Mama dan Kisi terlihat begitu bahagia mendengar berita ini. Aira hanya terdiam seraya menatap dokter Fahmi dengan wajah tidak percaya. Mata Aira melebar penuh dengan keterguncangan. Dia seperti berkata, 'bagaimana ini?'.
Eros nampak terkejut juga. Pandangannya menunduk menatap Aira yang terperangah tidak percaya.
"Benarkah?" tanya Eros ragu.
"Sebaiknya periksakan segera pada dokter kandungan," nasehat dokter Fahmi. Setelah berkata demikian, dokter Fahmi pulang.
Semua menyambut berita ini dengan suka cita. Mama menggenggam tangan Aira sambil tersenyum. Beliau akan mendapatkan cucu pertama. Eros yang merupakan putra pertama, tentu saja di harapkan agar segera mendapatkan momongan.
"Selamat ya, Aira dan Eros. Kalian akan melewati masa-masa sulit, tapi menyenangkan," ujar mama sambil melempar senyum pada Aira yang terbaring lalu ke Eros.
"Kan belum di periksa lebih detail oleh dokter kandungan, Ma." Eros menanggapi.
"Kamu itu. Ya segera periksakan, dong. Biar cepat tahu menantu mama ini hamil atau enggak," gerutu mama Eros.
"Ada meeting pagi ini, Ma." Eros tidak bisa menuruti. Ada pekerjaan penting.
"Aira juga masih kerja, Ma," ujar Aira juga memberi alasan. Bukan bermaksud membantu Eros untuk bisa lolos dari paksaan mamanya. Namun dia memang ingin menolak.
"Tidak. Bagaimana bisa kamu mau kerja. Eros, tolong beritahu tempat kerja Aira, kalau dia tidak bisa masuk kerja karena sakit." Eros berusaha melihat ke arah Aira. Mencoba meminta pendapat. Apa Aira memang tidak akan masuk kerja atau sebaliknya? Namun Aira tidak menoleh sama sekali. "Dan kamu harus segera pulang, Eros. Antarin Aira ke dokter buat periksa. Segera pulang." Mama sudah medikte mereka berdua, hingga tidak bisa menolak lagi.
"Baik, Ma," jawab Eros menyanggupi.
Kisi juga tersenyum ke kakak iparnya. "Kakak akan jadi ibu nanti dong. Kecil, kecil sudah mau gendong bayi aja ...," goda Kisi sambil ketawa. Mama langsung memukul lengan putrinya. Kisi meringis kesakitan.
"Apa sih, ma?" gerutu Kisi.
"Kamu itu ngomong apa sama kakakmu? Jangan di anggap ngomong sama teman," ujar mama menasehati. Walaupun umur mereka tidak jauh, beliau tidak suka cara berbicara putrinya seperti itu. Padahal, kalau beliau tahu, Kisi memang sering begitu kalau sedang berbicara dengan Aira. Memang seperti sedang berbicara sama teman. Jadi Kisi sering khilaf. Aira sendiri tidak terlalu peduli.
Seperti yang sudah di dikte mamanya, Eros akan mengajak istrinya berangkat ke dokter kandungan setelah pulang kerja. Dia benar-benar langsung pulang.
Suasana di dalam mobil sunyi. Aira hanya menolehkan kepala ke arah jendela di samping kanannya. Sesekali menyentuh ponsel dan mengutak-atik. Eros juga gelisah. Mau bertanya atau memulai obrolan, tidak bisa. Tenggorokannya seperti tersekat sesuatu yang membuatnya kesulitan mengeluarkan suara.
"Aira, bagaimana perutmu? Tidak mual?" Setelah pergulatan dengan hatinya sendiri, Eros mulai bisa mengatakan sebuah kalimat.
"Berhentilah berusaha ingin membuat keadaan tidak canggung dan kaku. Aku bisa mengatasinya," sahut Aira dingin tanpa menoleh. Eros mengatupkan rahang untuk diam dan fokus ke arah jalanan.
Ponselnya yang di letakkan di bawah dashboard mobil berdering. Eros meraih dan membaca sebuah nama di layar ponsel. Matanya melebar hingga spontan menoleh ke arah istrinya.
Tangan Eros masih tidak menekan tombol terima. Dia membiarkan ponsel itu berdering lagi. Kemudian akhirnya menekan sembarang tombol untuk membuat nada dering itu berhenti berbunyi. Namun nama di layar ponsel itu tetap coba menghubungi.
Aira tahu itu pasti Nara. Ponsel Aira juga berdering. Ada nada pesan masuk. Ternyata Pima.
"Dimana?"
"Keluar."
"Sekalian ke tempat aku nongkrong ya... Aku kenalin kekasih baruku." Ada emoticon bahagia di selipkan Pima pada pesannya.
"Tidak bisa. Aku sedang bersama bosmu."
"Ow... kencan suami istri? Aku tidak bisa menganggu nih. Oke dah, bye..." Aira mendengkus mendengarnya. Pima memang belum tahu tentang perselingkuhan itu. Dia mungkin masih berpikir bosnya adalah pria baik-baik.
"Ya," jawab Aira pendek. Setelah Aira menyelesaikan chatnya pun, ponsel Eros masih terus berdering. Ekor mata Aira melirik. Eros tidak menerima panggilan itu, tapi dirinya masih menatap ponselnya dengan gelisah. Aira membiarkannya. Hingga akhirnya mereka sampai pada dokter kandungan.
Karena tidak mendaftar terlebih dulu, Aira masih harus mengantre. Tempat praktik dokter ini sangat terkenal, jadi begitu ramai.
