Feni duduk bersandar di sofa kamar Andre, ia sedang duduk dalam diam. Tangannya merogoh saku celananya mengambil smartphone mengecek apa ada panggilan masuk atau setidaknya pesan dari Erlang.
"Dia kan udah bilang kalau aku ada ditempat aman sekarang pasti dia gak akan peduli lagi sama aku" ucap batin Feni.
Jari Feni mengusap layar ponselnya, wajah tersenyum tanpa ia sadari melihat foto ia dan Lina saat bersenang di kampus.
"Jadi kangen Lina, sejak masalah Yudha dia gak pernah menghubungi aku lagi" kata Feni mengganti foto-foto itu.
Wajah Feni berubah sedih saat melihat foto selfienya bersama Erlang saat di toko kemaren dan juga saat mereka melihat sunrise mereka sempat selfie sebelum pulang ke hotel.
Andre tepat berdiri dibelakang Feni ia melihat satu persatu foto itu, ia tahu sekarang bagaimana dekatnya Feni dengan Erlang lebih dari apa yang ia perkirakan.
"Ehem... ternyata kamu dekat banget ya sama Erlang" kata Andre yang kemudian membuat Feni gelagapan.
Andre tersenyum menetralkan keadaan, bagaimanapun ketahuan dari apa yang sudah disembunyikan pasti rasanya tidak enak. Andre yakin Feni tidak ingin ia tahu bagaimana kedekatan Feni dengan Erlang.
Andre duduk disebelah Feni dan mengajak rambut Feni pelan.
"Adek tadi udah sadar, tapi kondisinya masih lemas" Andre mengalihkan pembicaraan karena ia merasa suasana semakin canggung.
"Oh ya, kapan aku bisa ngebesuk Adek" Feni antusias.
"Jangan dulu Fen, karena aku yakin anak buah marko pasti mengawasi Adek" larang Andre.
"Tapi aku yakin kalau sekarang Adek butuh seseorang disamping dia" kata Feni.
"Aku tau, tapi ini demi keamanan kamu dan juga Adek" jelas Andre meyakinkan.
Feni mengangguk mengerti, ia tak ingin membuat masalah lagi sudah cukup yang kemaren ia rasa. Tapi apa benar ia akan tetap diam tanpa melakukan apapun?
Seorang perempuan dengan rambut ditutupi topi berjalan mengendap, mata dengan kaca mata besar tanpa melihat ke sekitar tempat ia berdiri. Tempat yang ia tuju tepat beberapa meter di depannya dan ia beruntung sekali tidak penjaga didepan kamar rawat itu.
Feni terpaksa harus melakukan ini, lagi dan lagi melanggar janjinya pada Andre ataupun dirinya. Niatnya untuk menyelinap ke rumah sakit muncul saat ia mendengar kalau Adek sangat bersedih dengan kecelakaannya, ia juga tidak mau makan.
Feni pikir jika ia datang paling tidak ia bisa menghibur Adek dan memberi semangat buat Adek.
Feni melangkah masuk kedalam kamar dengan langkah masih waspada, kepala Feni memutar ke kiri dan kanan sebelum benar-benar masuk ke kamar dengan pintu kayu bewarna coklat tua itu.
Suara pintu sedikit berderit saat Feni melebarkan daun pintu, mata Feni lansung tertuju pada sebuah dipan dengan seseorang yang duduk dengan posisi setengah berbaring diatas sana. Feni belum mampu memastikan apakah itu Adek atau bukan karena wajah orang itu menghadap kearah jendela.
Seseorang yang tengah itu dari awal telah mendengar suara pintu yang dibuka diiringi langkah kaki yang makin mendekat. Ia tidak terlalu mempedulikan itu, karena sudah biasa ada yang masuk ke kamar rawatannya. Baik itu perawat ataupun polisi yang sedang patroli.
"Adek" suara panggilan itu membuat ia akhirnya menoleh.
"Feni" Adek tanpa terkesiap dengan kehadiran Feni.
Dari penampilan Feni saat ini ia yakin kalau Feni masuk kesini tanpa permisi. Tapi bagaimana bisa ia disini, bagaimana kalau organisasi sampai curiga?
"Aku udah balik ke hotel Andre, Aku udah putus dari Erlang" Feni seakan mampu membaca apa yanga Adek pikirkan saat ini.
