"Baiklah Bu, Terimakasih sebelumnya." Bunga sangat senang mendengar ajakan dari Bu Dini.
"Baiklah Neng Bunga, kalau begitu Ibu permisi dulu, Saya mau meneruskan jualannya lagi." Pamit Bu Dini.
"Eh... Bu tunggu dulu sebentar Bu. Saya mau gehunya." Ujar Bunga, menahan dulu Bu Dini, yang hendak pergi meninggalkan rumahnya.
"Oh iya, Neng Bunga... Silahkan." Ucap Bu Dini bahagia.
Gorengan jualannya tinggal sedikit lagi, sebentar lagi juga habis, Pikirnya.
"Saya pamit dulu ya Neng, Assalamualaikum..." Ucapnya, sambil beranjak pergi meninggalkan Bunga dan Angga.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya Bu!" Ucap Bunga dan Angga bersamaan.
***
Selepas Shalat Dhuhur, Bu Dini bertandang lagi ke rumahnya Bunga.
"Bagaimana Neng, sudah siap?..." Tanyanya pada Bunga yang sudah menunggunya di teras rumahnya.
"Sudah Bu, saya ingin segera mengetahui, tentang percikan darah itu." Ujar Bunga tak sabar.
"Jauh tidak Bu, tempatnya?.."
Angga bertanya, penasaran.
"Tidak, tidak jauh. Kalau jalan kaki juga, paling sepuluh atau lima belas menit juga sampai." Jawab Bu Dini memperjelas.
"Baiklah, kita berangkat sekarang yu!" Bunga mengajaknya supaya segera berangkat.
Merekapun lalu berangkat menuju rumahnya Bu Ustadzah Halimah, yang ada di Kampung sebelah, cuma terhalang oleh jalan Desa dan sungai yang lumayan lebar.
Mereka berangkatnya dengan jalan kaki, bertiga beriringan.
Setelah menyebrangi jalan Desa, mereka lalu meniti jembatan yang menghubungkan jalan desa, dengan kampung sebelah, Sebuah kampung yang asri, dimana sawah hijau luas terbentang. Di bawah lereng Bukit, di sanalah Ibu Ustadzah Halimah tinggal. Tempatnya sangat nyaman dengan udara yang begitu sejuk. Membuat siapapun merasa betah, untuk tinggal berlama-lama di sana.
Sesampainya di sana, kami di sambut dengan hangatnya.
Bu Ustadzah Halimah, orangnya sangat ramah dan murah senyum.
"Ustadzah, ini tetangga saya, Bunga, dan itu Angga Suaminya. Mereka belum lama menikah, tapi sudah kena teror yang sangat mengerikan." Ucap Bu Dini, menuturkan.
"Ada teror apa Neng?" Tanya Ustadzah, matanya yang indah menatap lembut, ke arah Bunga.
"Ada cipratan-cipratan darah , di halaman, di kusen pintu dan kusen jendela. Juga di pintunya." Bunga memaparkan.
"Sama persis, seperti waktu dulu di rumah saya, Ustadzah." Ucap Bu Dini lagi.
"Nampaknya... Ini orang yang sama. Dengan tujuan yang sama pula. Dia tidak mau melihat orang lain senang atau bahagia. Dia merasa takut, kalau orang lain menyaingi dirinya. Terutama dalam masalah kekayaan." Ungkap Bu Ustadzah Halimah lagi.
"Biar lebih jelas, Tolong beli gula pasir dulu satu kilo. " Perintah Bu Ustadzah, kepada Bunga.
"Disebelah kanan rumah saya, ada warung. " Ucapnya.
Angga pun segera beranjak dari ruang tamunya Ustadzah Halimah, untuk membeli gula pasir.
Tak berapa lama, dia sudah kembali dengan membawa gula pasir di tangannya.
"Ini Bu Ustadzah, gula pasirnya." Ujar Angga, kemudian diapun duduk kembali di tempat duduknya tadi.
Disobekkannya kantong plastik gula pasir itu, tepat di tengah-tengahnya.
Lalu, gula pasir itu di tatapnya beberapa sa'at. Seperti tengah menatap sesuatu.
Tangannya Bu Ustadzah, mulai mengaduk-aduk gula pasir itu.
"Ini rumah Neng Bunga ya?... Menghadap ke selatan. Di depannya ada beberapa makam. Ini di sebelah kiri rumah Neng Bunga ada jalan, dan di ada rumah yang besar di belakangnya. Itu rumah siapa Neng?" Tanya Bu Ustadzah Halimah, beliau berhenti sebentar sambil menatap ke arah Bunga.
"Rumahnya Bu Heni" Sahut Bunga.
"Terus ke sini... Di sebelah kanan rumah Bu Heni, di pojok sebelah barat, ada rumah kecil, di bawah benteng pabrik. Nah... Yang punya rumah ini yang terlihat oleh saya, dia yang menyiprat-nyipratkan darah,
Ke rumahnya Neng Bunga. Yang melakukannya adalah laki-laki bertubuh pendek, kalau yang menyuruhnya, perempuan yang bertubuh tinggi. Sepertinya, itu suami isteri." Ucap Bu Ustadzah Halimah lagi, beliau menuturkan secara gamblang.
