Perpindahan 2 Dunia
Keyboard bersuara keras disebuah ruangan pojok, terus bergetar bersuara tak henti-henti, tepat tengah malam, pukul 01.00 pagi komputer masih menyala terang, dengan berkeringat ia masih fokus didepan komputer, beberapa kardus mie tergeletak tak rapi di samping komputer dan beberapa botol kaleng minuman yang sudah kosong berjatuhan dilantai, benar-benar kamar yang berantakan.
"Ayolahh cepat!!!" suara itu muncul juga.
Tangan yang masih bergerak dimeja, matanya fokus kedepan, matanya yang sudah sayu tetapi masih dipaksanya untuk terus terbuka lebar.
"Sialan!!!!" umpatnya, permainan game pun berakhir.
Seseorang datang dan mengetuk pintu kamarnya, dengan suara keras seseorang itu memanggilnya.
"Gil!!" ucap seseorang itu seraya mengetuk pintu dengan keras.
Rasa malas menyelimuti pria yang masih duduk didepan komputer, ia memutar bola matanya, dan berjalan dengan rasa malas membuka pintu, sebenarnya sudah beberapa kali hal seperti ini terjadi.
"Hm?" pria itu membuka pintu.
"Dasar bodoh, pukul berapa ini?" seseorang itu menyelonong masuk kedalam kamar.
"Kau sudah hafal kan"
"Kamar yang benar-benar bau bokong kuda" ucap seseorang itu seraya menjelajah kamar.
"Fa refa cepat keluar, aku ingin tidur!"
"Benar ya, ayah lebih suka aku" seseorang yang bernama refa itu beranjak mendekat ke arah pria yang bernama agil itu.
"Anak yang cerdas tapi tidak digunakan dengan baik, aku pikir ayah akan lebih membanggakan mu, tapi dunia sepertinya terbalik"
Pria itu, agil hanya diam.
"Mungkin ayah sudah malas mengeluarkan kata-kata yang selalu kau hiraukan, aku harap ayah bisa memikirkan kembali kata-katanya dan membuatmu bisa kuliah"
"Tidak" jawab agil singkat.
"Sebagai adikmu aku selalu memikirkan tentang masa depan, dan kau selalu menjawab 'tidak' apakah sesulit itu untuk saling terbuka?"
"Kau kesini hanya untuk ini? aku tidak butuh penjelasan darimu" agil mendorong refa keluar tapi ditahan olehnya.
Refa melanjutkan.
"Entahlah seperti apa ibu melihatmu diatas sana, kalau ternyata anak pertamanya tidak bisa membanggakan ayahnya dan adiknya"
Agil terdiam sejenak.
"Sudah beberapa kali ayah diam lhoh gil, menahan semua amarahnya ketika ia ingin marah, selalu aku tahan tapi hari ini, aku tidak bisa menahan semua, tidak bisakah kau berpikir, selalu saja egois, tidak seperti ini caranya, ibu tidak ada dan kau seperti menghancurkan dirimu sendiri!!!!"
Agil meneteskan air matanya.
"Lihat pecundang seperti mu ini!!!! hanya pecundang yang tidak pernah memikirkan orang lain!!! ibu menangis setiap saat diatas sana!!!"
"Diam!!!!!!!!" teriak agil setengah terisak.
"Keluar dari kamarku bodoh!!!!" ucap agil.
Refa masih terdiam seraya menatap kosong agil.
"Semoga setelah ini kau bisa berpikir dengan baik" refa lalu beranjak pergi.
Agil masih terdiam, wajahnya memerah, air matanya yang siap berjatuhan, ia menutup pintu, dan menjatuhkan diri kekasurnya, menatap kosong atap kamarnya, sempat terlintas seegois apa dirinya?
Matahari muncul dengan cahaya khasnya, angin pagi yang berhembus, agil masih terdiam dikasurnya, benar ia tidak tidur sampai ia bisa melihat jelas kantung matanya semakin hitam, ia malas beranjak, apalagi keluar untuk mengambil sarimi didapurnya, perutnya bunyi tak henti-henti.
Tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya dijendela kamarnya, agil beranjak mendekat, dan melihat kebawah.
"Gil!!" ucap randi dan gilang, teman dekat agil.
"Diam bodoh" jawab agil.
"Ayok ah ke tempat biasa" ucap randi.
Tanpa basa basi, agil membuka jendela dan menyelusuri beberapa pondasi rumahnya untuk turun kebawah.
"Kau kenapa?" tanya gilang penasaran.
Agil hanya menyampingkan kepala tanda kebingungan.
"Ah.. sudahlah kita tahu sendiri kan?" ucap randi menggandeng kedua tangan agil dan gilang, lalu beranjak pergi.
Sebuah bar yang tidak terlalu populer ditepi jalan adalah tempat biasa yang selalu membuat mereka bertiga bisa tenang, seperti malaikat tak bersayap randi dan gilang seperti tau agil sedang banyak pikiran, mereka selalu mengajak agil pergi ketika agil sedang dilanda masalah.
"Aku biasa om" ucap randi dengan suara lantangnya.
Seseorang yang bekerja dibar itu mendekat, om risu, karena mereka sudah saling mengenal.
"Gil kenapa kau?" tanya om risu.
"Biasa om, lagi T*I banget rasanya" agil tersenyum tipis.
"Lain kali nyicip wiski rasa lemon biar plong T*I nya"
Randi dan gilang kebingungan.
"Apaan si om" dijawab gilang.
"Lhoh kalau rasa lemon itu enak kalau udah sampe mulut, plong...."
"Ya, ya deh, buatin pesenanku too" ucap randi
"Jujur deh gil, game yang waktu itu kau download, bener-bener bikin aku gabisa berhenti dari hp" ucap gilang
"Lang kau kuliah loh, jangan ngada-ngada to" randi menimpali.
"Tugas masih numpuk tapi game tetep prioritas"
"Sudah gila kau" ucap randi mempalingkan wajah.
"Kau? Hari ini ga kuliah lang?" ucap agil.
"Tau ni anak" randi menyela.
"Bolos kan kuliah masih daring ngapain ikut, paling ya zoom, males lah aku pengen kerja malah disuruh kuliah"
"Dasar blo'on, aku pengennya kuliah ke jurusan hukum malah disuruh kerja kebengkel, gilak kali" jawab randi.
"Kan dirimu disuruh meneruskan usaha bapak kao bodoh"
Disaat randi dan gilang berdebat, agil hanya melamun dan masih terbayang dengan omongan adiknya, sudah beberapa kali refa adiknya itu menasihatinya ayahnya pun ikut serta, namun selalu, agil selalu egois dan lebih diam, setelah kematian ibunya, ia tak banyak berharap dengan semua, rasannya sudah seperti mati rasa.
"Makasi lho om, jan jos rek" ucap randi menirukan bahasa yang biasa om risu ucapkan.
"Halah koyo sok ngerti wae koen" jawab om risu.
"Gilak kali kau, udah pesen 4 bir masih nambah 1 lagi" ucap gilang seraya menepuk dagi rendi yang sudah setengah mabuk.
"Kayak ga tahu dia aja lang, dia sok kuat sih" agil menimpali.
"Dia ini tipe-tipe sok kuat memang, sangking sok kuatnya jadi cepet linglung" ucap om risu.
"Bener banget om" jawab agil seraya tertawa berbahak-bahak.
"Lhoh kao masih diam dirumah to?" tanya om risu.
"Diam main game" agil tersenyum.
"Ni bocah kurang gawean to" ucap om risu mendekat.
"Kurang gawean?" tanya gilang.
"Kurang kerjaan bodoh" tiba-tiba randi bersuara dengan nada khas orang mabuk.
Sudah beberapa jam mereka asyik nongkrong dibar milik risu, sampai tidak terasa sudah 5 jam mereka mengobrol tidak penting, sekadar bercanda, membahas wanita tentunya.
Matahari sudah beranjak naik, mereka bertiga adalah anak yang selalu menyampingkan waktu, banyak pekerjaan, banyak kegiatan, namun mereka memilih berkumpul dan diam tidak tahu tujuan, anak-anak yang selalu putus asa.
