"Coba Saya lihat." Bu Dini mendekati kusen pintu yang banyak cipratan-cipratan darah keringnya.
Bu Dini seperti yang tengah menelitinya.
Dia perhatikan ,percikan darah kering itu dengan seksama.
Setelah melihat darah kering itu, matanya menatap wajah Bunga lekat-lekat. Sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu.
Namun...
Nampak tersirat ada keraguan di raut wajahnya.
Membuat Bunga menjadi penasaran.
Bungapun segera bertanya "Ada apa Bu?..."
Bu Dini tidak segera membalas pertanyaan itu. Tetapi, dia menatap tajam ke arah Bunga. Raut wajahnya, seperti yang penuh dengan tanda tanya, yang mengharapkan jawabannya.
"Ada apa, Bu?..." Bunga mengulangi pertanyaannya.
" I.. Ini.. Da... Darah " Ujarnya terputus-putus. Matanya tak lepas menatap Wajah Bunga yang keheranan.
"I... Iya... Bu, Itu cipratan darah. Tapi, entah darah apa dan, dari mana?" Angga menjawabnya.
Diapun dengan segera mendekati Bu Dini.
"Ini... Se... Seper...Ti, dulu ada di rumah Saya." Ucapnya dengan terbata-bata.
Dia tertegun sejenak, seakan ada yang tengah di ingat-ingatnya.
Namun...
Entah apa, Angga dan Bunga saling pandang, mereka merasa kebingungan dengan tingkahnya Bu Dini.
"Bu... Ibu tidak apa-apa?..." Bunga mencoba peduli dengan keadaan Bu Dini.
" Neng...Bunga... I...Ini... Bukan darah biasa." Bisiknya, di telinganya Bunga.
"Maksudnya?..." Bunga sedikitpun tidak mengerti,
"Sebaiknya, kita bicaranya di dalam saja Bu, sambil minum teh hangat, biar santai." Ucap Bunga, mencoba menenangkan Bu Dini yang nampak tegang. Wajahnya mulai memucat, dengan bibir yang bergetar.
Tidak menunggu Jawaban dari Bu Dini, Bunga segera meraih tangannya Bu Dini, kemudian di papahnya masuk ke dalam rumah.
Sedangkan dagangannya, di bawa masuk oleh Angga.
Kedua Suami-istri itu, merasa sangat penasaran dengan perilaku Bu Dini sa'at itu.
Nampaknya, seperti ada yang tengah di sembunyikan. Atau... Ada sesuatu yang ingin di sampaikan olehnya. Namun, Bu Dini seperti yang ragu dan was-was, untuk menyampaikannya.
Bu Dini tidak menolak dengan ajakannya Bunga. Diapun segera berdiri, dan melangkahkan kakinya, menuju ke dalam rumahnya Bu Hindun, mengikuti Bunga, yang mengajaknya.
"Silahkan duduk Bu, ma'af kami belum punya kursi." Ujar Bunga. Dia mempersilahkan Bu Dini, untuk duduk di atas karpet yang di gelarnya di ruang tamu.
"Iya Neng, terimakasih. Tidak apa-apa Neng." Sahut Bu Dini, sembari duduk di atas karpet empuk yang tergelar di sana.
Bunga segera membikin air teh hangat, dan segera pula di antarkannya ke hadapan Bu Dini.
"Silahkan Bu, di minum dulu teh hangatnya." Ucapnya. Diapun lalu duduk bersimpuh di samping Bu Dini, yang nampak masih kebingungan.
"Iya Bu, silahkan! Mungpung masih hangat." Angga menimpali, tangannya langsung mengambil gagang cangkir yang ada di depannya. Sejurus kemudian , dia menyeruputnya.
"Alhamdulillah... Tehnya segar Bu. Silahkan!" Ujarnya, sembari menyimpan cangkir, yang telah di seruput separo
air tehnya.
"Iya Bu... Ayo di minum dulu tehnya. Nanti, setelah minum teh, Bu Dini lanjutkan ceritanya. Saya penasaran, dan ingin tahu tentang percikan darah itu." Bunga berucap lembut.
"Iya Neng, terimakasih." Di minumnya air teh hangat itu.
"Baiklah Neng Bunga." Ujar Bu Dini, sambil menyimpan kembali cangkir teh hangat ke tempatnya semula.
Sebelum meneruskan ceritanya, Bu Dini menghela nafasnya dalam-dalam. Kemudian, mengeluarkannya perlahan. Seakan ada beban yang sangat berat, yang ingin dia keluarkan dari dalam dirinya.
"Begini, Neng Bunga... Bang Angga. " Bu Dini diam sejenak. Dia seperti menelan ludahnya, nampak sedikit ragu dalam perkataannya.
