Lari

Kakinya bergerak mengikuti langkah kaki orang yang berada di Bandara itu. Sesuatu menarik perhatiannya dari sekian banyak orang berlalu-lalang. Sosok bayangan manusia yang menutupi matahari sehingga membentuk siluet cantik di senja hari. Tiba-tiba suara peluru memekakkan telinga, memecahkan keramaian orang-orang yang berada di sekitar bandara yang semula tertib tertata dan rapi langsung berubah berhamburan ke sana-kemari. Suara teriakan panik dan jeritan tangisan terdengar dimana-mana. Bayangan laki-laki itu roboh tepat di depan matanya. Sesaat jantung Sherline berdetak keras kehilangan sebuah momen. Air matanya menetes. Sebelum berlari kencang ia masih melihat gerakan bibir yang mengatakan untuk lari.

Sepertinya keberuntungan berpihak pada Sherline kali ini. Keramaian dan kepanikan orang-orang membuatnya mudah untuk berlari sehingga beberapa bodyguard suami yang baru saja menjadi suaminya beberapa jam yang lalu tidak dapat mengejarnya maupun menemukannya dengan cepat. Berulang kali Sherline menoleh ke belakang, sisi kanan dan kiri, memastikan tak ada seorang pun yang mengenalnya disini. Keringat dingin membasahi sebagian pakaiannya. Sekilas dilihatnya sebuah celah untuk bersembunyi. Sejak pagi ia belum makan bahkan tidak ada waktu untuk bersiap-siap sekedar membasuh wajah. Ketika ia telah sampai di tempat persembunyian, Sherline merosot menyandar didinding, meratapi nasibnya sendiri dan kebodohannya kali ini.

“Tuhan, tolong aku!” (Gerutunya yang tidak disadari ketika sosok pria berdiri menjulang tinggi di hadapannya dengan santai).

Perasaannya merinding saat menengadah menatap suaminya berada tepat di depannya. Wajahnya kaku tanpa ekspresi membuatnya tidak tahu apa kali ini ia akan selamat.

“Apakah larinya sudah selesai sayang?!” tanya Alexander lambat dan ikut berjongkok di depannya tanpa rasa canggung atau kesulitan untuk melakukan hal itu.

Mereka bertatapan langsung dengan mata sebagai percakapan di antara keduanya tak terlihat. Perlahan di tarik Alexander tangan kecil istrinya untuk berdiri dan berjalan bersamanya. Walau kesal dengan caranya tapi ia terpaksa berjalan juga mengikuti langkahnya menjadi mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan halaman bandara tersebut. Beberapa bodyguard tampak menunggu pasangan suami istri itu.

“Apa maumu?” (Tanyanya sambil masuk ke dalam mobil itu, tentunya setelah pria itu masuk lebih dulu, Sherline merasa sedikit gugup ketika mencium aroma harum tubuh Alexander yang menguat menyiksa hidung mungil Alexander).

“Tidak banyak, jadilah milikku! Maka semuanya akan menjadi milikmu.” (Katanya sambil tersenyum lembut kearahnya. Hanya orang bodoh yang bisa merasakan senyum lembut itu tak seperti yang terlihat).

“Bukankah banyak wanita diluar sana yang bisa menjadi milikmu? Mengapa harus aku?” (Tanyanya lagi mengabaikan instingnya untuk tidak mengatakan sesuatu yang akan disesalinya kemudian hari).

“Mereka semua tak ada harganya! Sedangkan kamu berbeda Sherline. Aku hanya ingin kamu sayang.” (Jawab Alexander sesaat sebelum mencium kening Sherline sekilas).

“Apa bedanya aku dengan yang lain?” (tanya Sherline dengan tajam).

Alexander mengabaikan pertanyaan istrinya. Ia kemudian memejamkan mata menikmati alunan musik. Keningnya mengerut mendengar suara musik klasik. Karena, terlalu lelah berlarian sepanjang hari, Sherline menyenderkan punggungnya di kursi sambil memperhatikan sekelilingnya melalui jendela kaca mobil. Percuma saja tadi ia kabur, kalau tahu ternyata ujungnya tertangkap juga. Lebih baik ia menunggu di kamar motel saja sambil sarapan. Tak lama Sherline merasakan kantuk. Matanya terasa berat, perlahan ia pun menutup kedua mata cantiknya. Alexander menatap wajah Sherline yang manis. Nafasnya ringan tapi mampu membuat sang bos besar mafia lapang kabut mencari sang pujaan hati.