BARANG BEKAS

“Perpustakaan?”

Alin mengerutkan kening melihat tulisan di jam tangannya. Sebelum kembali ke kamar untuk berbenah, kru memberikannya jam tangan khusus. Jam tangan ini akan memberikan notifikasi dan getaran saat ada pengumuman dari kru. Seperti saat ini. Bunyi dentingan dan getaran mengejutkan Alin yang sedang memindahkan baju dari koper ke lemari. Saat diperiksa, layar jam tidak lagi menunjukkan angka waktu, melainkan tulisan ‘perpustakaan’.

“Maksudnya ngumpul di perpus?” tanyanya pada diri sendiri. “Ngapain? Bukannya tantangan diadakan habis dinner?”

“Loh? Kenapa, nih?”

Alin terkejut saat tulisan ‘perpustakaan’ berubah menjadi timer. Waktu berjalan mundur mulai dari angka 15 detik.

“Sial!” Alin mengumpat sambil melempar pakaian. Dia berlari tunggang-langgang menuju perpustakaan. Bahkan di tengah jalan dia bertabrakan dengan Irena yang juga terbirit. Mereka sampai di perpustakaan tepat ketika waktu tersisa 2 detik.

Kosong. Tidak ada siapa pun di perpustakaan.

“Ini apa-apaan, sih?” tanya Irena dengan nada kesal. Tubuhnya membungkuk. Tangannya berpangku di paha. Napasnya tersengal. “Ngetes doang, ya?”

“Ini bukan tes.”

Sahutan barusan bukan dari Alin, melainkan Jagat yang muncul di balik pintu lain yang secara khusus tersambung dengan kamarnya. Dia memegang HP dan menggoyang-goyangkannya sambil melangkah menuju meja.

Meja yang didatangi Jagat terlihat sedikit lengang. Tidak ada tumpukan buku atau pun monitor komputer. Benda yang ada di tengah meja adalah sebuah wadah berisi tiga pulpen dan satu vas kaca berisi mawar sintetis. Ada dua warna mawar; merah dan hitam.

“Loh? Lo punya HP, Gat?” tanya Irena heran.

Bukankah semua barang elektronik sudah diserahkan kepada kru? Mungkin diselundupkan. Begitulah pikir Irena.

“Ini emang HP, sih.” Jagat mengempaskan diri ke kursi empuk. Kaki kanannya bertopang di atas kaki kiri. Punggungnya bersandar santai. “Tapi, isinya cuma controller.”

“Controller?” Alin membeo rendah. “Maksudnya kamu yang—”

“Jadi, pemberitahuan di jam kita ini dari lo?” potong Irena. Dia bertanya kepada Jagat dengan mata terbelalak.

Jagat mengangguk, lalu melempar HP itu ke meja. Tidak keras, tapi benda pipih persegi panjang itu sukses berputar-putar selama beberapa detik.

Sebelumnya, setelah Alin dan Irena masuk kamar, Citra mendatangi Jagat. Mencegat pria itu membuka pintu kamar. Dia memberikan jagat smartphone. Jagat menerimanya sambil mengangkat alis.

“Ini emang HP, ya. Tapi fitur komunikasinya enggak ada. HP ini sudah di-setting dan terhubung ke jam tangan kandidat. Lo bisa melakukan pengumuman lewat sini. Lo juga bisa mengatur waktu yang dimiliki kandidat untuk menjalankan misi dari lo.”

Jagat cukup pintar untuk memahami maksud Citra. Dia mengangguk-angguk, lalu bertanya, “Boleh gue coba sekarang?”

Sekaranglah waktu yang dimaksud Jagat. Dia memajukan tantangan pembuka yang seharusnya diadakan after dinner. Citra bersyukur karena set tempat sudah dipersiapkan kru, jadi dia tidak perlu meminta Jagat bersabar.

“Gue punya hak mengatur pertemuan kapan pun selama bukan jam malam,” terang Jagat sambil menarik punggung dari sandaran. Dia menautkan jemari dan menopangkan siku di meja. Dia menjadikan tautan jemarinya sebagai tumpuan dagu. “So, jangan kaget kalau tiba-tiba jam kalian getar,” tambahnya.

Alin dan Irena saling berpandangan. Mungkin mereka sama-sama mulai merasa tertindas atas ulah Jagat barusan.

“Silakan duduk.” Jagat menggerakkan wajahnya, menunjuk dua kursi kosong di depan meja.

Alin dan Irena menuruti perintahnya. Wajah mereka tampak kaku. Gugup.

“Gue mau memajukan tantangan pembuka sekarang juga,” terangnya sambil mengurai tautan jemari. Dia mengambil 2 lembar kertas HVS dari laci. Kedua kertas itu dibagikan kepada Alin dan Irena.

“Kalau boleh tau ... apa alasannya?” Alin terdengar ragu.

“Lo butuh alasan?” Jagat balas bertanya tanpa menatapnya.

“Kenapa? Enggak boleh?”

“Emangnya di sini ada larangan nanya alasan?”

“Terus, kenapa kamu enggak langsung jawab?”

“Emangnya ada kewajiban menjawab?”

“Kalau enggak mau jawab harusnya bilang aja dari awal. Kamu enggak perlu muter-muter kayak gini.”

