Aku mengusap jemariku yang mulai basah karena keringat dingin, kemudian aku menggigit bibir bawahku. Bingung dengan apa yang selanjutnya harus aku lakukan. Kemarin rangkaian acara pernikahan kami sudah selesai dan saat inilah aku memasuki acara yang sangat menegangkan.
Yaitu... Malam Pertama.
Pandanganku berkali-kali tertuju ke arah kamar mandi. Suara shower terdengar sampai sini, siluet lelaki yang saat ini berstatus sebagai suami SAH-ku terlihat samar dari balik kaca kamar mandi yang buram.
Dia sedang mandi, sedangkan aku sudah mandi sebelumnya. Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian dalam berwarna merah di balik piyamaku--karena setahuku dia menyukai warna merah.
Tapi sungguh, apa yang nanti harus aku lakukan setelah dia keluar dari kamar mandi?
Mataku melirik beberapa tumpukan kelopak bunga mawar merah yang berada di tengah ranjang kami. Kemudian aku mengambil sejumput kelopak bunga mawar tersebut dan meremasnya pelan untuk meredakan rasa cemasku yang berlebihan.
Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung kemudian mengembuskannya pelan lewat mulut. Aku mengamati kembali tatanan kelopak mawar merah yang dibentuk menjadi pola hati di tengah ranjangku. Cantik.
Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, tidak mungkin mertuaku yang membuatkan mawar berbentuk hati tersebut untukku, mengingat betapa Beliau tidak menyukaiku sejak awal aku mengenal putranya.
Jadi aku bisa menebak mungkin pembantunyalah yang membuatkan mawar tersebut, atau orang suruhannya mungkin. Dia, kan, kaya.
Aku memutar bola mataku, entah mengapa aku selalu kesal jika mengingat wajah mertuaku itu.
Kupikir mitos tentang Ibu mertua yang jahat hanya ada di sinetron saja. Namu ternyata aku salah karena hal itu benar adanya, dan sialnya kini aku mengalaminya sendiri.
Alasan mertuaku--Mama Erin--tidak menyukaiku adalah karena statusku yang berbeda jauh dari putranya. Mama Erin menginginkan anaknya menikah dengan seorang dokter, pengacara, ataupun anak dari pengusaha kaya raya.
Aku masih ingat betul Mama Erin selalu menyunggingkan senyum bahagia ketika dia menyalami para tamu undangan di acara pernikahan kami kemarin, sedangkan air muka Mama Erin berubah sinis ketika beliau melihatku.
Aku mengembuskan napas, memilih untuk tidak mengingat wajah mertuaku itu. Nasibku sedang berada di ujung tanduk dan saat ini bukan waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
Aku mulai panik. Rasa gugup menyerbuku dari berbagai arah, jantungku berdegup sangat kencang seolah terdengar sampai gendang telingaku. Tapi di antara rasa bingungku ini, terbesit pula rasa bersalah, rasa penyesalan, dan rasa takut.
Entahlah, rasanya semuanya bercampur aduk dan tidak dapat kujelaskan dengan kata-kata. Itu semua membuatku ingin menangis saat ini juga.
Seharusnya aku mengatakannya dari awal, dari waktu pertama kali dia datang ke rumahku ketika melamarku. Bukan setelah ini semua terjadi. Seharusnya aku jujur kalau aku...
"Kenapa tegang banget?"
Suara serak tersebut membuat lamunanku buyar, sampai aku tidak memerhatikan kalau dia sudah selesai mandi dan sedang berdiri tepat di depan pintu kamar mandi.
Dia tersenyum ke arahku. Saat ini dia benar-benar menggoda. Dia hanya mengenakan selembar handuk putih yang melilit pinggangnya, kemudian dia mengusap rambut basahnya dengan handuk putih lainnya. Tapi aku segera menundukkan pandanganku karena aku malu.
Aku mendengar langkah kakinya mulai mendekat, kemudian dia duduk di sebelahku. Tangan kanannya mengusap pipiku yang saat ini kuyakini pasti sudah sangat merona.
Usai mengusap pipiku kini tangannya berpindah menaikkan daguku sehingga tatapan mataku tertuju pada wajah tampannya.
Aku tak berbohong, dia tampan dan maskulin di mataku. Kini jarak wajahku dan wajahnya sangat dekat. Dia memiringkan kepalanya. Instingku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Aku memejamkan mata dan menggenggam erat seprai putih kami. Dia mengecup bibirku sangat pelan. Menciumku dengan kecupan lembut.
Di sela ciuman hangat kami, rasa takut itu kembali menghampiriku lagi. Kini apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus pura-pura menstruasi atau pura-pura kelelahan karena acara pernikahan kami yang sangat panjang itu untuk menghindari momen ini? Aku takut hal buruk itu akan terjadi.
