“Apa yang salah sih sama hari ini? Kenapa semua yang terjadi hari ini sangat ribet” ucap Feni pada dirinya sendiri.
Ia masih berjalan tak jauh dari diskotik untuk pulang menuju hotel, kepalanya terasa mau pecah jika mengingat apa yang terjadi seharian ini.
Masalah datang silih berganti dari pagi, bertemu Yudha, berantem dengan Lina dan malamnya bertemu Adek yang seolah-olah orang lain dihadapanya.
Wajah Feni tertunduk lesu, matanya mengikuti gerak ujung kakinya yang melangkah maju, tapi langkahnya terhenti saat dua pasang sepatu ia lihat berada didepannya menghalangi langkahnya. Feni mendongkak kepalanya melihat sumber pemilik sepatu kulit bewarna hitam itu.
Dua laki-laki dengan wajah cukup berwibawa berdiri didepan Feni, yang disebelah kanan laki-laki berusia sekitar 40 tahunan sedangkan yang disebelah kiri laki-laki berusia sekitar lebih kurang 30 tahunan. Laki-laki yang disebelah kanannya menatap Feni dengan tatapan selidik wajahnya bulat dengan kumis tipis di wajahnya. Sedangkan yang satu lagi memiliki wajah bersih tanpa kumis. Jika dilihat dari penampilan mereka, mereka bukanlah orang jahat tapi mereka mirip dengan Andre jika sedang bertugas.
“Apa anda saudara Feni?” tanya laki-laki yang lebih tua.
“Iya, saya Feni” Feni mengangguk namun memasang sikap siaga dan curiga. Kenapa mereka tau namanya?
Laki-laki yang satu lagi mengeluarkan smartphonenya dan menghubungi seseorang. Feni lansung bertanya-tanya dalan hatinya, siapa yang ia hubungi? Apa jangan-jangan orang yang di diskotik tadi?
Tak lama ia menyerahkan benda tipis dengan lebar 7 inchi itu pada Feni. Feni menatap ragu, namun laki-laki itu mengangguk untuk meyakinkan Feni. Tangan Feni terulur untuk mengambil smartphone itu dan menempelkan ditelinga nya.
“Hallo..” sapa Feni.
“Kemana aja kamu seharian ini? Dihubungi nomer kamu gak aktif” balas seseorang yang sangat Feni kenali suaranya.
“Andre..”
“Iya ini aku, mereka berdua anggota kepolisian. Aku minta sama kamu untuk ikut meraka. Ada banyak hal yang harus kamu jelaskan” ucap Andre dan kemudian hanya terdengar bunyi panggilan diakhiri.
Feni yakin kalau Andre pasti sangat marah sama dia kali ini. Feni menyerahkan kembali benda pipih itu dan menarik nafasnya pelan
“Mari kita pergi” kata mereka dan lansung diikuti Feni.
Kepala Andre seperti akan meledak saat ini, adik tersayangnya telah duduk dari tadi dihadapanya tapi tak jua satu kata pun meluncur dari mulutnya untuk menyapa Feni. Ia hanya sedang mencoba mengendalikan dirinya tak ingin nanti kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang tak ingin ia ucapkan.
Suasana diruangan itu terasa sangat tak nyaman, Feni merasa susah untuk bernafas karena tatapan Andre padanya, belum pernah seumur hidup Andre menatapnya dengan tatapan seperti ini. Ruangan yang saat ini di huni oleh 4 orang itu terasa sepi karena hanya pada awal ia datang tadi saja Feni disapa oleh seorang wanita seumuran Andre itupun dalam rangka perkenalan padanya.
“Ndre” tegur seorang Rima yang tadi duduk tak jauh dari mereka yang sekarang berdiri disisi Andre dengan membawa sebuah laptop dipangkuannya.
Seakan paham dengan maksud wanita itu Andre mengambil laptop itu dan mengarahkan layar laptop itu ke arah Feni, sehingga dengan jelas saat ini Feni dapat melihat layar laptop itu yang memamerkan seorang laki-laki dengan wajah bulat yang memiliki tatapan tajam dengan kumis tipis, Feni berkidik ia merasa merinding melihat tatapan kejam itu.
Feni melihat kearah Andre dengan tatapan bertanya, Andre balas menatap Feni dengan tatapan yang sulit Feni artikan. Kenapa Feni merasa tatapan Andre kali ini seolah menyaratkan perasaan kecewa.
“Laki-laki itu bernama Marko” kata Andre yang akhirnya buka suara setelah hampir setengah jam Feni datang ke tempat itu.