Feni pikir dengan mengatakan ia putus dari Erlang adalah langkah baik agar tidak timbul pertanyaan berikutnya.
Adek hanya diam, ia menatap Feni dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Lalu kenapa kamu disini?" tanya Adek kembali mengalihkan pandangannya kearah luar.
"Aku khawatir sama keadaan kamu, aku tau hubungan kita gak baik belakangan ini. Tapi bagaimanapun juga kamu tetap sahabat aku. Kamu dan Lina adalah sahabat yang sangat penting untuk aku" jelas Feni.
Suasana kembali diam, tak ada komentar apapun dari Adek. Ia masih setia menatap taman belakang rumah sakit.
Tangan Adek meremas kuat selimut yang menutupi kaki sampai dadanya. Air matanya jatuh kepipi, Feni melihat itu lansung berlari kearah Adek dan memeluknya. Ia tak bisa pura-pura kuat lagi, ia tak bisa bersembunyi dari lukanya jika itu didekat Feni.
Adek terisak diperlukan Feni, Feni hanya mengusap punggung Adek. Menyalurkan kekuatan dan meyakinkan Adek bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski sebenarnya Feni tidak yakin ia bisa menjanjikan itu.
Feni melangkah keluar ruangan inap Adek tepat saat tak jauh dari kamar Adek datang dua orang berseragam polisi. Feni lansung bergegas pergi, menarik topinya kebawah untuk menutupi wajahnya. Sepertinya feni berhasil pergi dari tempat itu tanpa dicurigai.
"Huh... aman" ucap Feni lega saat ia berhenti tak jauh dari kamar Adek. Tapi tiba-tiba seseorang mendekap mulutnya dan menarik nya menjauh dari situ.
Feni mencoba memberontak banyak hal terpikir olehnya, apa jangan ia ketahuan oleh kakaknya atau geng marko.
"Sssttt" perintah orang itu menghimpit tubuh Feni ke dinding dengan masih membekap mulutnya.
"Ryan.." ucap batin Feni mengenali pria dihadapanya.
Ryan melirik kiri dan kanan memastikan tempatnya saat ini aman, akhirnya ia melepaskan tangannya yang menghalangi mulut Feni.
"Sorry Fen" ucapnya sebelum Feni protes.
Feni tidak tahu harus berkata apa, ia hanya sedang mengatur nafasnya dan berusaha menghilangkan debaran di jantungnya karena takut tadi. Apa lagi tadi ia lansung teringat pada Erlang untuk minta tolong?
"Bodoh" batin Feni.
"Kamu bikin aku takut tau gak" protes Feni akhirnya.
Ryan yang berdiri disamping Feni hanya tersenyum, wajahnya terlihat kusut. Ini bukan Ryan yang biasanya.
“Aku lihat kamu pas mau masuk rumah sakit, makanya aku ikutin kamu” jelas Ryan.
Feni mengangguk mengerti.
“Aku kepikiran Adek, bagaimanapun juga kami sudah jadi teman belakangan ini” Feni menjelaskan, ia tak ingin Ryan berfikir sesuatu yang lain tentang kenapa dia disini.
"Kamu udah ketemu sama Adek?" Tanya Ryan.
Feni mengangguk.
"Dia udah makin baik, hanya mentalnya yang gak baik"
"Andai aku bisa disana menemani dia dan lagi-lagi berjanji kalau semuanya akan baik-baik saja" Ryan tersenyum miris.
Feni menatap Ryan sesaat, ia tak yakin apakah boleh ia menceritakan ini pada cowok disampingnya ini.
"Yan" panggil Feni.
Meski tidak menjawab Feni yakin Ryan mendengarkannya. Feni menarik nafasnya sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.
"Apa kamu tau kalau sebelum kecelakaan Adek tengah mengandung anak kamu" suara Feni semakin pelan diakhir kalimat ia terus memperhatikan perubahan ekspresi wajah Ryan yang sulit ia jelaskan.
"Adek hamil?" Ulang Ryan menatap Feni tajam.
Feni mengangguk lemah.
Ryan mengangkat wajahnya menatap langit yang ditutupi awan, seperti sebuah pukulan tepat mengenai jantungnya, meremukkannya sehingga membuat Ryan lemas dan jatuh terduduk disamping Feni.
"Yan" panggil Feni khawatir.
