Malam harinya, Winda hendak bersiap-siap untuk istirahat. Sambil menunggu kantuk datang, dia memainkan ponselnya. Tiba-tiba ponsel itu berdering. Winda tersenyum melihat nama penelfonnya. Dia segera menggeser tombol hijau pada ponselnya itu.
"Assalamualaikum, mas."
"Waalaikumssalam, lagi ngapain, dek?"
"Lagi tiduran di kamar."
"Aku ganggu dong."
"Ah, enggak kok. Malah senang di temani."
"Masa sih? Sayang ya nemaninya cuma lewat telepon."
"Maunya?"
Gito tertawa mendengar perkataan Winda.
"Eh iya Dek, besok kita jalan yuk."
"Jalan? Ke mana?"
"Ya terserah kamu. Kamu kan yang paham daerah sini. Mumpung kamu belum mulai kerja. Lagian kan besok hari Minggu."
"Memangnya mas gak kerja?"
"Kalau hari Minggu bos besar kasih libur para pekerja untuk refreshing biar gak suntuk. Gimana, kamu mau?"
"Hmmmm...ya udah."
"Besok aku jemput ya jam sembilan."
"Iya."
Setelah berbincang beberapa saat, Gito menutup telfonnya. Hatinya berbunga-bunga karena berhasil mengajak pujaan hatinya untuk jalan. Dia berniat mengungkapkan perasaannya kepada Winda. Sementara itu, setelah mematikan ponselnya, Winda pun segera terlelap.
####
Winda sedang membantu ibunya membereskan meja dan kursi. Orang-orang telah selesai sarapan. Tiba-tiba ada suara sepeda motor yang berhenti di depan warung.
"Assalamualaikum..."
Terdengar suara Gito. Pak Kirno yang sedang berada di warung menyambutnya.
"Waalaikumssalam. Eh, Gito. Tumben banget rapi. Mau kemana?". tanya pak Kirno.
"Mau ajak Winda jalan-jalan, pak." jawab Gito sambil mencium punggung tangan pak Kirno.
"Lha itu Winda malah belum siap-siap. Winda...sini dulu."
Winda yang sedang mencuci piring, segera menghampiri bapaknya.
"Ada apa, pak?" tanya Winda.
"Ini di cariin Gito."
Winda memandang ke arah Gito.
"Tumben mas rapi banget. Mau ke mana?"
"Kamu lupa sama rencana kita semalam?"
Winda mengerenyitkan dahinya, seolah-olah sedang mengingat sesuatu. Tak berapa lama kemudian...
"Astaghfirullah... maaf mas aku lupa."
"Ya udah kamu siap-siap dulu. Aku tunggu."
"Duduk dulu deh. Mas udah sarapan?"
"Iya ini sekalian mau sarapan."
"Makan apa?"
"Seperti biasanya. Nasi rames sama teh manis."
Winda segera menyiapkan pesanan Gito.
"Aku tinggal dulu ya mas." kata Winda sambil meletakkan pesanan Gito.
"Iya."
Winda segera berlalu. Gito pun menyantap sarapannya dengan lahap. Pak Kirno menghampiri nya dan duduk di kursi depan Gito.
"Kamu mau ngajak Winda jalan-jalan ke mana, To?" tanya pak Kirno.
"Gak tau, pak. Terserah Winda nanti. Saya kan belum paham daerah sini."
Pak Kirno mengangguk. Dia meninggalkan Gito untuk melayani pembeli lain. Sementara itu Winda yang sudah selesai bersiap pun menghampiri Gito.
"Sudah, mas."
Gito menoleh. Dia terpana melihat kecantikan Winda. Winda terlihat lebih cantik dari hari biasanya.
"Mas Gito..."
Sapaan Winda mengagetkan Gito.
"Ah, iya tunggu. Aku habisin sarapan dulu ya."
Winda duduk di kursi depan Gito. Gito menghabiskan sarapannya. Setelah selesai, mereka berpamitan kepada kedua orang tua Winda.
"Pak, Bu, Winda jalan dulu ya." pamit Winda sambil mencium punggung tangan kedua orangtuanya. Gito pun melakukan hal yang sama.
"Iya. Hati-hati ya. Jangan pulang malam-malam." kata Bu Kirno.
"Iya, Bu. Assalamualaikum..."
"Waalaikumssalam."
Winda dan Gito pun menaiki motor meninggalkan warung. Bapak dan ibu Kirno memandang mereka sampai hilang di tikungan.
"Apa mereka pacaran, pak? Kok dekat banget begitu." tanya Bu Kirno.
"Gak tau, Bu. Temenan saja mungkin."
"Tapi kok seperti orang pacaran."
"Biarin saja. Mereka sudah sama-sama dewasa."
"Memang bapak mau punya menantu seperti si Gito itu?"
Pak Kirno terkejut mendengar pertanyaan istrinya itu. Dia menghentikan pekerjaannya dan menatap bu Kirno.
"Kenapa kok ibu nanya seperti itu?"
"Ya gak kenapa-kenapa, pak."
Pak Kirno menarik nafasnya.
"Kalau memang si Gito itu jodohnya Winda, sebagai orang tua kita bisa berbuat apa, selain merestui hubungan mereka. Sudahlah. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita."
