Sang Musafir
Seorang pemuda memasuki kedai makan di pinggiran jalan. Tampangnya dekil sekali. Kulitnya menghitam dibakar matahari. Bajunya penuh tambalan. Di punggungnya, sebuah bundelan yang entah berisi apa, mengikat kuat. Rambut panjangnya sudah tampak seperti sarang burung. Orang yang melihatnya tidak akan berani membayangkan bau badan si pemuda, langsung pergi menjauh.
Dia langsung menjadi pusat perhatian di kedai itu berkat tampangnya.
Pemilik kedai menatap pemuda itu lamat-lamat, sebelum berkatalah dia, "Siapakah dikau dan hendak apakah dikau kemari?"
Pemuda itu menyungingkan senyum lebar. "Tentu daku ingin makan di sini, Paman. Mungkin juga akan menginap barang semalam."
Pemilik kedai menatapnya lamat-lamat dari atas sampai bawah. Lalu dia mendesis. Air wajahnya tersuguh seperti melihat mayat berjalan.
"Banyak mimpi, dasar pengemis jalanan! Lebih baik dikau pergi dari sini secepatnya, cari kedai lain yang mau menerimamu!" Pemilik kedai tanpa peringatan sama sekali langsung melempar kain kotor ke arahnya, tepat mengenai wajah si pemuda bernasib malang itu.
"Cara engkau kasar sekali, Paman ...." Yang dilempari itu tertawa pelan, tawaan yang sungguh amat pahit. "Dengarlah namaku, maka engkau akan ketakutan sampai anak-cucumu!" Matanya menatap tajam pemilik kedai jauh di hadapan. "Namaku Jayamantingan!"
Suasana hening sesaat.
"Terserahlah siapa namamu itu, sangat baik jika engkau lekas pergi dari sini!" Pemilik kedai mengacungkan pisaunya, hendak dilempar juga ke wajah Jayamantingan.
Maka terpaksalah Jaya menyingkir dari sana sambil mendumal sebal. Mengapa dia tidak marah? Mungkin satu jawabannya: dia sudah terbiasa. Terlalu terbiasa untuk disebut terbiasa saja. Dirinya sudah kebal.
Memang, namanya tak seberapa berarti. Orang-orang tak akan takut bila mendengar namanya disebut. Nama Jayamantingan pun jarang dikenal orang, bahkan hampir tak dikenal oleh siapa pun. Tidak ada yang mau berkenalan dengan Jayamantingan. Tidak dengan tampangnya yang seperti pengemis itu. Bahkan pengemis pun tak mau berteman dengannya.
Setelah keluar dari kedai itu, Jaya berjalan tak tentu arah. Yang terpenting jalan saja, itulah yang selama ini ia lakukan. Orang kota yang melihat Jaya serentak menyingkir. Tak mau dekat-dekat. Mereka takut Jaya membawa penyakit di tubuhnya. Melihat itu, Jaya hanya bisa mendongakkan dagunya dan membungsung dada, merasa sombong, atau sebenarnya hanya ingin merasa lebih baik. Jadilah ia melangkah tepat di tengah jalan agar tak dekat dengan orang-orang.
Mengalah saja. Jaya memaksakan kakinya tetap berjalan, walau itu terasa amat berat sekarang. Tubuhnya lemah, seakan bisa ambruk kapan saja. Entah sudah berapa hari ia berjalan tanpa henti untuk sampai ke kota ini, dan apa yang ia dapatkan sungguh tidak sepadan dengan perjuangannya.
Jaya melihat sebuah bangunan kecil yang menyerupai bentuk kedai makan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki masuk kedai itu, mencoba kesempatan kedua. Dibuka tirai kedai perlahan. Banyak orang yang makan di sana. Aroma daging bakar membuat perut Jaya bergejolak keras.
Sejurus kemudian, seisi kedai menatap Jaya dengan tidak suka. Bahkan bangku dan meja pun seakan menatapnya tak suka. Wajah para pelanggan terlihat jijik dengan kehadiran Jaya. Sangat tak ingin Jaya masuk, salah satu dari mereka bahkan tak segan berteriak pada pemilik kedai.
"Hoi, engkau berkata kalau pengemis tak boleh masuk kedai! Usirlah pengemis yang hendak masuk ini. Daku tak mau selera makanku rusak karena orang dekil ini!" Pandangannya seperti lembu jantan yang marah. Menyindir Jaya habis-habisan.
Seorang pria paruh baya keluar dari dalam dapur kedai, menghela napas panjang melihat Jaya di ambang pintu. "Benar, daku tidak menerima pengemis. Kamu yang di pintu, cepat angkat kaki dari kedaiku!"