"Aku sama sekali belum sempat menyapanya dan sekarang dia udah pergi" ucap Ryan nada suaranya bergetar menahan tangis.
"Baru kemaren aku berjanji sama Adek kalau kita gak akan lagi di organisasi. Kami akan hidup normal seperti orang lain" lanjut Ryan.
"Tapi kenapa semuanya jadi seperti ini?" sesal Ryan.
Ryan menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya, Feni ikut duduk disamping Ryan. Tangan Feni terangkat ingin mengusap punggung Ryan, ia sempat ragu dengan apa yang akan dia lakukan.
Meski tak bicara sepatah katapun Ryan tahu usapan tangan Feni di punggungnya adalah sebuah kata yang menyuruhnya untuk tetap kuat.
"Andai aku bisa tukar nyawa aku, aku akan melakukannya" ucap Ryan.
"Jangan bodoh Yan!" ucap Feni menunggu reaksi Ryan yang menatap Feni.
"Kalau kamu tukar nyawa kamu dan kamu yang mati itu sama saja kamu membunuh Adek. Meski Adek hidup dan bernafas tanpa kamu yang ia rasakan lebih dari mati" jelas Feni.
Ryan tertohok ia mengerti maksud dari kalimat panjang Feni tadi, bukankah itu adalah sebuah keegoisan jika ia berfikir seperti itu tanpa peduli perasaan Adek nantinya.
"Erlang beruntung punya kamu" kata Ryan.
Feni mengerutkan keningnya tak paham, bukan kah itu sama sekali tidak nyambung.
Ryan mencoba tersenyum melihat ekspresi binggung Feni, kemudian ia kembali menatap kearah langit yang mulai terlihat bewarna biru.
"Kalau kamu bisa bertemu Adek lagi tolong bilang kalau aku sangat mencintai dia" kata Ryan.
"Aku gak mau, kamu sendiri yang harus mengatakan kata-kata itu. Kalian seolah-olah tidak akan bertemu lagi" Feni ikut melihat kearah langit, melihat awan yang berarak.
"Mmm.. aku memang harus mengatakannya sendiri" kata Ryan diselingi senyuman tipis.
"Itu lebih baik" Feni ikut tersenyum.
***
"Ndre” panggil Toni yang baru saja menjawab telpon.
“Hmmm..” respon Andre sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari berkas yang ada didepannya.
“Ada laporan dari anggota disekitar hotel Feni kemaren, katanya ada seorang pria mencari Feni ke hotel itu”
Andre lansung mengalihkan pandangannya menatap Toni begitu nama adiknya yang disebut.
"Siapa?" tanya Andre yang tadi sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Rima.
"Katanya namanya Yudha"
"Yudha?" ulang Andre ia mencoba mengidentifikasi satu-satu teman Feni yang ia kenal.
"Teman kuliah Feni?" tanya Andre menemukan seorang cowok diingatannya.
“Tadi dia ngakunya gitu sih” kata Toni.
“ Kenapa dia juga ada disini? Dia datang bareng Feni atau gimana?” tanya Andre lagi lebih tepatnya pada dirinya sendiri.
Toni hanya mengangkat bahunya, tanda ia tak tau.
“Udah bawa dia kesini? Gue gak mau gerak gerik dia di hotel tempat Feni bikin curiga musuh” kata Andre.
“Udah, dia di sebelah” kata Toni.
"Ya udahlah, loe tolong panggilin Feni dong" pinta Andre.
"Siip" Toni lansung beranjak pergi.
Andre lansung menuju kamar sebelah, dia penasaran kenapa Yudha bisa juga ada di Bali. Memang Andre tak begitu kenal dengan Yudha, tapi ia pernah dengar dari Andre kalau Yudha ada cowok yang naksir Feni. Apa sebenarnya mereka punya hubungan spesial? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Andre.
Andre memasuki ruangan disebelah kamarnya, setelah seorang anggota polisi yang berjaga didepan pintu membukakan pintu.
Tampak Yudha duduk disebuah sofa bewarna merah marun, tak jauh dari tempat ia duduk, berdiri seorang laki-laki yang kemudian mengangkat tangan kananya dan menempelkan disudut kening kanannya tanda memberi hormat pada Andre. Dibalas Andre dengan tindakan serupa
Yudha tersenyum ramah pada Andre, walaupun masih nampak garis kecemasan dari wajahnya.
