Bidadari Surga Yang Dirindukan
BIDADARI SURGA YANG DIRINDUKAN
Bab 1
Jika rasa cinta terhadap seorang hamba mendatangkan rasa sakit dan membuat luka, maka akan ku cabut rasa cinta itu hingga sakit yang ada akan pergi, dan luka yang tersisa akan ku obati dengan segala cara. Tolonglah daku yang lemah ini, ya Allah….
Hani mengusap butiran airmata yang terus mengalir membasahi pipinya yang semakin tirus. Ia tak menyangka harus mengalami proses menuju perceraian dalam rumah tangganya yang baru berumur 4 tahun, dengan 3 putra dan putri yang masih berusia balita.
Sudah kedua kalinya ia memenuhi panggilan pengadilan agama dalam proses mediasi. Tetapi Aditama suaminya tidak pernah sekalipun menghadiri panggilan dari pihak pengadilan karena kesibukannya, sehingga proses yang dilalui hanya diwakili pengacara Aditama saja yaitu Benhart Sujiwo.
“Mbak baik-baik saja…?” Hanif menggoyang-goyang tangan Hani kakaknya yang terus melamun.
Hani menoleh ke samping memandang wajah Hanif kembarannya yang selalu setia mendampinginya selama proses sidang perceraian. Ia menghela nafas dengan berat.
“Aku tidak baik-baik saja, Nif…” Pandangan Hani kosong menatap keluar jendela pengadilan agama.
“Mbak tidak bisa terus seperti ini. Pikirkan Ariq dan Ali, serta Hasya. Mereka memerlukan mbak.” Hanif menggenggam tangannya dengan erat untuk memberikan kekuatan kepada saudara perempuan satu-satunya.
“Kenapa mas Adi tega mengkhianatiku hingga menceraikanku…” Hani menghapus airmata yang kini tak terbendung. “Kalau memang dia tidak mencintaiku, harusnya dia tak menerima perjodohan ini, dan menikah denganku…”
“Persetan dengan cinta.” rutuk Hanif dengan kasar. “Kalau tidak ada cinta tidak mungkin ada si kembar dan Hasya. Aku tidak terima Aditama melakukan hal ini. Jangan mentang-mentang mereka kaya, bisa melakukan hal sekehendak mereka.” Hanif menggeram kesal.
Sementara di dalam bangunan yang sama, seorang laki-laki muda sedang membolak-balik berkas perceraian sambil membaca dan mempelajari dengan seksama. Dialah Faiq Al Fareza, hakim muda yang akan memutus perkara perceraian yang kini dijalani Hanifah Az Zahra dengan Aditama Prayoga.
“Aku merasa kasihan dengan perempuan muda itu…” ujar Hendro rekan Faiq yang akan mendampinginya dalam proses persidangan, “Umurnya baru 26 tahun, tetapi sudah menyandang predikat janda dengan 3 anak.”
“Apa kau tertarik dengannya…” sela Hesti yang juga merupakan rekan seprofesi mereka, sambil meletakkan teh hangat di meja Faiq.
Hendro memandang Hesti sambil tersenyum, “Bilang aja mbak Hesti cemburu, karena mas Faiq akan berhadapan dengan janda ayu itu.”
“Apa sih mas Hendro…” Ia merasa malu, karena yang dikatakan Hendro banyak benarnya. Sudah setahunan ini kedekatannya dengan Faiq membuat debaran tersendiri di dalam dadanya. Hakim muda yang umurnya memasuki kepala 3 tersebut telah membuat benih-benih di hatinya tumbuh tak terkendali. Mereka sudah bekerja satu atap hampir 3 tahun, tetapi semenjak Faiq mulai menggantikan seorang senior yang telah memasuki purna bakti membuat hubungan mereka semakin dekat walaupun masih berjarak.
Dr. Faiq Al Fareza, LC, MH., alumnus Al-Azhar Mesir. Siapa sih yang tidak terpesona padanya. Dengan postur tinggi menjulang, wajah ganteng serta keturunan sultan, tak heran para gadis yang bekerja di Pengadilan Agama Jakarta Selatan berusaha menarik perhatiannya. Hanya Hesti Handayani yang berhasil dekat dengannya walaupun tanpa status karena hubungan pekerjaan yang membuat mereka terus bersama.
“Kalau aku masih lajang, sudah pasti.” Hendro menjawab dengan lugas.
“Kalau perawan masih banyak, kenapa milih janda?” Hesti mengerling Faiq dengan raut tak senang.
“Janda semakin di depan, bro.” tukas Hendro cepat.
Faiq tersenyum tipis, “Kalian ini seperti nggak ada kerjaan saja.” Ia terus membaca gugatan permohonan cerai pihak Aditama Prayoga terhadap Hanifah Az Zahra yang menerangkan bahwa pihak suami menggugat cerai istri karena isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, ditambah point istri berbuat zina, sehingga terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
“Mas Faiq, komen dong.” pinta Hesti manja, membuat Faiq menoleh padanya.
“Apa yang harus ku katakan…?” Faiq mengerutkan keningnya tak paham dengan ucapan Hesti seraya memandang Hendro.
