“Qi... Kapan pulang?” Suara Anggit merengek bak balita terdengar dari balik ponsel milik Qinan.
“Aku usahakan hari ini pulang. Kamu sudah makan? Sudah minum susu? Sudah minum vitamin?” Qinan begitu mengkhawatirkan kakak iparnya itu. Meskipun ia jauh dari Anggit saat ini, tapi otaknya tetap memikirkan Anggit.
“Hemmm...” Anggit hanya menjawab singkat.
“Anggit... Ayolah... Jangan bikin aku khawatir ya.” Qinan mulai panik.
“Haha... iya iya sudah. Aku tidak lupa semuanya. Tapi aku kesepian saja.” keluhnya.
“Mana Kak Ditto dan Si Beruang Kutub itu?” Tanya Qinan.
“Tuh... mereka lagi main games.” Sewot Anggit. Mereka sengaja pulang siang disuruh Lidya untuk menemani Anggit.
“Kamu minta saja mereka kulineran khas nusantara dari rumah ya! Atau mau aku pesankan dari sini?” tawar Qinan menghibur Anggit.
“Heemmm tidak usah. Segeralah pulang! Aku membutuhkan ocehanmu itu.” Nada bicara Anggit masih menunjukkan kekecewaan.
“Iya Anggit cantik...” Hibur Qinan.
“Ya sudah hati-hati ya. Sebelum telfon ini aku tutup, berikan ponselmu pada Devan.” seru Anggit.
“Okey.” Anggit menyerahkan ponselnya pada Devan.
“Dev, Anggit mau ngomong. Eh mau berceramah ding. Katakan saja ‘iya baiklah’. Gitu ya dan jangan membantah!” seru Qinan berbisik sambil memberikan ponselnya pada Devan yang tengah sibuk meninjau pengerjaan brand baru mereka.
“Iyaaaa Baiklah. Begitukan?” Devan mengambil ponsel Qinan.
“Halo Anggit. Ini Devan.” suara Devan terdengar sangat hangat di telinga.
“Dev... Jaga adikku. Jangan lupa beri dia makan bergizi tiga kali sehari. Jaga dia dari mata laki-laki kurang ajar.” Seru Anggit dengan suara bukan hanya berceramah tapi seperti sedang beroarasi berapi-api.
“Iyaaa... Baiklah.” Ujar Devan.
“Dev. Kau tidak berencana menginap kan?” tanya Anggit memastikan.
“Iyaaa” ujar Devan sambil melayani beberapa karyawan yang mengajak berdiskusi.
“Kau... Jangan-jangan kau berencana tidur sekamar dengan Qinan?” Tuduh Anggit. Sontak saja kedua orang kakak Anggit yang tengah asyik bermain games berhenti bermain.
“Iyaaaa.” Devan yang tidak fokus mendengarkan kata-kata Anggit, menjawab asal-asalan sesuai intruksi yang Qinan perintahkan tadinya. Suara mesin jahit yang berisik membuat Devan seperti hilang fokus mendengarkan kata-kata Anggit.
“Devaaaaan... Kirimkan alamat lengkap kalian sekarang juga!” seru Anggit.
“Ha? Apa? Kenapa kau berteriak?” tanya Devan bingung.
“Kirimkan alamat lengkap kalian padaku!” seru Anggit mengulang perintahnya tadi.
“Ooh baiklah.” Jawab Dimas santai. Tut... Tut... Sambungan telfon terputus tiba-tiba.
“Apa katanya?” Tanya Qinan pada Dev, ia sangat penasaran karena mendengar samar-samar suara teriakan Anggit dari balik ponsel.
“Kau disuruh mengirinkan alamat lengkap kita disini padanya sekarang.” ujar Devan santai.
“Aaaa.. Baiklah. Send...” Akhirnya Qinan mengirimkan lokasi mereka sekarang pada Anggit melalui pesan singkat.
Setelah menerima alamat lengkap dari Qinan, Anggit merungut dan langsung jalan ke kamar. Ia mengganti pakaiannya dan membawa tas sebuah tas besar seperti ingin pergi jauh. Berbeda jauh dengan pakaiannya yang rapi, muka Anggit tampak kusut karena membayangkan Qinan dan Devan tidur dalam satu kamar yang sama nanti malam.