Andre duduk tanpa suara di sofa berseberangan dengan Yudha duduk.
“Kamu teman Feni” tanya Andre kemudian mengawali pembicaraan.
“Iya mas” jawab Yudha ragu.
Andre mengangguk.
“jelaskan kepada saya, kenapa kamu bisa ada disini” permintaan yang keluar dari mulut Andre terlihat biasa. Namun penuh selidik, yang membuat Yudha sedikit berdehem.
“Kebetulan saya tau Feni pergi ke Bali jadi saya kebetulan bertemu dia disini” bohong Yudha.
Andre terdiam, matanya penuh selidik. Menatap Yudha setiap geraknya.
“Dari mana kamu tau Feni ada di Bali?” tanya Andre lagi.
“Itu….”
Andre menunggu jawaban Yudha dengan tidak sabar.
“Hmmmm..” Yudha menelan ludah. Bukannya sekarang ia tidak boleh terlihat lembek dimata Andre.
“Sebenarnya saya menyukai Feni sejak pertama masuk kuliah, saya sering mencari tahu tentang Feni melalui Lina” jelas Yudha jujur.
“Dan pas saya tau Feni ingin ke Bali dan saya yang membelikan tiket. Tapi tanpa sepengetahuan Feni”
Andre mengerti sekarang kenapa Feni bisa pergi ke Bali, dari mana ia dapat uang untuk tiket pesawat.
“Tujuannya” Yudha makin terdesak dengan pertanyaan Andre.
“Saya hanya ingin memastikan Feni baik-baik aja disini”
Andre mengangguk mengerti,
“saya mengerti bagaimana perasaan kamu pada Feni, tapi saya rasa kamu tau bagaimana perasaan Feni sama kamu” kata Andre.
Yudha menganguk.
“sebaiknya kamu balik ke Jakarta hari ini juga” kata Andre lagi.
“ Tapi mas”
“Saya rasa Feni udah punya orang lain yang dia sukai”
Yudha tertegun sejenak, suara ketukan mencairkan suasana tak nyaman di ruangan itu.
"Ndre" Toni datang dengan nafas ngos-ngosan dan wajah kusut, bukan itu yang membuat Andre cemas tapi
"Feni mana?" tanya Andre.
"Sorry Ndre, kayak Feni kabur lagi deh" tebak Toni nyalinya sedikit menciut jika berhubungan dengan masalah ini.
"Loe jangan main-main ya Ton, emang loe udah periksa kamar" tanya Andre panik.
" udah tapi Feni gak ada"
"Mungkin Feni menemui Adek" kata Rima.
"Adek" desis Yudha kurang mengerti dengan apa yang terjadi disini saat ini.
"Biar gue yang tanya" kata Toni lansung bergegas menghubungi seseorang.
Andre terlihat sangat cemas, ia sama sekali tidak habis pikir dengan apa yang ada dikepala Feni saat ini.
"Gak ada Ndre" kata Toni yang menambah panik Andre.
"Erlang" tiba-tiba Andre ingat cowok itu, apa mungkin Feni menemui Erlang.
Andre merogoh smartphone yang ada disaku jaketnya kemudian menghubungi seseorang. Andre terlihat tidak sabar menunggu panggilan itu dijawab.
"Halo"sapa seorang dipendengaran Andre.
"Loe ditempat amankan?"
"Ya, kenapa?"
"Apa Feni sama loe?"
"Feni? Kenapa Feni?"
"Kayaknya dia kabur lagi" jelas Andre.
Erlang menarik nafasnya panjang, cewek itu. Erlang tidak tau apa yang harus dia katakan lagi saat ini.
"Rumah sakit mungkin?" tebak Erlang.
"Gak ada, kata menjaga disana. Gak ada yang datang menemui adek hari ini"
"Kalau gitu biar gue cari dia" putus Erlang.
"Transaksinya tinggal beberapa jam lagi, loe yakin"
"Sekarang masih jam 3, gue bisa" jawab Erlang setelah melirik arlojinya.
"Ok, kabari gue selalu" Andre setuju.
"Mmm"
Ini adalah jam genting, pihak Marko maupun pihak kepolisian saat ini sedang sibuk mempersiapkan pengamanan. Lebih kurang sebelas jam lagi transaksi akan dilaksanakan. Tapi bodoh plus menyebalkannya Feni pakai kabur, tentu saja itu membuat semuanya cemas.