"Daku bukanlah pengemis," balas Jaya, "daku bawa keping uang."
"Tiada mungkin pengemis yang membeli pakaian layak saja tak bisa, hendak membayar makan di kedaiku! Baik engkau pergi sebelum golok kucabut untukmu!"
"Kasar sekali, Paman. Andai daku sedang tidak baik hati, akan aku bunuh kalian semua. Tapi biarlah daku keluar untuk sekarang. Suatu saat nanti, JAYAMANTINGAN akan membalas kalian!" Jaya berteriak keras sebelum mengambil langkah seribu dari kedai itu. Bukti nyata kepengecutan. Harga dirinya ditindas habis-habisan, tetapi ia tak bisa melawan di hadapan golok si pemilik kedai.
Hatinya yang tadinya hanya teriris, sekarang hancur lebur. Jaya berpikir. Tidakkah mereka melihat bahwa penampilannya merupakan penampilan seorang lelaki sejati yang telah melangkahkan kaki lebih sejuta kali dalam pengembaraannya? Bisakah juga mereka tidak menilai seseorang hanya dari pakaian dan hartanya?
Entah ia mendapat tenaga dari mana, pemuda itu terus berlari. Tidak berusaha mencari kedai makan yang lain lagi. Percuma saja. Tak akan ada yang mau menerimanya. Jaya pergi keluar dari kota, karena tempatnya berada saat ini terletak di pinggiran kota dan bertepatan dengan pintu keluar, ia bisa keluar dengan cepat.
Kota itu seakan memusuhinya, atau mengasihaninya, sehingga Jaya dibiarkan keluar tanpa penghalangan dari para penjaga gerbang.
***
Tubuhnya terduduk dan disandarkan pada sebatang pohon besar di sebuah bukit tinggi. Menundukkan kepala, Jaya merasa air mata mengalir di pipinya, membentuk sungai yang bermuara pada dagunya.
"Mengapa ... mengapa aku selalu dibuang dunia?"
Jaya teringat masa lalunya. Saat ia pertama kali keluar dari desa dan memutuskan jalan hidupnya sebagai pengembara setelah tak sanggup menanggung rasa malu dan kecewa. Di desanya yang amat sangat jauh dari sini, Jaya selalu mendapat kegagalan. Dipermalukan. Diejek. Tak dianggap.
Saat ia berusaha menggarap sawah milik orangtuanya, padi-padi gagal panen. Saat mencoba bekerja menjadi kusir kuda, kudanya terkena beragam penyakit sebelum akhirnya mati. Saat ia menjadi pekerja kasar, ia menjatuhkan suatu barang berat hingga satu rumah yang belum rampung itu hancur, lagi-lagi ia harus mengganti rugi. Orang desa menyebut Jaya sebagai anak terkutuk. Anak buangan bumi.
Bahkan jika dipikir-pikir, Jaya tak mempunyai bakat yang bisa ia banggakan. Dia hanya bisa membaca dan menulis, apakah itu bisa disebut bakat?
Maka dari itu, setelah tak sanggup menahan malu dan kekecewaan, Jaya keluar dari desa. Tak ada yang menahannya sama sekali, mereka bahkan lega setelah melihat Jaya pergi, seperti apa yang kota tadi lakukan pada Jaya.
Jaya berpikir menjadi seorang pengembara adalah jalan hidup yang sangat menyenangkan. Namun tenyata, Jaya salah besar, setelah merasakan sendiri kebenarannya. Menjadi pengembara justru membuatnya jatuh lebih miskin.
Beberapa kali Jaya hinggap di sebuah kota, baik kota kecil maupun kota besar. Ia mencari pekerjaan, tetapi tak kunjung juga ia dapatkan. Yang ia dapatkan hanyalah sakit perasaan sebab harga diri selalu tertindas di mana pun ia berada.
Perut Jaya selalu lapar. Jikapun ia menemukan makanan, Jaya tak akan memakan semuanya melainkan menyimpan sebagian besarnya di dalam bundelannya. Hingga ia hampir tak pernah merasakan kenyang selama menjadi pengembara. Bagi Jaya, rasa kenyang adalah sebuah keistimewaan, jarang ia dapatkan.
Angin berembus pelan. Pohon-pohon pinus tinggi sedikit bergoyang, menjatuhkan beberapa bijinya yang bermekaran. Rambut panjang Jaya mendapat sedikit hiburan dari angin.
Saat Jaya semakin berlarut-larut dalam kesedihannya, tetiba saja telinganya menangkap suatu suara panggilan. Entah bagaimana ia dapat menjelaskan rupa suara itu. Halus dan lembut. Syahdu terdengar. Tulus dan suci, seakan pemilik suara itu tidak pernah berbuat dosa apa pun selama hidupnya. Hidung Jaya diisi aroma bunga yang samar, membuatnya nyaman.
