Sudah hampir satu bulan, Kang Dedi, menderita sakit gigi.
Awalnya dia mengira, itu sakit gigi biasa.
Namun, setelah dia di tengok oleh Saudaranya, barulah dia merasa ada yang aneh, dengan sakit giginya itu.
"Sudah hampir satu bulan, kamu tidak jualan kang." Deni, adiknya Dedi, bertanya keheranan.
"Iya Den! Aku juga heran." Sahut Dedi, dengan wajah yang meringis menahan sakit.
"Itu... Lho! Ipar, yang jadi heran, sakitnya itu... Datangnya, dua jam sebelum mau berangkat jualan. Sampai jam delapan malam lah. Kakakmu itu kan, jualannya sore hari." Mbak Ani ikut nimbrung. Sambil meletakan cangkir yang berisi air teh hangat, dan kue untuk teman minumnya.
"Maksudnya... Bagaimana Mbak?" Wajah Deni nampak keheranan.
" Iya... Sakitnya itu lho? Dari pagi tidak terasa apa-apa, walau pipinya kelihatan bengkak. Tapi, di saat mendekati berangkat... Waduuh... Itu sakitnya, bikin melas Aku melihatnya." Ujar Mbak Ani lagi.
"Kalau sekarang, berarti tidak sakit?..." Deni bertanya lagi.
"Tanya aja sendiri." Ujar Mbak Ani.
"Sekarang kan masih siang, ya Enggak sakit. Biasanya, nanti... Mulai jam dua sampai jam delapan malam, waduuh... Itu sakitnya minta ampun!" Kang Dedi menjelaskan perihal sakitnya itu.
"Sakitnya itu... Serasa semua gigi ini di copotin. Terasa di tarik-tarik pake tang. Ngilunya... Enggak kuat Saya nahan sakitnya itu." Lanjutnya lagi.
"Melihat waktu sakitnya, tepat! Saat Akang bersiap-siap mau jualan kan?... Seperti yang mencegah supaya Kang Dedi, tidak jualan ya. Kok! Penyakit, bisa seperti itu ya?... Aneh, tak masuk akal!"
Deni berujar, sambil mengernyitkan keningnya.
Dia, nampak berpikir keras.
"Sudah di obati kemana saja Kang?..." Tanyanya lagi, sepertinya penasaran.
"Ya... Ke dokter gigi lah!" Sahutnya.
"Bolak-balik ke dokter gigi. Selama sebulan, lumayan lah, bikin tabungan habis. Mana Enggak bisa usaha lagi. Sekarang, Enggak nyiapin bahan buat jualan lagi. Sayang-sayang uang. Kalau waktu pertama sakit, selama seminggu, Saya tiap hari nyiapin bahan-bahan untuk jualan. Sudah siap-siap, eeh... Gigiku sakit banget! Akhirnya... Ya rugi lah." Ujar Kang Dedi.
"Sudah ke dokter bolak-balik, pake obat herbal, pake ini, itu. Satupun Enggak ada yang mempan, Heran." Lanjutnya lagi.
"Aduuuh.... " Tiba-tiba, Kang Dedi berteriak, mengaduh kesakitan.
Pipinya memerah...
Bengkaknya makin membesar.
Kang Dedi nampak begitu tersiksa. Dia mengaduh kesakitan.
"Bagaimana ini Mbak?..." Deni kebingungan.
"Gigiku... Hu... Wuaduuuh...Sakiiiit...!" Teriaknya, sungguh! Sangat kesakitan nampaknya.
Sakit yang di deritanya, nampak lebih parah dari biasanya.
Dia berguling kesana-kemari.
Tak beraturan.
"Ada apa ini?..." Bu Heni datang dengan tergopoh-gopoh.
Rupanya, suara teriakan Kang Dedi, sampai ke telinganya Bu Heni.
"Ya Allah...! Kang Dedi kenapa?..." Ujarnya keheranan.
"Sakit gigi, Bu." Sahut Mbak Ani.
"Kenapa bisa begini?..." Bu Heni Khawatir dan ketakutan nampaknya. Dia mundur beberapa langkah.
"Kita ke dokter aja Mbak! Kasihan kang Dedi." Deni merasa Khawatir dengan keadaan kakaknya, yang tak henti mengaduh kesakitan.
Merekapun berangkat ke dokter, untuk kesekian kalinya, gigi Kang Dedi di periksa kembali.
"Ini Saya kasih resep, untuk meringankan rasa sakitnya. Tapi, harganya lumayan lebih mahal daripada obat yang kemarin. Semoga, obat ini cocok ya Bu ya." Ujar dokter, sambil memberikan resep obat, untuk mengobati sakit gigi Suaminya.