"Aku ke toilet dulu," ujar Eros. Aira tidak menyahut. Dia hanya duduk bersandar sambil memainkan ponsel. Tidak peduli suaminya pergi. Namun pikirannya tidak pada layar ponselnya. Dia sedang menerawang memikirkan hal lain.
Hamil? Bagaimana ini? Jika dia benar hamil, apa yang akan aku lakukan? Namun aku masih boleh berharap karena belum di periksa. Kemungkinan mualku murni memang karena bukti-bukti menjijikkan itu.
Aira memejamkan mata sebentar. Dia tahu suaminya ke toilet hanya sebuah alasan. Pasti laki-laki itu ingin menelepon perempuan itu. Dia mungkin tidak berani terang-terangan masih berkomunikasi dengan Nara.
Kali ini Aira tidak ingin mencaci suaminya. Rasa sakit dan marah yang memuncak justru semakin membuatnya enggan untuk mencaci maki.
"Ibu Aira," panggil petugas tempat praktek ini. Karena masih berpikir, Aira tidak mendengarkan. "Ibu Aira Alundra." Sekali lagi petugas itu memanggil.
"Kamu bernama Aira?" tanya sebuah suara di samping Aira membuyarkan lamunannya. Seorang perempuan berumur sekitar tiga puluh lebih tersenyum padanya. Perutnya membesar.
"Ah, benar. Ada apa?" tanya Aira ramah.
"Nama kamu di panggil petugas," ujarnya memberitahu. Aira menoleh ke arah petugas yang masih menyebut namanya.
"Oh, iya. Terima kasih ...." Aira menunduk sopan dan beranjak dari tempat duduknya. Melangkahkan kaki menuju pintu ruang praktek dokter Gogot.
Setelah memberitahu Aira bahwa di panggil petugas, perempuan ini terlihat sedang mencari seseorang. "Kemana dia sekarang. Sebentar lagi aku di panggil, dia enggak muncul. Mana aku ingin ke toilet lagi ...." desahnya kesal.
Dengan perutnya yang mulai membesar, perempuan itu seperti kesulitan berdiri. Hingga perempuan lain yang sedang mengantre periksa kandungan, tapi masih dengan perut kecil, merasa perlu membantu. "Tidak. Saya tidak apa-apa. Terima kasih." Bibirnya tersenyum geli melihat orang kasihan padanya. Lalu dia bergerak menuju toilet sendirian.
Sementara itu di dalam ruang praktek dokter, Aira tengah di periksa. Tadi, melihat seorang perempuan muda memeriksakan diri sendirian tentu kedua alis dokter Gogot, terangkat. Beliau mengira gadis di depannya adalah korban hasrat lelaki yang tidak terbendung.
"Suami saya masih di toilet." Aira memberitahu karena dia paham tatapan tadi. Dia seperti gadis yang di hamili pacarnya dan di tinggal pergi. Meskipun keadaannya saat ini juga bisa di bilang sama seperti itu. Dia dianggap hamil saat suaminya berselingkuh. Miris. "Saya akan memanggilnya kalau memang suami saya harus disini," ujar Aira karena sepertinya dokter Gogot ragu untuk memeriksa.
"Biar petugas saya yang memanggil suami anda." Dokter Gogot memberitahu lewat interphone.
"Panggilan untuk suami ibu Aira Alundra harap datang ke ruang pemeriksaan dokter Gogot." Panggil petugas. Pria itu datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya cemas tapi tetap bersikap tenang.
"Anda mencari suami Aira?" tanya pria itu, setelah sekilas tadi mendengar petugas menyebut nama Aira.
"Ya. Anda adalah suaminya?" tanya petugas tadi meyakinkan.
"Bisa dibilang begitu." Petugas tidak paham, tapi karena pria ini mengaku dia adalah suami Aira, dia mempersilakan pria ini masuk.
"Anda suami ibu Aira?" tanya dokter Gogot saat melihat pria ini datang.
"Ya begitulah..." Lagi-lagi jawaban tidak pasti lagi meluncur dari pria ini.
"Istri Anda di nyatakan hamil," ujar dokter Aira dengan senyum bahagia. Namun pria ini hanya diam mendengarnya. Bahkan terlihat tidak suka. "Istri anda hamil," ulang dokter Gogot merasa beliau tidak jelas saat mengatakannya. Bukan. Bukan tidak suka. Dia heran mendengar dokter berkata bahwa Aira hamil. Tidak ada kebahagiaan apapun di raut wajahnya.
"Saya sudah tahu dia memang hamil, dok. Apa tidak ada pemberitahuan lain selain dia hamil? Dia sehat atau tidak. Bayinya sehat atau tidak. Semacam keterangan seperti itu?" tanya pria ini penasaran dan ingin tahu
"Itu masih belum terbentuk dengan sempurna karena umur kehamilannya masih muda. Masih 2 minggu lebih." Dokter Gogot menjelaskan dengan tenang walaupun kebingungan.
"Saya boleh melihat Aira?" tanya pria ini kemudian. Wajahnya merasa ada yang tidak beres.
"Boleh. Istri anda ada di ranjang di sebelah sana. Silahkan." Dokter Gogot membiarkan suami pasiennya menemui istrinya di balik tirai.
"Dokter, maaf mengganggu. Ada pasien dengan perut membesar ada di luar kamar mengerang kesakitan," ujar petugas di ambang pintu. Dokter Gogot berdiri dan menuju pintu. Membiarkan suami pasiennya menuju ranjang yang di tutupi tirai berwarna hijau toscha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Pusphyta Imanullah
yachhhh...si othor...knp aira d bkin hamil....kasihan tau thor 🥺🥺🥺
2021-10-10
0
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
jgn² Nara pun hamidun nh
2021-10-08
0
Ririe Handay
santai dan cuek bgt ya tu cowok
2021-10-02
0