“Harusnya lo langsung paham di pertanyaan gue yang pertama kalau gue eneg sama pertanyaan lo. Okay, gue to the point aja, ya. Sekarang kalian berdua tuliskan sesuatu untuk gue. Bebas. Mau kritikan, permintaan, atau kesan setelah bertemu gue. Gue kasih waktu 30 menit. Waktunya dimulai dari ...” Jagat mengambil kembali HP yang tadi dilemparkan. Kemudian dia menekan sebuah tombol dan berkata, “Sekarang.”

Kedua kandidat tidak diberikan kesempatan bertanya. Jam di pergelangan mereka sudah menunjukkan timer yang bergerak mundur dari menit ke 30.

Tidak seperti Irena yang langsung bergerak mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu. Alin justru terdiam. Dia bersitatap dengan Jagat yang menatapnya tajam.

Alin membuang waktu dua menit. Namun, dia tetap terlihat tenang. Dia mengambil pulpen dan menuliskan tiga kalimat singkat. Dia selesai jauh lebih cepat daripada Irena. Bahkan waktu yang tersisa masih 20 menit lebih.

Alin melipat kertas menjadi dua bagian, lalu menggesernya ke depan Jagat.

“Jawaban lo menentukan nilai yang akan gue kasih,” kata Jagat. Dia sepertinya hendak mengingatkan Alin untuk memaksimalkan waktu. Semakin bagus jawaban, semakin tinggi kemungkinan mendapat mawar merah.

“Meskipun jawabanku bagus, aku ragu kamu kasih red rose,” balas Alin sambil menggaruk leher yang tertutup rambut tebalnya. Ah, mungkin tepatnya bukan menggaruk, tapi mencakar. Alin memanfaatkan kuku telunjuknya untuk menggaruk dengan keras. kulitnya sampai memerah.

Sambil menunggu waktu berakhir, Alin memutar-mutar kursinya ke kanan dan kiri. Matanya menyebar ke arah rak-rak buku. Dia tertarik untuk membaca salah satu buku ketika nanti memiliki waktu santai.

“Udah.”

Alin terdistraksi suara Irena. Wanita berkuncir satu itu sudah menyerahkan HVS-nya kepada Jagat. Berbeda dengan Alin yang menyerahkan HVS dilipat dua, Irena membiarkan HVS-nya terbuka. Tulisan besar dan indah tampak memenuhi nyaris seluruh ruang HVS.

Setelah menerima kertas Irena, Jagat menekan tombol untuk menghentikan waktu yang berjalan di jam tangan kandidat. Dia mengantongi HP itu, lalu fokus ke tulisan kandidat.

“Gue mulai dari Alinea, ya.” Dia membuka lipatan kertas. Jagat tak terkejut melihat betapa sedikitnya tulisan Alin.

“Aku mau balikan. Aku mau jelasin alasan kenapa mutusin kamu. Aku mau kita hidup bersama.”

Jagat tersenyum sinis membaca tulisan Alin. Namun, dia tidak berkomentar apa pun. Dia beralih ke tulisan Irena.

“Gue suka gaya rambut lo. Gondrong, tapi rapi. Jarang ada cowok yang sebersih lo saat punya rambut panjang. Gue salut sama kedisiplinan lo menjaga kebersihan diri dan penampilan. Ada beberapa hal yang mau gue sampaikan ke lo. Pertama, sejak pertama kali melihat lo secara langsung, gue udah mutusin kalau lo harus jadi suami gue. So, lo jangan kaget pas nanti ngeliat seberapa besar usaha gue dalam menyelesaikaan misi yang lo kasih. Gue udah bertekad buat ngedapetin hati lo. Ke dua, gue mau minta sesuatu sama lo. Berhubung kita sama-sama penyuka kopi, gimana kalau satu jam sebelum jam malam kita ngopi bareng di pinggir kolam renang? Gue harap lo mau ngabulin permintaan gue. Tertanda, Irena Laurista.”

Sepanjang Jagat membacakan tulisan Irena, Alin terus menggaruk lehernya sampai berdarah. Darah itu sampai menempel di kukunya.

“Okay. Sekarang waktunya penilaian. Sudah jelas kalau gue bakal kasih Irena ...” Jagat mengambil red rose dan menyerahkannya kepada Irena, “red rose.”

“Thank you, Gat.” Irena semringah menerima bunga sintetis itu.

“Oh, ya, Ren. Soal permintaan lo ... let’s start tonight.”

Irena terbelalak. “Are you seriously?”

Jagat mengangguk, lalu beralih menatap Alin. “Next, black rose ...” dia mengambil bunga tersisa dan menyerahkannya kepada Alin, “for you.”

Alin menyambut bunga itu dengan tangan kiri. Dia tersenyum tipis. “Thanks.”

“Soal tulisan lo barusan, gue enggak ngerti apakah itu permintaan, perintah, atau cuma ungkapan perasaan. Tapi, gue mau menyampaikan jawaban kalau gue ... enggak mau memungut barang bekas.”

Alin manggut-manggut. Benaknya merapalkan kata ‘barang bekas’ sambil terus menggaruk leher. Kali ini darahnya tidak hanya menempel ke dalam kuku, tapi juga mengalir sampai menetes ke kerah kaus.

 

 

 

Terpopuler

Comments

astri rory ashari

astri rory ashari

serem Al...nyakitin diri sendiri sampe berdarah tuch leher....gw kasiannnnn😥😥😥😥

2021-05-24

2

Olivia Temy Maharani

Olivia Temy Maharani

nyakit in diri sendiri biyar apa neng😂

2021-05-22

0

emak @l ahsan

emak @l ahsan

semoga happy end aja ah ka.......

2021-05-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!