“Hubungannya sama aku” tanya Feni yang balas menatap Andre yang dari terus menatapnya.
Andre menghela nafasnya sejenak mencoba untuk terus mengontrol dirinya karena sudah banyak pertanyaan yang dari tadi berputar-putar dikepalanya.
“Ektravaganza Discotic adalah salah satu tempat yang kami awasi dalam misi kali ini. Penjagaan itu sangat ketat dan sulit untuk ditembus, hanya orang orang tertentu saja yang bisa masuk ketempat itu” jelas wanita yang tadi berdiri disamping Andre dan kini duduk disebelah Andre.
“Kamu ngertikan maksudnya apa? Dan hubungannya apa sama kamu?” Andre membalikan pertanyaan Feni ke Feni lagi.
Feni mulai menemukan jawaban dari sikap Andre padanya, ia mulai memahami kenapa ada tatapan kecewa dari mata Andre.
“Foto orang yang kamu lihat tadi itu bernama Marko, dia adalah bos dari geng ini. Ia adalah seorang pengusaha, punya beberapa yayasan dan dia diduga adalah bandar heroin terbesar di Indonesia” Jelas Toni yang dari tadi diam.
“Kalian tidak berfikir aku bagian dari mereka kan?” tanya Feni lagi semakin ingin mengetahui apa yang ada dipikiran orang-orang yang ada di ruangan itu terutama sang kakak.
“Itu juga pertanyaan yang kami ingin tau jawabannya Fen” Jawab Toni, Feni mendengar jawaban Toni tapi ia lebih ingin tau jawaban Andre.
“Aku gak kenal mereka” jawab Feni tegas, ia ingin Andre mendengar dan juga semua yang ada di ruangan itu bahwa ia sama sekali tidak berbohong.
“Mungkin Marko tidak tapi“ Toni melangkah mendekati laptop dan meng klik satu tombol di keyboard foto yang ada dilayar berganti menjadi foto cowok berwajah indo, dengan kulit putih tatapan mata dan senyumannya yang masih dapat Feni ingat, dia adalah…
“Namanya Roy, dia adalah anak buah kepercayaan Marko” Jelas Toni, Feni dapat melihat dari tatapan Toni ada tatapan selidiknya. Feni mencoba bersikap tenang.
“Roy sebenarnya hanyalah sebuah kaki tangan dari dua orang anak Marko yaitu …” Toni kembali menukar foto yang ada di laptop dengan slide selanjutnya.
“Ryan dan Hani sepasang anak Marko yang juga aktif dibeberapa kegiatan sosial namun dibalik itu semua mereka adalah pengedar heroin paling hebat”
“Kamu lihat mereka disanakan?” tanya Rima.
Feni mengangguk dengan sedikit ragu ia tak ingin anggukannya ini disalah artikan oleh mereka yang ada diruangan itu.
“Masih ada satu orang lagi Fen” kata Toni dan kemudian beranjak pergi dari duduknya dan melangkah menuju meja yang ada disudut ruangan itu. Feni dapat melihat Toni mengambil sebuah mab dan kembali duduk di tempatnya semula.
Toni membuka mab itu dan meletakkan di meja pas dihadapan Feni, seorang pemuda yang lumayan tampan dengan kulit sawo matang.
“Siapa dia?” tanya Feni karena dia yakin dia sama sekali tidak melihat laki-laki itu tadi disana.
“Namanya Roni, dia adalah anak angkat Marko. Dia hebat untuk beberapa transaksi dia yang jadi komando. Tapi dia belum sampai Bali” jelas Toni.
Feni mengangguk paham, tapi Feni mencoba menatap Andre ia ingin tau apa yang Andre fikirkan tentangnya. Semua yang ada di ruangan itu hanya terdiam dalam fikiran masing-masing.
“Ndre” panggil Feni.
Andre menatap adiknya dengan tatapan kecewa, terluka dan juga… entahlah Feni sulit sekali mengartikan tatapan itu.
“Aku sama sekali gak ada hubungan apa-apa dengan mereka” tegas Feni untuk yang kedua kalinya. Semua yang ada di ruangan itu terdiam baik Andre, Rima ataupun Toni menyadari kalau tak ada unsur kebohongan dari kalimat Feni.
“Untuk sementara ini kamu dalam pengawasan, barang-barang kamu sudah dipindahkan ke kamar di hotel ini” Jelas Rima.
“Pengawasan?” Feni mengulang kata-kata itu, kata-kata itu seakan matra pengikat yang membuat ia merinding.
“Iya, karena sampai saat ini belum ada kejelasan tentang keterlibatan kamu dengan mereka” Andre akhirnya angkat bicara.