Ditaman kota mereka asik melihat beberapa anak bermain skateboard, bermain dengan licahnya kesana-kemari, mereka bertiga melongo melihat kelincahan itu.
"Pengen bisa" ucap gilang disela-sela keheningan.
"Coba aja" jawab agil.
"Susah lah gil, pasti lagi naik skate aja udah ngguling"
"Kita itu anak-anak kurang kerjaan, pengen ini, pengen itu tapi terasa malas, masih nongkrong kayak anak kecil, padahal pekerjaan banyak kan?" ucap randi berdiri setelah duduk terlalu lama.
"Coba lihat kalian?" randi menatap melas agil dan gilang.
"Kayak anak punk" randi buang muka.
"Kalian banyak pekerjaan, lhoh" ucap agil.
"Banyak kerjaan gil emang, tapi ku takut lah kau bunuh diri" ucap gilang tanpa rasa bersalah.
"Gilak kali kau" randi menampar pipi gilang.
Mereka bertiga tertawa berbahak-bahak.
"Lakukanlah dengan lapang dada!!!" ucap randi
"Badan aja yang besar, otak masih kecil, pasti pada pengangguran" seorang ibuk membawa anaknya berkata seraya melewati mereka bertiga lalu pergi begitu saja.
"Orang tu ya tidak tahu dalamnya sudah mengejek aja" ucap gilang.
"Gil apa yang sekarang akan kau lakukan?" randi menyela.
"Mengejar zombi" ucap agil.
"Ha" gilang dan randi kaget, menatap kaget agil.
"Ohhhh zombie, kalau kau mengejar zombie, aku lebih diam biar dimangsa aja sih" ucap gilang seraya menyengol lengan randi, randi yang masih bingung lalu berkata.
"Hais gilak kali kau"
"Bercanda woi, ngapain ngejar zombie" agil menjawab.
"Kenapa tidak kuliah gil, kau kan pintar, cerdas, multitalent" tanya randi.
"Kalian tau lah, malas kali bahas begini"
"Disaat agil seperti itu, jujur aku juga sangat putus asa, dipaksa kuliah, tapi otak yang tidak mencukupi, dipaksa habis-habisan untuk terus belajar, sampai tidur pun tidak cukup" ucap gilang.
"Sama, Dipaksa kerja dibengkel, padahal pengen kuliah dijurusan hukum, sudah belajar mati-matian, tapi ternyata hanya disuruh kerja di bengkel apakah masuk akal? sungguh memprihatinkan, kenapa bengkel gitu lhoh sungguh tidak lurus kehidupan ini"
"Refa pengen kalau aku kuliah, ayah pengen aku kerja, tapi setelah kematian ibu rasanya seperti aku kehilangan semuanya, aku anak kesayangan ibu, refa anak kesayangan ayah, dan ibu tiada rasanya seperti aku kehilangan segalanya"
Tiga pemuda pemalas itu sepertinya saling membagi nasib prihatin mereka, sudah menjadi kebiasaan ketika mereka saling beradu nasib dan saling menceritakan kejelekan mereka masing-masing, bagaimana tidak? mereka sudah sejak dulu berteman.
Agil membuka pintu rumah dengan malas, segera mengunci pintu dan siap kembali ke atas, ke kamar idamannya, saat berjalan dengan pelan, ayahnya duduk di meja ruang tengah seraya membawakan sebuah teh hangat untuk agil.
Sebenarnya agil merasa sangat malas untuk sekadar duduk sebentar berbincang-bincang, bahkan untuk menatap wajahnya saja malas sekali, agil masih terdiam mematung menunduk, agil sudah mengira ayahnya itu akan menuju ke arah agil.
"Kemana saja gil? jam 10 malam baru pulang ke rumah?" ucap ayahnya seraya membawa nampan dengan isi cangkir teh.
"Biasa" ucap malas agil.
"Ambil"
Agil mengambil cangkir teh itu dengan cepat dan langsung berjalan melewati ayahnya itu.