Feni baru sadar kalau sekarang sudah jam 3 sore, bisa gawat kalau ia ketahuan tidak ada di kamar, Andre bisa menggantungnya.
Feni berdiri di pinggir jalan disamping mobil fan hitam yang sedang terparkir.
"Jadi gimana keadaan cewek itu?" tanya seseorang, Feni seperti mengenali suara itu. Feni yakin suara itu berasal dari dalam mobil fan.
"Untuk saat ini ia dalam kondisi baik, tapi dia keguguran" jawab seseorang lagi.
"Jangan sampai Ryan tau" ingat orang yang pertama bicara.
"Roni" desis Feni.
Feni paham betul siapa yang sedang mereka bicarakan. Tubuh Feni bergetar takut, tapi ia sama sekali tidak bisa beranjak dari tempat itu untuk kabur. Kakinya terasa berat dan kaku.
Orang yang bicara di mobil melirik spionya dan melihat Feni tepat berdiri disisi mobil mereka.
"Itu pacarnya Erlang Bos" kata Beben berteriak dan lansung turun dari mobil.
"Feni" Roni lansung melihat kearah belakang.
Tahu kalau ia ketahuan Feni mencoba untuk kabur, Feni berlari sekuat tenaga sebisa dia. Tapi bagaimana pun juga pria dibelakangnya sangat cepat.
"Tunggu" pria itu menariknya dengan kuat dan menyeretnya menuju gang.
Beben mendorong Feni kuat kedinding, wajahnya tersenyum mengejek.
"Kemarin pacarnya Ryan dan sekarang pacarnya Erlang" ucapnya.
"Loe udah terlanjur denger banyak hal kan?" ucapnya mengeluarkan sesuatu dari bali bajunya.
Feni menahan nafas saat melihat sebilah pisau dengan ujung runcing dan mengkilap siap merobek tubuhnya kapan saja.
"Apa semuanya akan berakhir seperti ini?" ucap batin Feni.
"Selamat tinggal" bisik Beben bersiap melayangkan pisau itu kebagian perut Feni.
Feni hanya memejamkan matanya, air matanya jatuh karena ketakutan. Ia tidak tau harus berbuat apa.
"Lang" panggil Feni dalam hati.
Gerakan tangan Beben terhenti saat pergelangan tangannya ditahan oleh Roni.
"Bos" tanya beben tidak mengerti.
Sebuah pukulan tepat mengenai wajah Beben, Beben terhuyung kebelakang. keadaan itu tentu saja dimamfaatkan Feni untuk pergi menjauh dari mereka.
"Jangan pernah loe lakuin itu lagi, kalau gak loe mati" ancam Roni tak main-main.
"Maaf bos" meski ia tidak begitu mengerti tapi melihat wajah bosnya saat ini membuat nyali Beben ciut.
"Loe boleh pergi" kata Roni yang kemudian berbalik kerah Feni yang sangat ketakutan disudut gang itu.
Beben pergi menjauh dari tempat itu, ia tidak mau cari masalah dengan Roni.
"Fen" panggil Roni mendekat.
Tak ada sahutan yang ada hanya sebuah isakan yang lolos dari bibir Feni.
"Ini aku Roni, kamu udah aman" kata Roni mengulurkan tangannya hendak menyentuh Feni.
Tapi Feni semakin merapatkan tubuhnya kedinding, ia berusaha menjauhi jangkauan tangan Roni. Feni semakin memeluk tubuhnya, ia terlihat menggigil takut.
Hati Roni pilu melihatnya, ia sadar ini semua salahnya ia tak menyangka Feni akan sangat ketakutan seperti ini.
Roni menarik paksa tangan Feni sehingga Feni jadi terjatuh kedalam pelukan Roni.
"Tolong lepasin aku" mohon Feni terdengar pilu di telinga Roni.
Feni sama sekali tidak memberontak dipelukkan Roni, tubuhnya sudah lemah untuk bisa melawan. Air matanya juga tidak bisa berhenti, ia berharap ini mimpi.
"Aku gak akan pernah nyakitin kamu, gak akan pernah biarin siapapun nyakitin kamu" Roni mengeratkan pelukannya pada tubuh Feni yang masih menggigil.