Ditto dan Ricqi yang menyaksikan adik bungsunya itu keluar kamar dengan pakaian rapi langsung saling melirik satu sama lain.
“Anggit.. kamu mau kemana?” tanya Ricqi langsung menghampiri Anggit.
“Menyusul Qinan... Huaaa...” jawabnya ketus sambil menangis.
“Ha? Mana mungkin kehamilanmu sudah masuk 34 minggu. Bahaya Anggit. Ada apa memangnya?” Tanya Ricqi sambil memeluk Anggit mencoba menenangkan.
“Devan ingin berbuat jahat pada Qinan.” Ujar Anggit setengah berteriak.
“Apaaaa?” Ditto langsung berdiri dan beranjak ke kamar untuk bersiap-siap. Ricqi tidak memperdulikan Ditto sama sekali. Ia lebih fokus membujuk Anggit agar tenang.
“Anggit... Kamu tidak perlu kesana. Perjalanan ke Bandung itu jauh loh Anggit. Keburu Qinan dibobol. Mending lapor polisi ya.” Jawab Ricqi meyakinkan Anggit.
“Sini aku telfon polisi. Mana ponselmu.” Pelan-pelan Ricqi mengambil ponsel dari tangan Anggit. Saat Ricqi berusaha mengontrol emosi Anggit, tiba-tiba Ditto keluar dari kamarnya dengan pakaian serba hitam ketat memperlihatkan otot-otot tubuhnya.
“Kuy Nggit. Kita harus segera bertindak.” pecah sudah usaha Ricqi melihat kelakuan adik laki-lakinya yang sepeti menyut api keributan.
“Kau.. duduk disini. Jaga dan tenangkan Anggit. Jangan sampai kalian beranjak selangkah pun dari tempat ini.” Perintah Ricqi pada Ditto dengan suara setengah berteriak, sehingga mau tak mau Ditto menuruti perintah kakak sulungnya itu.
Ricqi beranjak menjauh dari Anggit dan Ditto membawa ponsel Anggit dan mencoba menelfon Qinan kembali. Ia merasa ada yang tidak beres karena mana mungkin Devan ingin berbuat jahat pada Qinan namun terlebih dahulu minta izin Anggit.
Sudah dua kali ia mencoba menelfon Qinan belum ada jawaban. Ricqi mulai panik. Tapi ia tidak menyerah dan memutuskan mencoba menelfon Qinan sekali lagi.
“Halo Anggit.” suara Qinan terdengar dari balik ponsel sangat lembut. Mendengar suara Qinan, Ricqi merasa sangat lega. Tapi ia bingung harus berkata apa pada gadis itu.
“Halo Anggit.” Qinan kembali menyapa Anggit, namun Ricqi masih diam.
“Halo Anggit. Kamu baik-baik saja kan? Apa terjadi sesuatu?” Qinan mulai panik karena tidak ada jawaban sama sekali.
“Astaga... Anggit please jawab aku. Bertahanlah sebentar. Aku akan pulang. Maafkan aku.” Qinan mulai panik dan menarik Devan. Dalam keadaan ponsel yang masih terhubung, Ricqi dapat mendengar suara Qinan dan Devan dengan jelas.
“Dev.. please ayok pulang sekarang. Anggit sepertinya dalam bahaya. Aku tidak mau terjadi apa padanya. Please...” Suara Qinan bergetar saat itu.
“Halo Qi... Qinan.” Akhirnya Ricqi bersuara. Mendengar suara pria yang berbicara di ponsel Anggit, justru membuat Qinan terkejut.
“Heh.. Siapa kau? Apa yang kau perbuat pada kakak iparku? Apa maumu?” Qinan berteriak-teriak menjawab telfon itu. Qinan langsung mengganti mode telfon menjadi load speacker agar terdengar jelas oleh Devan.
“Astaga... berisik sekali gadis parasit ini.” umpat Ricqi.
“Ha? Kau Ricqi?” tanya Qinan mulai agak tenang. Mendengar umpatan itu bukan membuat Qinan marah justru membuatnya agak lega. Pasalnya hanya Ricqi yang menyebutnya gadis parasit.
“I.. iya aku Ricqi.” Jawab Ricqi terbata-bata.
“Syukurlah. Ada apa menelfonku?” Qinan melunak.