"Harus berapa kali ya ayah bisa membuat kamu tidak benci dengan ayah" masih dengan posisi awal, ayahnya berbicara lembut.
Agil yang tiba-tiba berhenti, dan menatap ayahnya, ayahnya berbalik dan mendekat.
"Sudah beberapa kali ayah berusaha membuat kamu tidak benci, dan sudah beberapa kali ayah minta maaf dengan tulus, tapi kenapa? seolah semua sia-sia" ucap ayahnya dengan nada bicara yang lirih.
Seperti ada sesuatu yang menutupi mulutnya, bahkan untuk berbicara saja ia tidak mempunyai energi yang besar, kenapa tidak bisa membuka mulutnya.
"Baiklah kalau memang seperti ini setiap harinya, yang terpenting kau tidak lupa akan kembali ke rumah" ucap ayahnya beranjak.
Masih dengan mulut yang bisu, agil masih menatap ayahnya itu, kenapa hari ini harus hari ini dia merasakannya lagi? kenapa matanya mengeluarkan air mata?
Refa keluar dari kamarnya, dan menatap bingung kedua manusia yang merasakan canggung dirumah ini.
"Yah dia akan menerima maaf mu, kalau istrimu bisa hidup lagi"
Entah seperti di sambar petir, perasaan yang tulus tiba-tiba menjadi sangat emosional, mendengar kata-kata refa yang tidak sesuai kenyataan, ia maju kedepan tepat di wajah refa, ia menggenggam jari tangannya dan menghantam wajah refa, hingga refa tersungkur dilantai.
"Oh itu kekuataan mu selama ini?"
Masih dengan nafas yang terengah-engah, agil ingin mencoba menghantam lagi mulut busuk refa, namun ayahnya dengan cepat menghentikan mereka.
"Bukan ini caranya agil!!!!!!!" teriak ayahnya.
"ha?" suaranya terdengar sesak, seharusnya ayah mendukung siapa? apakah pertayaan dari refa benar?
"Kalau mau itu caramu!!!!! pergi dari sini!!!!!!!!" ucap ayahnya seraya membawa tubuh refa yang sudah dihiasi darah di bagian wajahnya karena hantaman agil.
"Kau yang lebih dewasa seharusnya kau yang mengerti!!"
Dipikiran agil apakah agil yang salah diposisi ini? dan refa benar? apakah pertanyaan seperti itu sopan di lontarkan? ibuku bukan untuk bahan bercandaan dan ini ayah mendukung refa? refa duduk di sofa, dan ayahnya mengompres dengan air hangat luka memar itu, masih dengan posisi berdiri agil bahkan masih kuat untuk menghantam wajah itu lagi.
"Sudahkan? kau tahu siapa yang kalah dan siapa yang menang?" ucap refa.
"Agil, pergi ke kamar sekarang, aku tidak ingin kau melukai refa lagi, kendalikan emosimu, sudah aku bilang mengurung diri tidak akan bisa membuka hatimu" ucap ayahnya.
Dengan cepat, agil beranjak pergi tanpa menatap wajah kedua orang di dekatnya itu, sesampai di kamar, dia duduk di kursi game nya, menatap kosong laptob didepannya, kamar yang berantakan, dan lampu yang tidak dinyalakan, sepertinya ini hawa yang cocok untuknya.
"Memang benar, refa anakmu, dan aku anak ibuku"
Seperti biasa, agil menunggu disebuah gang rumahnya, ia beberapa kali mengecek handphone nya, menunggu dua sahabat nya menghampirinya, mereka memutuskan untuk menongkrong biasa di bar, dan menghilangkan stress mereka, dan benar mereka selalu siap siaga.
Mereka datang, tanpa basa-basi mereka langsung menuju ke tempat bar milik risu, ditengah perjalanan mereka, mereka sudah merasakan hawa dingin, dan langit yang sudah mendung gelap total, mereka hiraukan karena yang penting ketika hujan tiba mereka sudah sampai di bar, tapi mereka salah bahkan di tengah perjalanan hujan turun juga, bahkan langsung lebat begitu saja tanpa ada permulaan gerimis.
