sambil menahan pipiku yang rasanya sangat panas karena tamparan Mama yang keras itu.
Padahal seumur hidupku Mama tidak pernah menamparku ataupun memukulku.
"Kamu bener-bener—" Mama tidak dapat lagi melanjutkan perkataanya.
"Mama salah! Anha nggak butuh uang! Anha nggak butuh biaya kuliah, Ma! Anha nggak butuh uang seratus ribu yang selalu Mama tindihin di bawah gelas! Anha cuma butuh perhatian Mama! Ini semua salah Mama! Cuma Papa yang ngertiin Anha dan sialannya Papa udah nggak ada lagi!"
Aku berteriak, entah mengapa setelah bertahun-tahun aku baru bisa mengatakannya kepada Mama tentang itu semua. Lalu kemudian aku berlari menuju kamarku menerobos Mama dan Tante Ririn yang masih diam mematung.
"Mending aku nggak usah punya Mama sekalian! Buat apa punya Mama tapi Mama nggak pernah ada buat aku!"
Itulah kata terakhir ketika aku membanting pintu kamarku, tak lupa aku juga mengunci pintu kamarku agar tidak ada yang bisa memasuki kamarku. Terdengar teriakan Tante Ririn memanggil namaku dengan nada keras, mungkin marah atas apa yang barusan kuucapkan.
Aku tidak peduli.
Kemudian aku naik ke tempat tidurku. Aku membenci Mama, aku merasa hanya Papalah yang peduli denganku. Aku menangis, memeluk gulingku erat, kemudian membekap kupingku dengan guling ini agar aku tidak mendengar suara isak tangis Mama dari luar kamarku.
Tapi nihil, kupingku masih bisa menangkap isak tangisan Mama yang sejujurnya rasanya begitu pilu seperti mengiris jantungku.
"Mbak, udah Mbak. Jangan nangis lagi," kata Tante Ririn yang tertangkap kupingku sayup-sayup dari luar, yang kuyakini saat ini Tante sedang mencoba menenangkan Mama.
"Aku gagal, Rin. Aku gagal jadi orang tua. Aku gagal, Rin..." Aku menggigit bibirku dan menenggelamkan kepalaku di gulingku.
Aku benci Mama!
"Nggak gitu, Mbak. Mbak tenangin diri dulu. Kita bisa selesaiin ini semua tapi Mbak harus tenang."
Setelah itu aku tidak mendengar lagi percakapan mereka, tapi aku masih bisa mendengar isakan Mama yang sama dengan keadaanku saat ini.
Beberapa menit aku menangis sampai aku merasakan kepalaku mulai pusing, aku menghapus air mataku dan menyeka ingusku dengan lengan bajuku.
Hingga akhirnya aku kelelahan karena menangis dan jatuh tertidur.
***
Aku berdecak karena merasakan ada seseorang yang menyenggolku dan merangsek di sampingku. Aku mencoba membuka mataku yang sembab karena menangis semalaman. Kini rasanya tubuhku bertambah sesak karena aku tidur tengkurap dan ada yang menindihku dari atas.
"Wake Up, Kakakkk..."
Aku mengembuskan napas, aku tahu itu sigembul Diego yang sedang **** tubuhku yang tengkurap.
"Kak Anha. Bangun, dong. Kebo, uh!" Diego menggesekkan pipinya di punggungku. Seingatku semalam aku mengunci pintu kamarku, lalu kenapa Diego bisa masuk?
Ah, tentu saja monster kecil ini bisa masuk. Tante Ririn pasti punya kunci cadangan kamarku. Dan tentu saja Tante menyuruh Diego membangunkanku karena dia tahu Diego adik kesayanganku dan aku tidak bisa memarahinya sama sekali.
Kini Diego berpindah ke arah depanku. Anak kecil itu tersenyum sangat manis memperlihatkan gigi putih kecilnya yang berderet rapi. Sungguh hatiku meleleh melihat anak kecil tersenyum semanis itu sampai refleks aku juga ikut tersenyum.
"Kak Anha tadi malem dimalahin Tante, ya? Cup-cup, pasti Kak Anha nakal, ya?" kata Diego sambil menepuk pelan punggungku. Aku mencium pipi tembamnya.
Setidaknya... ada satu orang... yang mencintaiku di dunia ini.
"Diego juga pernah dimalahin, Mommy, loh," kata Diego dengan wajah sedih, tapi terlihat begitu lucu.
"Oh, ya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
mia guspiami
ga usah menghujat ini jd pelajaran untuk kita semua bahwa anak broken home itu bisa seperti ini,kadang anak broken home berbeda-beda cara menyapikanya,jujur saya dulu anak broken home saya benci yang nama laki laki apalagi laki dan pyboy..tp seiring waktu dan kedewasaan. saya sadar saya salah,hingga sekarang saya punya dua orang @nak jangan seperti saya nasibnya
2021-09-24
0
Umi Salamah
itulah kalau tdk beragama...astagfirulloh
2021-07-14
0
Itu AKU
aku anak petani,emak bapak sering kesawah habis subuh.kadang kalau lagi panen suka di titipin ke tetangga karna harus brngkt malam.waktu sma aku sekolah ke kota,pisah sama ortu.pas lulus langsung merantau.dari kecil aku juga jarang komunikasi sama ortu.pinter pinter kita bisa jaga diri,banyakin teman,banyakin wawasan,main yg jauh tapi jangan sampai lupa tidak pulang.biar ga bego kaya Anha,begonya ga ketulungan
2021-07-06
0