"Aku mencintai kamu" ucap Roni tepat ditelinga Feni.
Feni tidak tahu ia harus berkata apa lagi yang ia bisa saat ini hanya menyandarkan tubuhnya kearah Roni. Kakinya terasa lemah untuk dapat berpijak sendiri saat ini.
"Minum dulu" tawar Roni mendekatkan secangkir lemon tea hangat yang datang sekitar 5 menit yang lalu. Mereka berdua sedang berada di sebuah cafe, mereka memilih duduk dibagian outdoor cafe itu. Dibawah payung besar bewarna hitam kelam, semenjak tadi Feni terus saja mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia sebenarnya tidak tahu harus berkata untuk sekarang ini.
Tapi yang pasti ia sangat marah pada sosok pemuda yang duduk disampingnya saat ini, Feni tidak menyangka Roni bisa berbuat sekejam itu pada Adek. Tangan Feni terulur meraih piring kecil penampung cangkir keramik dengan motif bunga, sedangkan tangan kanannya mengangkat cangkir itu untuk meminum demi membasahi kerongkongannya yang kering.
Rasa masam dicampur manis memasuki area pengecapan Feni, Feni tau pasti kalau dari tadi Roni duduk diam memperhatikannya.
"Sebentar lagi Erlang datang, aku udah hubungin dia tadi untuk ngejemput kamu" jelas Roni.
"Erlang" ulang Feni.
Feni terdiam sesaat kemudian kembali meneguk teh berasa lemon itu. Feni sedikit kurang yakin bagaimana bersikap pada Erlang nantinya, tapi ia tidak boleh tunjukkan sikap anehnya pada Roni. Bagaimanapun juga Roni taunya Feni adalah pacar Erlang.
"Fen.. Ron..." sosok yang baru saja Feni pikirkan sudah ada dihadapan mereka, nafas pemuda itu terengah-engah jelas sekali ia pasti sangat terburu-buru datang kesini ketika dapat telpon dari Roni.
Keringat membasahi wajahnya yang tampan, meski begitu Feni dapat melihat kalau Erlang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Feni. Tatapan Erlang benar-benar membuat Feni risih. Seandainya gak ada Roni disana pasti dia sudah teriak-teriak marah-marah pada Feni.
"Loe buru-buru banget kayaknya datang kesininya" tebak Roni sambil tersenyum tipis.
"Iyah, gue buru-buru kesini begitu loe nelpon" jawab Erlang, meski yang mengajaknya bicara adalah Roni tapi Erlang sama sekali tidak mengalihkan tatapan matanya kearah Feni yang berusaha bersikap tenang dengan meneguk sedikit demi sedikit lemon tea di hadapannya.
Roni tersenyum,
“Untung loe cepat datang kesini, kalau gak.. Loe gak akan pernah ketemu Feni lagi”
Kata-kata Roni barusan membuat sepasang mata Erlang menatap tak suka.
Feni juga kaget dengan kalimat Roni barusan sampai ia tersedak saat menyeruput tehnya.
Ditatap dengan tatapan mematikan seperti itu malah membuat Roni tersenyum.
“Maksud loe apa?” Tangan Erlang terkepal, ia benar-benar tidak suka kata-kata Roni barusan.
Roni cuek tak peduli dengan pertanyaan Erlang.
"Karena loe udah datang jadi gue balik ya" kata Roni dan berdiri dari duduknya.
Erlang menarik nafas panjang, matanya terus menatap Roni.
“Balik dulu ya Fen” Kata Roni tak merasa bersalah.
Feni hanya mengangguk.
"jaga dia baik-baik ya" kata Roni menepuk pundak Erlang dan kemudian pergi menuju sebuah mobil sedan hitam yang terparkir diseberang jalan.
Kini Erlang dan Feni tinggal berdua tanpa ada yang memulai percakapan. Waktu seakan bergerak pelan, bumi terasa berhenti berputar.
***
Feni sedikit kerepotan mengikuti langkah pemuda didepannya, seperti anak yang tak ingin ditinggal papanya tangan Feni menarik ujung jaket Erlang bagian belakang.
Erlang dari tadi sama sekali tidak bicara sepatah katapun marah... hmmm mungkin. Tapi mengikuti Erlang seperti ini lebih aman dari pada dia sendirian di pinggir jalan.