Bapak dan ibu Kirno segera melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Winda dan Gito melajukan sepeda motornya menuju ke arah suatu tempat yang di tunjukkan oleh Winda. Sebuah danau yang di kelilingi oleh banyak pepohonan.
"Ayo mas kita ke sana." kata Winda setelah Gito memarkirkan sepeda motornya.
"Ke mana?"
Winda menunjuk ke arah deretan lapak penjual makanan. Gito pun mengikuti langkah Winda. Winda membeli beberapa jenis makanan.
"Udah, biar aku aja." kata Gito ketika Winda hendak membayar jajanan itu.
"Tapi mas...."
Gito menggelengkan kepalanya dan membayar jajanan Winda.
"Terimakasih ya mas." kata Winda. Gito tersenyum dan mengangguk. Mereka mencari tempat duduk di bawah pohon pinggir danau. Mereka menikmati makanan yang sudah di beli.
"Mas mau?" tanya Winda.
"Boleh."
Gito bermaksud untuk mengambil sendok dari tangan Winda akan tetapi Winda terlebih dahulu menyuapi Gito. Gito tersenyum. Mereka pun menghabiskan makanan itu. Setelah makanan itu habis, Winda memainkan ponselnya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Gito. Awalnya Gito terkejut namun dia membiarkannya. Gito dapat mencium bau wangi rambut Winda. Gito pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan yang ada di dalam hatinya.
"Dek, aku mau nanya boleh?" tanya Gito.
"Boleh. Tanya apa mas?"
"Apakah kamu sudah punya pacar?"
"Belum"
"Masa sih? Cewek secantik kamu kok gak punya pacar."
"Belum ketemu jodohnya."
"Kalau gitu...boleh gak aku jadi pacar kamu?"
Winda terkejut mendengar pertanyaan Gito. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Gito. Di saat yang sama, Gito juga menatapnya. Pandangan mereka bertemu.
"Apa? Mas Gito mau jadi pacar aku? Gak salah mas Gito ngomongnya?"
Gantian Gito yang terkejut mendengar pertanyaan Winda. Dia menjadi gugup.
"Ma...maaf..aku gak bermaksud... Ah, sudahlah dek. Lupakan aja. Aku sadar diri kok dengan keadaan aku. Pastinya kamu bakalan malu punya pacar seperti aku. Lupakan aja."
Gito menundukkan kepalanya. Ada rasa malu dalam hatinya. Harusnya dia sadar diri dengan keadaannya. Tetapi tiba-tiba, Winda kembali menyandarkan kepalanya di bahu Gito.
"Ada dua laki-laki di dunia ini yang membuat aku nyaman berada di dekatnya. Yang pertama bapak. Bapak sangat perhatian, penyayang dan penyabar, meski aku selalu buat beliau marah. Dan laki-laki yang kedua itu...."
Winda terdiam. Gito menunggu kelanjutan dari perkataan Winda.
"Siapa yg kedua, dek?" Gito memberanikan diri untuk bertanya. Winda tengadah menatap Gito dan tersenyum.
"Mas Gito."
"Aku?"
"Iya. Mas Gito."
"Kenapa aku?"
"Gak tau kenapa, aku ngerasa nyaman aja kalau ada di dekat mas Gito. Mas Gito baik dan perhatian sama aku."
Gito tersenyum.
"Kalau begitu, boleh aku jadi..."
"Iya, boleh." Winda memotong perkataan Gito.
Senyum Gito semakin lebar mendengar jawaban Winda. Dia ingin memeluk wanita itu, tetapi tak di lakukan nya karena di tempat umum. Dia mengenggam jemari tangan Winda dan mengecupnya.
"Terimakasih ya dek. Semoga kamu gak malu jalan dengan aku."
"Malu? Kenapa harus malu?"
"Ya kamu tahu sendiri kan bagaimana keadaan ku ini. Jauh dari sempurna."
"Jangan melihat buku dari kulit sampulnya. Kulit sampul boleh tidak bagus tetapi isi ceritanya belum tentu seburuk sampulnya. Demikian pula manusia. Tampangnya boleh buruk rupa, tetapi hatinya belum tentu. Manusia di lihat dari kebaikan hatinya, bukan paras yang rupawan.
Gito tersenyum mendengar penuturan Winda.
"Semoga hubungan kita bisa berlanjut hingga ke jenjang pernikahan ya dek. Aamiin."
"Aamiin."
"Oh iya tunggu sebentar."
Gito melepaskan genggaman tangannya lalu dia melepaskan gelang rotan yang melingkar di tangannya dan memakaikan di tangan Winda.
"Maaf, untuk saat ini aku memang belum bisa memberikan kamu perhiasan yang sesungguhnya. Tetapi gelang rotan ini menunjukkan bahwa aku benar-benar serius sama kamu. Bahwa aku benar-benar mencintai kamu."
Mata Winda berkaca-kaca mendengar perkataan Gito.
"Terimakasih ya mas. Aku janji akan selalu menjaga gelang ini. Seperti aku menjaga cinta aku untuk mas Gito."
Winda mencium punggung tangan Gito. Gito pun tersenyum dan membelai rambut Winda. Tiba-tiba...
"Wah, sepertinya ada yang baru jadian nih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
👍🏻👍🏻👍🏻
2021-12-22
0