"Kamu cantik, An," katanya memuja, suaranya sudah serak, aku melihat hasrat bergejolak pada kedua netra cokelat miliknya. Aku menundukkan kepalaku ke bawah, memutus pandangan kami.
"Nggak usah takut. Aku tahu ini pertama kalinya bagi kamu. Aku bakalan pelan-pelan, kok," bisiknya pelan ada kupingku membuat tengkukku meremang. Aku kesusahan menelan salivaku. Baik, rasanya jantungku seperti diremas dan ditarik ke luar saat ini juga.
Dengan gerakan pelan dia menarik pelan tali piyamaku, kemudian membukanya. Dia mengusap lembut bahuku agar aku terlentang.
Kami akan memulai ritual malam pertama ini.
Dibandingkan dengan mantan-mantanku yang agresif, dia sangat lambat, mungkin dia mencoba membuatku nyaman.
Aku hanya diam terlentang. Pasif. Sejujurnya aku lebih liar daripada ini. Aku hanya menatap kosong langit-langit kamar yang bewarna putih.
Tanpa kusadari air mataku menetes di pipiku, tetapi kemudian langsung buru-buru kuusap dengan punggung tanganku agar dia tidak tahu bahwa aku menangis.
Kemudian kami memenyatukan tubuh kami kembali. Dia melihat mataku dalam-dalam, jarak kami hanya terpisah beberapa senti saja, aku merasakan napas hangatnya menerpa pori-pori wajahku.
Dia mencium pipiku pelan, mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Aku memeluknya lebih erat, mengatakan aku juga sangat mencintainya. Air mataku jatuh, aku sudah tidak dapat lagi menahan perasaan bersalah ini.
"Maaf."
Hanya itulah kata yang keluar pelan dari mulutku, tepat di telinganya.
Dan malam pertama kami terjadi tanpa respons cengkeraman dari kukuku di punggungnya ataupun gigitanku di pundaknya, atau jeritanku karena kesakitan. Aku benar-benar menangis dan memeluknya erat, sangat erat. Takut dia akan pergi dariku. Takut ini adalah pelukan terakhir kami.
Tetapi akhirnya hal yang kutakuti pun terjadi. Dia memberi jarak dari tubuhku, kemudian dia melihat ke arah bawah. Tidak ada noda merah bekas darah sama sekali di seprai. Dia menatap lurus ke arahku, setelah itu rahangnya mengeras.
Hingga mata itu, mata cokelat indah yang dulunya selalu teduh ketika dia menatapku, kini semuanya seolah berubah. Tatapan itu berubah menjadi tatapan, marah, kalut, dan tentunya dia sangat kecewa terhadapku.
"Maafin aku."
Seharusnya aku mengatakan ini semua dari awal. Aku menyesal. Dia bangkit, menarik dirinya dari diriku. Kemudian dia berdiri membelakangiku, menarik rambutnya ke belakang. Aku menarik selimut sehingga menutupi tubuhku sampai ke bagian atas dadaku.
Aku tahu, tidak semua wanita mengeluarkan darah ketika malam pertamanya, ada yang tidak berdarah sama sekali, bisa jadi karena mungkin selaput dara mereka tipis, ada yang tidak mengeluarkan darah mungkin karena dulu pernah kecelakaan ataupun jatuh dari sepeda.
Tapi... khasus diriku berbeda. Aku kehilangan hal tersebut bukan karena kecelakaan ataupun jatuh dari sepeda. Lagi pula seorang laki laki pasti dapat merasakan dengan betul apakah wanita tersebut tidak perawan karena faktor jatuh dari sepeda ataupun tidak perawan karena sebelumnya sudah pernah berhubungan badan.
"Kamu bilang kamu masih perawan, An!"
Dia berteriak marah. Berbalik menatapku tajam, rahangnya mengeras, aku bisa melihat kemarahan yang sangat besar pada dirinya saat ini, dia kecewa denganku karena mendapati diriku yang sudah tidak perawan lagi di malam pertama kami.
"A-Aku..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Nursamsi Mci
udah ngulang baca yg ke 3x nya,wlu ceritanya ber alur lambat,tp ttp setia baca ulang,krn benar2 ngena dan trasa nyata.lebih2 saat Anha di selingkuhi,ya Allah kerasa sakit nya smpe kayak tersayat hati ku😭
2024-02-02
0
Adriana
9
2023-09-27
0
Joeiksa Tree
baru mampir baca thor, udah malam pertama aja,,
malam pertama yang,??
2022-12-25
0