Penuturan Bu Ustadzah Halimah, membuat matanya Bunga melotot, dengan mulut yang menganga, serta gerahamnya seakan mengeras.
Bunga sudah mendapatkan bayangan, dengan penuturan dari Bu Ustadzah Halimah itu. Siapa yang sudah menerornya dengan percikan darah itu.
"Yang meneror Neng Bunga, adalah masih Orang yang sama. Seperti yang waktu meneror ke Bu Dini dulu. Motifnya sama lagi. Darah yang di pakainya yaitu, darah ayam tulak. Dengan maksud, supaya rizkinya Neng Bunga terkunci. Jadi, susah untuk mencari rizki, selain itu... Dia juga menginginkan, rumah tangganya Neng Bunga hancur berantakan." Ujar Bu Ustadzah Halimah lagi.
"Kok ada ya... Orang yang seperti itu." Ujat Angga keheranan.
"Jelas ada, malahan banyak. Semua itu karena, rasa iri dan dengki. Dan juga, karena kurangnya atau sudah tidak adanya keimanan di dalam hatinya." Beliau berhenti sejenak.
"Untuk memuaskan hatinya, orang tersebut berani membayar dukun, dengan bayaran berapapun. Kalau ini Dukunnya kakek-kakek, tempatnya di sebuah desa yang lumayan agak jauh dari sini. Yaitu desa Cilidi" Beliau melanjutkan kembali penuturannya.
"Nanti juga, bakal ada orang yang bercerita sendiri ke Neng Bunga. Tentang perilakunya, nah... Itulah orang yang meneror Neng Bunga dan juga Bu Dini." Ujarnya lagi.
"Lalu... Kami harus bagaimana?..." Angga bertanya penasaran.
"Nanti, setelah shalat Isya, lanjutkan dengan wirid. Baca surah Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Al Fatihah, lalu Sholawat, dan Ayat Qursi sebanyak-banyaknya.
Terus di ulang-ulang, usahakan jangan sampai tidur sebelum lewat jam dua belas malam." Tutur Ustadzah lagi, Beliau menghentikan dulu perkataannya, untuk mengambil nafas dalam-dalam.
"Bila mendengar suara apapun, atau ada apa-apa, usahakan jangan berhenti membaca Surah-surah itu, ingat! Usahakan, sebelum lewat jam dua belas malam, jangan dulu tidur!" Ujar Beliau lagi.
"Terimakasih Bu Ustadzah, atas penjelasannya." Ujar Bunga dan Angga.
"Kami akan usahakan wirid terus, Sampai lewat jam dua belas malam." Tutur Angga.
"Iya.. Bu Ustadzah." Ucap Bunga pula, turut meyakinkan.
"Kalau nanti ada apa-apa, atau ada kejadian yang tidak di duga, besoknya usahakan Neng Bunga ke sini lagi ya. Atau, berdua juga boleh... Itu lebih bagus." Ucap Bu Ustadzah Halimah.
"Kalau begitu, baiklah kami permisi dulu, Bu Ustadzah. " Bu Dini mewakili Bunga dan Angga berpamitan.
"Iya.. Silahkan! Jangan sampai lupa pesan Saya tadi." Ujarnya lagi mengingatkan.
"Baik Bu Ustadzah, Assalamualalikum." Sahut kami.
***
Malamnya, selepas Shalat Isya, Angga dan Bunga melaksanakan semua yang di perintahkan oleh Ibu Ustadzah Halimah.
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu, rumahnya.
Dua jam sudah berlalu, tidak ada apa-apa yang terjadi.
Mereka terus melanjutkan wiridnya, dengan serius.
Jam sebelas malam, Bunga mulai menguap beberapa kali. Dia mulai mengantuk.
"Jangan dulu tidur, Neng! Ingat apa kata Bu Ustadzah Halimah." Angga segera mengingatkan Isterinya.
"Iya Bang... Aku ingat!" Ujar Bunga pula, dia mencoba untuk tidak nguap lagi.
"Sebaiknya, berwudhu dulu Neng! Biar tidak ngantuk." Angga menyuruh Isterinya supaya ngambil Wudlu dulu.
"Iya Bang, tapi di anterin ya."
Bunga minta di anterin. Sepertinya, dia merasa takut.
Angga menganggukkan kepalanya, sambil bangkit dari tempat duduknya, Bunga segera mengikuti Suaminya dengan memegangi tangannya.
Merekapun berwudlu kembali, setelah selesai, Angga dan Bunga segera kembali ke ruang depan lagi.
Mereka mulai melanjutkan wiridnya kembali.
Jam di dinding, jarumnya telah menunjuk ke angka sebelas, lebih empat puluh lima menit.
Lima belas menit lagi menuju ke pukul dua belas.
Tepat tengah malam...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Nova Marlina
suka deh ceritanya..😍
2022-01-01
0
pxtrq_
tanda bacanya udah bagus bangat thorr, awalnya juga seru bangat.. seneng bangat kalau ngebaca kek gini.. ku kasih hadiah mawar biar tambah semangat...
jangan lupa back yahh
2021-10-04
1
Susanti Ibrahim
kasi boom like Thor , ku tunggu feedbacknya ya
2021-08-29
0