“Maksudnya ‘kejelasan’ apa? Aku sama sekali gak ada hubungan apa-apa dengan mereka” Feni mulai jengkel dengan sikap Andre.
“Apa kamu belum juga ngerti? Ektravaganza Discotic bukanlah tempat yang bisa dimasuki oleh sembarangan orang, hanya orang-orang tertentu yang bisa memasukinya. Dan kamu bisa masuk kesana, sekarang mungkin gak orang akan berfikir kamu gak ada hubungan apa-apa dengan mereka” Andre berujar panjang lebar ia mengeluarkan apa yang dari tadi ia fikirkan.
“Seseorang membantu aku untuk dapat masuk kesana”
“Ok, kalau gitu jawab pertanyaan aku, untuk apa kamu datang ke Ektravaganza Discotic ?” Tanya Andre yang semakin membuat Feni terpojok.
Toni dan Rima yang ada diruangan itu hanya diam mereka juga penasaran apa alasan Feni datang ke tempat itu.
“Gak mungkin aku mengatakan kalau aku mencari Adek kesana, bisa-bisa Adek terseret-seret kasus ini” pikir Feni.
“Maaf” hanya kata itu yang akhirnya meluncur dari bibir Feni.
Andre menghela nafasnya berat, ia sama sekali tidak tau harus berkata apa lagi. Ia juga tidak mengerti apa maksud dari kata maaf yang baru saja Feni katakan.
“Mending kita lanjutin pembicaraan ini besok, soalnya sekarang udah tengah malam” Rima mencoba meredakan ketegangan yang ada dengan melirik jam tangannya untuk meyakinkan.
Toni mengangguk setuju dia juga sudah lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Lagian ketegangan antara Feni dan Andre tak akan selesai malam ini juga.
“Aku antar kamu ke kamar” kata Rima yang mulai berdiri dari duduknya tanpa meminta persetujuan dari dua rekannya yang lain.
Feni ikut berdiri mengikuti langkah kaki Rima menuju pintu tak ada ucapan selamat malam yang ia tunjukan pada Andre ataupun Toni. Feni berdiri di ambang pintu satu tangannya memegang handel pintu untuk segera menutupnya.
“Aku…”tiba-tiba Feni angkat bicara. Rima yang ada dihadapanya menghentikan langkah kakinya.
“Aku gak akan pernah ngehianati kamu Ndre” lanjut Feni, ada beban berat yang ia coba sampaikan dari kalimatnya itu.
Kalimat itu seperti nyanyian selamat malam yang terdengar pilu oleh Andre, ia tau ia telah melukai hati adiknya tapi ia sendiri juga terluka karena ini. Ia tak tahu haru berbuat apa.
“Selamat malam” lanjut Feni yang kemudia diiringi dentuman pintu yang ditutup dengan cukup kuat.
***
Cahaya pagi mulai masuk diantara tirai kamar yang terbuka tak sengaja, menandakan pagi telah datang menyapa. Feni yang sebenarnya telah bangun sekitar satu jam lalu tidak juga berniat beranjak dari tempat tidurnya, semalam saja ia tak yakin ia tidur atau tidak karena seolah-olah ia masih saja mendengar suara tuduhan Andre padanya semalam.
Bayangan sahabatnya yang duduk sambil tersenyum disamping pemuda yang ia yakin patut diwaspadai itu terus mengganggu tidurnya. Sekarang ia benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Bagaimana jika nanti Andre bertanya lagi untuk apa ia ke diskotik itu? Dia harus jujur atau bagaimana?
Feni bangun dari tidurnya, wajahnya 100% terlihat kacau ia rapatkan lututnya ke dada memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Bolehkah ia mengatakan kalau bukan liburan seperti ini yang ia inginkan.
Suara ketukan pintu menginterupsi kegiatan penyesalannya untuk sesaat, suara ketukan pintu yang seolah tak sabar sama sekali sampai terbuka. Feni sempat mengomel mengutuk tamu yang sama sekali tak ia harapkan hadir mengusik paginya yang sudah kacau.
Feni mempercepat langkahnya, ia ingin segera membuka benda persegi panjang yang mematung itu kemudian mengusir si tamu terserah siapapun dia.
Sebuah senyuman manis menyapanya saat pintu terbuka dan ucapan selamat pagi yang sama sekali tidak membuat moodnya berubah baik.
“Sepertinya kamu dalam kondisi yang sedikit buruk” kata Toni seolah mengerti apa yang ada dipikiran Feni.
“Hm..” jawab Feni asal.