Erlang berhenti sejenak di lemari pendingin berisi puluhan minuman, ya mereka sekarang ada disebuah mini market. Jika Feni tebak, Erlang pasti kehausan setelah lari-lari tadi, Feni tertawa kecil saat teringat wajah panik pemuda itu. Tapi kemudian berubah tegang saat teringat kata-kata Roni tadi.
"Kenapa?" tanya Erlang.
"Hmmm.. " Feni melirik cowok disampingnya karena ia yakin cowok ini yang bertanya.
Kedua mata elang lelaki tampan itu menatapnya, membuat nyali Feni menciut. Feni mengeleng pelan dan menundukan wajahnya.
Erlang menarik nafasnya kemudian mengambil minuman dihadapannya dan pergi ke kasir untuk membayar.
Saat ingin pergi dari hadapan dua petugas wanita mini market, meski bisikan Feni dapat mendengar kalau mereka bilang Erlang ganteng.
Entah kenapa Feni jadi cemberut mendengarnya, ia yakin Erlang juga mendengar apa yang kasir itu bisikan dengan temannya. Pasti sekarang dia lagi tertawa sombong dalam hatinya.
Saat Feni sibuk dengan fikirannya sebuah kotak minuman diberikan tepat didepan wajahnya. Feni mengambil minuman itu, mengenyitkan dahinya. Ia memandang minumannya bergantian dengan memandang Erlang.
"Kamu harus minum susu biar pintar dikit, aku anterin kamu sama Andre biar kamu aman. Jangan terus bikin orang lain cemas" Erlang seperti mengerti apa yang ada di pikiran Feni.
Feni cemberut, ingin membantah tapi iya tau kalau itu salahnya. Jadi Feni hanya menunduk terdiam.
"Beruntung Roni suka sama kamu. Kalau gak dia pasti udah habisin kamu" lanjut Erlang kemudian meneguk kopi kaleng dingin yang ia pegang.
“jadi menurut kamu di sukai Roni itu beruntung?” tanya Feni.
Erlang melirik Feni, sadar kalau ia salah bicara.
"Aku gak suka Roni suka sama aku" jawab Feni.
"Roni otak dibalik kecelakaan Adek" ucap Feni suaranya semakin kecil. Erlang menarik nafasnya pelan, menatap cewek disampingnya yang terlihat tertekan.
"Kamu ngerti kan sekarang gimana bahayanya mereka?" Tanya Erlang.
“Apa lagi mengingat kata-kata Roni tadi, aku tau betul dia orang seperti apa”
“Perasaan dia sama kamu seperti nya bukan lah main-main” lanjut Erlang.
Feni mengangguk kecil.
“Aku pasti akan jagain kamu” kata Erlang meletakkan telapak tangannya tepat di puncak kepala Feni.
"Ya udah minum susunya" kata Erlang.
Patuh tanpa bersuara atau bahkan membantah, Feni meminum susu coklat dingin itu pakai sedotan. Meski tengah sibuk minum susu Feni masih bisa melihat kalau Erlang melihat kearah dalam mini market.
"Pasti seneng kan di puji-puji gitu" kata Feni.
"Siapa?" Tanya Erlang.
"Kamulah, dibilang ganteng. Pasti seneng banget kan, pake ngelirik-ngelirik lagi ke belakang" ucap Feni diiringi cemberut diwajah manisnya.
Mau tak mau Erlang tertawa melihat ekspresi wajah Feni, ia seperti pacar yang sedang ngambek karena cemburu.
"Emang mereka ngomong gitu, aku gak denger. Kamu gak usah manyun gitu, kamu kayak pacar lagi ngambek karena cemburu" kata Erlang menarik hidung Feni gemas.
Wajah Feni sontak memerah bukan karena perlakuan Erlang barusan tapi kalimat Erlang tentang pacar tadi.
"Apa-apaan sih?" Feni makin cemberut.
"Tinggal beberapa jam lagi” Erlang bicara seolah kepada dirinya sendiri.
Feni tahu maksud dari kalimat itu. Dia menghela nafasnya pelan, kemudian menatap Erlang. Tangannya mengepal erat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
RumahSakit Mesra
kasian adek dan Ryan
2024-08-15
0
Nur Haliza
demi apa aku nyesek bacanya 😭😭
Ksian Ryan blm tw klw dy punya anak, pas ditaunya dh g ada
2021-05-04
2