Air hujan berjatuhan ketanah, orang-orang berlarian mencari tempat berlindung, petir yang menggelegar, dan hujan semakin deras saja, membuat mereka masuk menepi kedalam sebuah parkiran mall, tapi anehnya mall itu sangat lah sepi, tidak ada sama sekali mobil terparkir, hanya ada mereka bertiga.
"Sudah lah paling mall nya tutup" ucap randi masih positif.
"Masih ga bisa positif thingking kalau gini ran" mata gilang menjelajah tempat parkir itu.
Agil berjalan menuju pintu mall.
"Gil gimana?" gilang dan randi mengikuti.
"Terkunci?" tanya randi, agil mengangguk.
Tiba-tiba petir mengglegar hebat, membuat mereka bertiga kaget terjatuh.
"Pergi aja ayoo lahhh" ucap gilang kawatir.
"Lihat itu hujan deres banget lang, sampe jalanan aja ga kelihatan" randi menimpali seraya menepuk pundak gilang.
"Sebentar" agil berjalan kearah jalan keluar, diikuti randi dan gilang.
Betapa kagetnya mereka ketika berhenti didepan hujan yang lebat, rasanya seperti air terjun, yang hanya menghujani dibawahnya saja, agil mencoba melewati air itu.
"Gil jangan coba coba deh gil" ucap gilang.
"Takut banget si kau lang, ayok ikut" ucap randi menyakinkan.
"Aku takut ran"
"Ayok!" randi menggandeng tangan gilang.
DEG.
Mereka berhenti ketika sudah melewati air itu, mereka ditempat yang sangat asing, aneh, dan seperti tidak nyata.
"Tidak! tidak masuk akal!!" gilang mencoba kembali tetapi ketika ia berlari kearah air terjun tubuhnya terlembar.
"Kenapa!! kenapa ini kenapa ga bisa masuk ke tempat parkiran tadi!! Gil, Ran!!!!!" gilang berteriak.
Agil dan randi masih tidak bisa bergerak, melihat apa yang ada didepannya, benar-benar tempat yang tidak masuk akal, agil mencoba melihat sekeliling, dan mereka ada diatas awan, diatas mereka, ada beberapa air terjun yang entah dari mana asalnya, terjun begitu saja sampai kebawah, agil mencoba melihat ke arah bawah tapi hanya kabut saja yang terlihat, semuanya aneh, air terjun yang mengambang, awan yang bisa diinjak, entah dari mana asal arus air terjun itu, tapi terdapat banyak air terjun, disisi kanan kiri, atas bawah, depan belakang mereka.
"Aku mimpi kan gil" randi mencoba mencupit pipinya, "Aduh!!!"
Gilang masih terduduk lemas, menangis. Agil masih mengelilingi tempat itu, mereka diatas awan benar-benar diatas awan yang empuk.
"Berarti kita datang dari air terjun ini? tapi kenapa tidak bisa kembali, bahkan gilang terpental" randi menyelusuri air terjun itu.
"Gil kenapa diam saja!!!!" gilang berteriak.
"Lihatlah gil, ini tidak masuk akal, air terjun yang terjun dari awan, jatuh kebawah bahkan entah dibawah itu seperti apa, bahkan kita diatas awan gil, kembali mencoba melintasi air terjun, gilang terpental!!!" randi mendekat ke arah agil yang masih terdiam.
Lalu agil menjawab.
"Kita tersesat di dimensi lain"
Perasaan campur aduk menyelimuti mereka bertiga, mereka beberapa kali berusaha untuk tetap tenang, dan mereke berpikir bahwa ini adalah mimpi, namun semua hal sia-sia ini terlihat sangat nyata, coba bayangkan mereka masuk di dunia yang dimana semua ini seperti imajinasi semata?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Kholida Arfaletha
Seruuu banget
2022-01-22
0
Surya Putra
gw lebih mengapreasi karya buatan sendiri, dari pada plagiat yang dilabeli TERINSPIRASI
2021-12-25
2
Hmmm
mantap
2021-12-04
0