“Boleh masuk?”
Feni mengangguk lemah kemudian melebarkan sedikit pintunya agar Toni bisa melewati pintunya, sepertinya ia sudah lupa niatnya dari awal sebelum membuka pintu tadi.
Toni duduk di sebuah sofa yang diikuti feni duduk disisi yang berseberangan.
“Kamu terlihat kacau” kata Toni dari atas sampai bawah ia sangat yakin kalau Feni semalam pasti kurang tidur.
“Hm..”
“Aku berharap kamu mengerti apa yang Andre rasakan” Toni sedikit berhati-hati untuk memulai berbicara dengan Feni yang sedang dalam suasana hati yang kurang baik.
Merasa tak ada tanggapan dari Feni, Toni mencoba melanjutkan kalimatnya.
“Andre berusaha menyangkal keberadaan mu di diskotik itu, mencoba terus mencari tahu kalau itu bukanlah kamu. Tapi saat Andre tahu kalau itu kamu dia berusaha mencari tahu apakah kamu baik-baik saja disana”
“Andre begitu menyayangimu, sehingga ia menyembunyikan kenyataan kalau kamu berada di diskotik itu dari komandan” lanjut Toni.
Feni menatap Toni tak menyangka kasusnya seribet ini, jika Andre menyembunyikannya berarti seandainya ketahuan Andre akan dipecat karena dianggap berkhianat.
“Bodoh” desis batin Feni.
“Kamu harus katakan semua yang kamu rasakan pada Feni, bicara baik-baik aku rasa itu akan membantu” kata Rima disaat yang sama pada Andre di kamar sebelahnya.
“Kamu tidak tahu betapa keras kepalanya Feni” kata Andre
Rima tersenyum.
“Apa bedanya denganmu? Aku yakin kamu dengar apa yang ia katakan semalam dan perasaan apa yang ia sampaikan dari kalimatnya itu”
“Ndre” panggil Rima pada laki-laki yang duduk disampingnya ini.
“Apapun alasan Feni datang ke diskotik itu, aku yakin ini gak ada hubungannya dengan geng marko. Kamu juga yakin akan hal itu kan?”
Rima menatap kedalam bola mata rekan kerjanya itu, yang dibalas sebuah senyuman.
Suara sendok yang beradu dengan gigi, suara kunyahan atau sapuan makanan memenuhi kamar bernomer 102 itu.
Andre yang sedang mengunyah makanannya menatap Feni yang sedang sibuk dengan tulang ikan dikotak makan siangnya. Keduanya sedang menikmati makan siang tanpa suara tak ada sama sekali percakapan antara keduanya dari tadi hanya sebuah ajakan makan dari Andre yang dibalas Feni hanya dengan sebuah anggukan.
“Kamu semakin terlihat seperti kucing Fen” kata Andre tanpa ada niat menyulut perang sama sekali.
Feni hanya menanggapi dengan bibirnya yang dimanyunkan yang mau tak mau membuat Andre tertawa kecil.
“Ndre” panggil Feni dengan nada serius.
“Hm..”
“Aku bener-bener gak ada hubungannya dengan orang-orang itu”
Andre menatap adik tersayangnya untuk sesaat lantas tersenyum dan mengangguk.
“Aku percaya sama kamu dan tentang kata-kata aku semalam aku minta maaf”
“Aku bukannya gak percaya kalau kamu gak akan ngehianati aku tapi aku hanya sangat takut sesuatu yang buruk akan terjadi dengan kamu”
“Maaf” feni menatap Andre dengan rasa penuh penyesalan.
Andre tersenyum dan bangkit dari duduknya untuk meletakkan telapak tangannya dipucak kepala Feni dan mengajaknya pelan.
Feni cemberut diperlakukan seperti itu tapi jauh dari dalam hatinya ia bahagia, Andre tidak berubah.
“Mending kamu lanjutin makannya, aku harus pergi untuk rapat”
Feni mengangguk patuh.
“Jangan berbuat aneh-aneh selagi aku gak ada” kata Andre sebelum ia hilang dibalik pintu.
“Aneh-aneh” ucap Feni seolah mantra.
“Apakah bisa?” Feni meletakkan kotak makanan diatas meja kemudian mengambil smartphonenya dan menatap layar ponselnya sejenak.
“Maaf Ndre” desisnya pelan bahkan mungkin hanya mampu didengar oleh Feni sendiri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
RumahSakit Mesra
Andre abng yg baik
2024-08-05
0
Mesra
pengen punya KK laki2 juga
2022-12-17
0
shanum
ehmmm
2022-11-05
0