Bunga dan Angga, sudah tak sabar ingin segera mendengar dan mengetahui tentang percikan darah yang ada di rumahnya itu.
Melihat Bu Dini terdiam, Pasangan suami-istri itu, saling tatap tak mengerti dengan tingkahnya Bu Dini, yang ada di hadapannya itu.
"Bang..." Bisik Bunga.
Dia merasa tidak sabar, menunggu penuturan dari Bu Dini, tentang percikan darah yang ada di sekitar rumahnya itu.
"Darah itu... Seperti, darah yang dulu pernah ada di sekitar rumah Saya. Sama persis, dan... Ternyata..." Bu Dini tidak melanjutkan ceritanya.
Dia malah menatap wajahnya Bunga, yang sangat ingin mengetahui ceritanya.
" Di rumah Bu Dini juga pernah ada percikan darah seperti itu?... Kapan Bu...? Dan, darah apa?" Bunga membrondong dengan beberapa pertanyaan.
"Iya Neng.. Beberapa tahun yang lalu. Di sa'at itu, jualan
Saya lumayan maju. Maklum , waktu itu, hanya beberapa orang yang buka usaha warung di kampung ini." Lanjutnya lagi.
"Lalu... Apa hubungannya dengan percikan darah itu?"
Angga merasa heran, dia belum mengerti, kemana arah pembicaraan Bu Dini.
Bu Dini tersenyum, melihat Angga seperti itu.
"Darah itu, mengitari sekeliling rumah Saya. Sama seperti yang ada di rumahnya Neng Bunga Sekarang ini. Percikan darah itu, ada di kaca jendela, di kusen pintu, kusen jendela, ya... Persis seperti yang ada di rumah Neng Bunga." Lanjutnya.
"Awalnya, Saya juga tidak curiga dengan percikan darah itu, saya menyangka itu adalah darah tikus yang di gigit kucing. Tapi, setelah keesokkan harinya, Ibu saya datang ke rumah. Beliau mengatakan bahwa, beliau memimpikan rumah saya ini, di kelilingi oleh makhluk yang tak kasat mata, yang di suruh oleh seseorang, yang tidak suka sama saya. Dan, ingin menghancurkannya." Bu Dini melanjutkan perkataannya kembali.
Mendengar perkataan Bu Dini, bulu kuduknya Bunga serasa meremang, berdiri dan merinding.
Ceritanya Bu Dini terdengar menyeramkan.
Bunga meraba tengkuknya...
Dia mulai ketakutan.
"Karena, di dorong oleh rasa penasaran, akhirnya saya dan Ibu saya, menanyakan hal itu ke Bu Ustadzah Halimah. Dan... Yang membuat saya sangat kaget, adalah... Ternyata...
Bu Dini diam lagi sesaat, dia seperti yang ragu.
"Lalu... Bagaimana, Bu??" Bunga tak sabar, ingin segera mendengarkan kelanjutan dari ceritanya itu.
"Menurut Bu Ustadzah Halimah, da... Darah itu... Adalah... Darah Ayam tulak, yang sengaja di cipratin oleh seseorang yang membenci kita. Orang itu... Menginginkan, supaya usaha saya bangkrut, lalu rumah tangga saya berantakan. Dan... Dan... Menurut Ustadzah, orang yang melakukannya adalah... Emh.. rumahnya dekat dengan rumah saya, dia merasa iri sama saya." Bu Dini melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata.
Rasa ragu masih jelas terlihat di wajahnya.
Nampaknya, masih ada yang di tutupinya.
Bu Dini belum menceritakan semuanya.
Ini membuat Bunga, semakin penasaran saja.
"Lalu... Siapa yang melakukannya?..." Angga bertanya lagi.
"Saya... Saya... Tidak... Tidak..
Bisa mengatakannya. Sebaiknya... Neng Bunga sama Bang Angga, ke rumahnya Bu Ustadzah Halimah saja. Dan... Nanti, Bu Ustadzah Halimah akan menjelaskannya." Lanjutnya.
"Tapi, Saya tidak tahu tempatnya, Bu." Ucap Bunga.
"Nanti, Saya anterin ke sana.
Kapan Neng Bunga mau kesana?..." Bu Dini bersedia untuk mengantarnya.
"Gimana, kalau nanti agak siangan, setelah saya beres jualan." Ujar Bu Dini lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Edi yuzzardy
manteppp..gaya bahasa alur cerita bagus dan enak di baca...bagusss..mudah di mengerti thot
2021-12-31
0
Anisa Anwar
I like
2021-07-09
0
Dhina ♑
Jangan-jangan perbuatan manusia biasa kan, melakukan pembunuhan?
2021-06-08
4