“Anggit menangis mengkhawatirkanmu. Dia bilang pria yang pergi bersamamu saat ini berencana jahat padamu. Berhati-hatilah!” ujar Ricqi.
“Apaaaa?” Qinan menatap Devan dengan tatapan nanar.
“Iya katanya tadi temanmu bilang dia akan membawamu menginap satu kamar malam ini.” Ricqi memperjelas duduk persoalannya.
“Hei kau... Aku tidak bilang begitu. Disini berisik sekali. Aku tidak dengar apa yang Anggit tanyakan padaku tadi. Aku hanya menjawab iya iya saja sesuai perintah Qinan.” Kali ini justru Devan yang berteriak-teriak. Ia tidak terima difitnah ingin berbuat jahat pada Qinan.
Meskipun ia pernah mencintai Qinan dulu, tidak pernah terbesit difikirannya untuk menyakiti Qinan.
“Aih... sudah sudah. Ini salah faham saja. Qi.. berikan ponselnya pada Anggit ya.” Qinan melunak karena sudah mengerti masalah sebenarnya.
“Hemm... Kau merepotkanku saja.” jawab Ricqi seperti sednag mengomel.
“Anggit... Ini Qinan ingin bicara.” Anggit langsung merebut ponselnya dari tangan Ricqi.
“Qi... Kamu masih gadiskan Qi?” tanya Anggit tanpa basi basi.”
“Hahaha Anggit.. kamu salah paham Anggit. Devan tidak mendengar ucapanmu tadi. Dia hanya menjawab iya iya saja. Aku baik-baik saja tidak kurang satu apa pun. Lagian disini ramai sekali Anggit. Mana mungkin dia bisa macam-macam denganku. Sudah jangan menangis lagi ya. Aku segera pulang.” Qinan menenangkan Anggit sebisa mungkin.
“Kamu pulang dengan siapa?” tanya Anggit masih sambil menangis.
“A... Aku pulang dengan Devan lah. Aku kesini kan sama dia tadi.” jawab Qinan ragu-ragu.
“Nooo... tidak boleh. Aku tidak percaya padanya. Kamu akan dijemput Ricqi malam ini.” seru Anggit.
“Apaaaa?” Qinan, Ricqi dan Ditto serentak berteriak.
“Anggit.. Anggit... Sebentar... Bandung itu jauh sekali Anggit. Kasian Ricqi harus keseini hanya untuk menjempuku lalu kembali ke Jakarta lagi. Ini sudah jam 4 sore. Dia akan sampai malam di Bandung.” Qinan mulai bingung menenangkan ibu hamil yang satu ini.
“Pilih Ricqi atau aku yang menjemputmu?” ujar Anggit masih terisak-isak.
“Iya.. iya.. Okey aku mau dijemput Ricqi. Asal dia tidak keberatan menjemputku.” Qinan pasrah kali ini.
Mendengarkan jawaban Qinan yang setuju akan dijemput oleh Ricqi, membuat Anggit dan Ditto beralih menatap ke arah Ricqi. Anggit sudah pasti mengharapkan jawab setuju dari Ricqi. Tapi tidak dengan Ditto, pasti dadanya akan panas kalau Ricqi menyetujui untuk menjemput Qinan ke Bandung.
“Kenapa kalian melihatku begitu?” tanya Ricqi seperti sedang mendapatkan serangan dari adik-adiknya. Kalau disuruh memilih menjaga perasaan Anggit atau Ditto sudah pasti Ricqi akan menuruti permintaan Anggit saat ini.
“Iya... iya.. Aku akan menjemput Qinan ke Bandung. Dit... Jaga Anggit ya.” Ujar Ricqi pasrah.
“Hemmm” Kali ini Ditto yang pasrah menuruti perintah Ricqi. Bagaimana bisa Anggit malah meminta Ricqi yang menjemput Qinan bukan dirinya. Tapi apa boleh buat. Hormon ibu hamil memang beda. Jadi harap maklum saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Diana Safitri
🤣🤣🤣kocak..bru mulai baca brp part nih..lanjut dulu niymak 👌👌
2022-09-18
0
Eko Purnomo Sudarmaji
kayaknya anggit lebih persama ricqi deh atau menjadohkan merika berdua ttuh.....
2021-07-18
0
Sweet Girl
semoga dalam perjalannya dg Ricqi, Qinan nyaman.
2021-07-02
0