"Kaubutuh teman?"
Jaya menengok ke belakang. Seorang wanita muda berdiri di sana. Melihat dari atas sampai bawah dengan terkesima, kecantikan wanita itu amat jauh melebihi perempuan kembang desa di tempat asalnya. Kulitnya bersih dan halus. Rambutnya hitam, bersih dan halus pula. Mata cokelatnya menatap Jaya dengan hangat. Begitu senyumnya juga. Ia memakai pakaian putih-putih yang semakin meneguhkan keanggunannya. Jaya hanya menengok barang sebentar sebelum kembali merenungi tanah di depannya. Di keadaan putus asa seperti ini, adakah yang dipedulikannya selain dari keputusasaan itu sendiri?
Sekalipun wanita itu adalah wanita tercantik yang pernah Jaya temui. Ratusan kali lipat dari wanita tercantik, tetapi Jaya tetap putus asa. Pikirannya kosong. Bahkan wanita muda itu dianggap mengganggunya.
"Ya. Sepertinya kamu memang membutuhkan teman." Gadis itu tersenyum semakin lebar ketika dia menjawab pertanyaannya sendiri. "Bolehkah aku duduk di sebelahmu?"
Jaya tak menjawab, tapi gadis itu telah bergerak duduk di sampingnya. Aroma bunga semakin jelas tercium. Pekat, seperti aroma melati, tetapi lebih lembut darinya. Jaya seketika terbuai.
"Namaku Kenanga. Siapakah namamu, Kangmas?"
Gadis muda itu mencoba bersikap lebih sopan..
"Jayamantingan, Nyai." Singkat dan datar, Jaya ingin gadis itu tahu kehadirannya sangat tidak diinginkan.
Tetapi gadis bernama Kenanga malah tertawa kecil. "Jangan panggil aku dengan sebutan 'Nyai', Kangmas," bisiknya.
"Namamu mengandung arti yang mendalam. Jayamantingan ... jaya karena bantingan. Bukankah begitu?"
Sebenarnya itu bukanlah nama yang diberikan orangtuanya. Jayamantingan adalah nama yang dipilihnya sendiri secara asal-asal. Dipakai setelah memutuskan menjadi pengembara dengan maksud mengubah kepribadian. Ia sama sekali tak menduga arti tersembunyi dari nama barunya itu.
"Kalau Kangmas tahu itu, mengapakah Kangmas masih ada di sini dan menyesali perbuatan yang lalu-lalu?"
"Nyai tidak berhak tahu urusan saya." Jaya berkata lebih dingin tanpa memandang sedikitpun pada perempuan itu.
"Bukankah dengan bantingan, Kangmas bisa meraih kekuatan dan keperkasaan? Pusaka dibanting palu tempa ribuan kali sebelum akhirnya menjadi senjata yang kuat dan membanggakan, bukan?"
Jaya tak menanggapi. Namun meskipun demikian, giginya mengeluarkan suara bergemertak tanda ucapan Kenanga telah benar-benar menyinggungnya. Ia tetap diam di tempat.
"Kangmas ingin menjadi pengembara terkenal, bukan?"
Jaya menatap gadis di sebelahnya dengan pandangan tajam. Bagaimana bisa Kenanga tahu keinginannya yang tak pernah ia katakan atau bisikkan pada siapa pun itu? Bagaimana Kenanga tahu bahwa ia telah berjalan melalui masa-masa terburuknya? Dan bagaimana bisa ada seorang gadis di tengah bukit tinggi yang amat sepi seperti ini? Pandangan Jaya dipenuhi tanda tanya dan ketakutan saat ini. Jangan-jangan gadis ini adalah siluman buaya putih berbau melati yang sedang mencari mangsa!
"Siapa dikau sebenarnya?!" Suara Jaya menggetarkan udara. Keras.
"Sudah kubilang, Kangmas," desisnya, dengan senyum lebar. "Aku Kenanga."
____
catatan:
Tokoh utama butuh waktu untuk memutuskan menjadi pendekar. Pilihan Pembaca yang Budiman ada dua, pertama ialah bersabar dan menikmati arus cerita; yang kedua ialah lompat ke jilid 2. Tetapi saya sarankan untuk bersabar.
Selamat membaca dan berpetualang di antara lembah-lembah hijau Sang Musafir!
Follow IG @westreversed untuk mendapatkan ilustrasi cerita atau informasi terkini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 650 Episodes
Comments
Matt Razak
Mantap
2023-12-02
0
John Singgih
MC kita selalu sial diawal kisah
2023-09-18
0
QueenDevil
😂😂
2023-08-13
0