Hendro memanyunkan bibirnya ke arah Hesti. “Tuh, anak perawan pengen dilamar.” Ia tertawa kecil membuat Hesti memukul bahunya dengan keras.
“Mas Hendro jangan kelewatan …” sela Hesti sambil menatap Faiq dengan malu-malu tapi mau banget.
Faiq menggeleng-gelengkan kepala atas kelakuan kedua rekannya. Ia bangkit dari duduknya tak lupa membawa dokumen yang sempat ia baca sekilas melangkah meninggalkan ruang pertemuan menuju ruang kerjanya. Tapi sebelum melangkahkan kaki menuju ruangannya, Faiq melewati ruang tunggu. Tatapan matanya teralihkan pada sesosok perempuan muda yang berdiri dekat jendela, sehingga menutupi sebagian kaca membuat cahaya hanya masuk sebagian ke dalam ruangan.
Dengan pelan Faiq berjalan menghampiri perempuan tersebut, “Maaf mbak, apa nggak merasa silau menantang cahaya matahari seperti itu?”
Hani menoleh mencari suara yang menegurnya. Ia memandang lelaki itu dengan wajah sendu tak bercahaya.
“Deg…” Faiq terpana melihat sosok perempuan yang memandangnya tanpa bersuara. Tatapan teduh dengan mata sayu bulat membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.
Tanpa menjawab Hani beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah pelan memasuki ruang sidang tak mempedulikan tatapan Faiq yang tak lepas darinya.
Faiq segera memasuki ruang kerjanya dan duduk di kursi yang meja kerjanya dipenuhi berkas dengan laptop yang masih menyala. Tatapan teduh bermata sayu itu terus mengganggu pikirannya.
“Astagfirullahadjim, ya Allah… apa yang terjadi padaku …” Ia menghela nafas berat. Sorot mata teduh dengan bulu mata lentik sayu itu tak lepas dari ingatannya.
“Apa ia sedang menemani saudaranya yang menghadiri persidangan hari ini…” guman Faiq berbicara sendiri. Tak dapat ia pungkiri, pertemuan pertama dengan si mata teduh telah mengacaukan kosentrasinya saat ini.
“Ah, sudahlah. Fokus.” Faiq menyemangati diri sendiri. Ia melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8.45 menit. Hari ini ia mulai menggantikan pak Husen yang akan memasuki masa purna bakti untuk memimpin sidang perceraian. “Ini adalah kasus perceraian pertama yang ku tangani. Semoga Allah melancarkan urusanku…”
Ketukan di pintu ruangannya membuat Faiq meletakkan berkas perceraian di meja. “10 menit lagi persidangan akan dimulai.” Hendro memajukan kepalanya melongok ke dalam ruangan Faiq memberitahunya.
“Ya, aku akan segera bersiap.” Faiq segera mengenakan pakaian kebesarannya mengikuti langkah kaki Hendro yang sudah bergabung dengan Hesti serta beberapa rekan mereka yang akan mengiringi persidangan kedua kasus perceraian Aditama Prayoga dan Hanifah Az Zahra.
Langkah Faiq yang berjalan di depannya membuat Hesti menelan ludah. Ia begitu mengagumi sosok tegap kokoh nan tampan itu, yang seolah-olah tak bisa disentuh, hanya dapat dilihat dan dikagumi tapi susah untuk dijangkau. Tapi Hesti tak peduli, selama ia masih berada di samping Faiq, ia akan melakukan apapun untuk menarik perhatian hakim ganteng tersebut.
Faiq segera duduk di kursi kebesarannya sambil merapikan berkas yang ada di hadapannya. Hesti, Hendro beserta 3 orang rekannya, Rudi, Anggi dan Darwin sedang mengisi buku besar beserta administrasi lainnya.
Mata Faiq terpaku menatap sosok yang sempat menghentikan dunianya sesaat, duduk didampingi seorang laki-laki muda dengan wajah tegang. Ia mengedarkan pandangan ke samping, dilihatnya seorang lelaki muda lainnya dengan didampingi pengacara beserta seorang perempuan yang memegang berkas dan memberikan kepada sang pengacara.
“Persidangan akan segera dimulai.” Hendro mengeluarkan suaranya membuat ruangan seketika hening. “Silakan pihak penggugat untuk membacakan surat gugatan.”
Bernhart Sujiwo segera berdiri hendak membacakan surat gugatan yang telah dikuasakan oleh Aditama kepadanya.
Ruangan hening mendengarkan isi gugatan Aditama sebagai pihak penggugat kepada istrinya sendiri yaitu Hanifah Az Zahra yang dibacakan oleh pengacaranya yang disaksikan oleh asisten Aditama yakni Johan Pangestu, yang sudah dikenal Hani dengan baik.
Johan memandang Hani dengan perasaan iba. Ia tahu bahwa apa yang dibacakan Bernhart tidaklah benar, tetapi nyonya Linda yang merupakan mama Adi beserta Helen sekretaris Adi yang kini menjadi istri mudanya telah merencanakan dan mengatur semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 324 Episodes
Comments
dewi
baru baca... 👍👍👍👍
2023-08-11
0
Regina locadia 🦄🦋
Pertama baca tapi udah suka 🫰🏻
2023-07-04
0
tari
seruuuu
2023-06-09
0