Sebelum pulang ke rumah, mereka mampir dulu ke Apotek, untuk menebus obat.
"Semuanya jadi, Dua juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah." Ujar petugas Apotek.
"Apa Mbak?... Dua juta, tujuh ratus delapan puluh ribu?..."
Mbak Ani dan Deni terperanjat kaget, mendengar harga obat yang fantastis itu.
Menurut Mereka, memang harga segitu sangatlah mahal. Mungkin tidak bagi orang lain.
"Kenapa Mbak?..."
Mbak Ani bergumam pelan "Uangnya kurang... Aku hanya punya segini..." Di sodorkannya uang yang ada di tangannya.
Hanya enam ratus ribu rupiah. Masih banyak kekurangannya.
"Saya punya segini Mbak, buat nambah-nambah." Deni memberikan uangnya sebesar tigaratus ribu.
Tangan Deni, di singkirkan nya.
Dia tidak mau merepotkan Adik iparnya.
"Enggak usah.. Terimakasih."
"Enggak apa-apa Mbak... Saya ikhlas." Sahutnya.
"Enggak usah..." Mbak Ani menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mau merepotkan Adiknya.
Dia lepaskan kalung emas yang dipakainya. Perhiasan satu-satunya, yang masih tersisa.
Gelang, dan cin-cin nya, sudah lama di jualnya. Waktu Kang Dedi, baru beberapa hari kena penyakit aneh itu.
"Mudah-mudahan, uang dari hasil penjualan kalung ini, cukup untuk membeli obatnya Kang Dedi."
"Saya nitip Suamiku, Sebentar. Saya mau menjual ini dulu." Ujar Mbak Ani.
"Saya anterin ya Mbak. Takut ada apa-apa. Kang Dedi, biar kita titipin ke suster saja. Bagaimana?..." Deni memberikan usulan.
Mbak Ani menganggukan kepalanya, dia setuju dengan usulan adik iparnya itu." Baiklah."
Ternyata...
Uang hasil penjualan kalung itu, belum mencukupi.
Hanya ada Satu juta, dua ratus lima puluh ribu rupiah saja. Karena, tiap gramnya kena potongan.
"Masih banyak kekurangannya..." Gumamnya sedih.
"Bagaimana, kalau kita tebus
obatnya separonya saja?..."
Deni menyarankan.
"Iya ya... ! Benar itu. Ayo!" Mbak Ani merasa senang, karena, mendapatkan jalan keluarnya.
Bergegas mereka menuju ke Apotek, untuk menebus obat.
*****
seminggu sudah berlalu, tapi, tidak ada perubahan sama sekali, pada penyakitnya Dedi. Obatnya sudah habis. Tapi, penyakitnya masih saja betah, bersarang di sana.
Entah harus di obati pakai obat apa lagi.
Tabungan dan seluruh perhiasan yang ia punya, sudah habis tak bersisa...
Semuanya di pakai untuk pengobatan suaminya.
Tapi, sedikitpun penyakitnya itu berkurang. Tak ada perubahan sama sekali.
Penyakitnya Dedi, makin berat saja. Sampai dia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Penyakitnya semakin parah.
Mereka sudah tak tahu lagi, harus di obati pakai apa?... Dan, di obati kemana?...
Harta yang berharga satu-satunya, tinggal sepeda motornya.
Itupun, mungkin tidak akan lama lagi, pasti akan di jualnya juga.
Untuk kebutuhan sehari-hari, untuk pengobatan Suaminya, juga untuk membayar Kontrakannya.
Benar saja!
Saking sudah tidak punya apa-apa lagi, akhirnya...
Motor pun terpaksa di jualnya.
Menempati rumah kontrakan itu, hanya dalam beberapa bulan saja, sudah meludeskan seluruh harta bendanya.
Usahanya hancur, tak berjalan sama sekali.
"Sebaiknya... Kita pindah rumah saja pak. Sudah tidak ada harapan lagi untuk terus menempati rumah ini. Uang kita sdah habis." Mbak Ani, sudah tidak punya pilihan lain lagi, kecuali pindah rumah.
Sambil menahan sakit yang semakin menjadi, Kang Dedi Hanya menganggukkan kepalanya.
Airmata, nampak menetes di kedua pipinya. Karena, rasa sakit yang sudah tidak dapat di tolerir lagi.
Diapun merasa sudah tidak sanggup lagi untuk terus tinggal di rumah itu.
Penyesalan terukir di wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Isnanto Fajar Nugroho
👍
2021-10-04
0
Neti Jalia
aku mampir kk, mampir jg dikaryaku ya
"Suamiku ceo ganas
"SARLINCE🤗🙏
2021-09-29
0
Titik pujiningdyah
semangat kak
2021-09-29
0