Malam berganti pagi dan Disa harus bersiap untuk berangkat ke rumah tuan mudanya. Hanya beberapa jam ia tidur ayam sebelum akhirnya benar-benar tidak tertidur. Ponsel dan ponsel lah yang selalu ia genggam bahkan saat ia tertidur.
Seperti biasa usai mandi dan solat subuh, ia mulai merapikan kamarnya, memakai baju seragam dan mengepang rambutnya sebelum ia sanggul rendah dengan jepitan rambut. Ia pun menyiapkan beberapa barang yang harus ia bawa ke rumah tuan mudanya dan dimasukkan ke dalam tote bag.
Perjalanan mengikis jarak kali ini sengaja di buat santai. Otaknya masih ingin melamun, memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana kalau tuan mudanya mencegatnya dan mengomelinya? Lalu ia di pecat karena membuat majikannya marah.
Arrghhh penyakit overthinking ini memang selalu menyiksa, membuatnya tersiksa dengan dugaan yang belum tentu terjadi.
Segera Disa menggelengkan kepala mengusir pikiran itu. “Semua akan baik-baik saja disa.” gumamnya, menyemangati dirinya sendiri.
“Pagi mba disa,..” sapa Pak Rahmat, partner ganti shift jaga pak Wahyu. 2 orang inilah yang menjaga rumah tuan muda secara bergantian.
“Pagi pak,...” Disa turun dari sepedanya dan menuntun rangka besi beroda itu mengikuti langkah kaki pak Rahmat.
“Silakan.” Pak Rahmat membukakan pintu gerbang seperti biasanya.
“Makasih pak.” Disa melenggang masuk dan memarkirkan sepedanya di tempat biasa.
Ia melepas sneaker-nya lalu menggantinya dengan sandal rumah. Saat pintu belakang terbuka dan berderet, rasa was-was semakin terasa. Ia memejamkan mata sejenak dan berdo’a kalau semua akan baik-baik saja.
Di tempat cuci piring ada sebuah piring dan gelas. Disa segera mengecek bawah tudung saji dan sepertinya tuan mudanya makan. Ia ingin melonjak kegirangan karena akhirnya masakannya dimakan oleh tuan mudanya.
Kembali perhatiannya teralih ke wastafel lebih tepatnya pada piring yang habis digunakan tuan mudanya. Ada potongan seledri dan bawang daun di tepi piringnya, sepertinya tuan mudanya tidak menyukai dua hal itu. Disa segera mencuci piring dan gelas dengan perasaan senang. Membayangkan masakannya di nikmati oleh tuan mudanya. Sebuah pencapaian yang patut di rayakan.
Lantai kembali ia sapu dan pel. Sofa dan bantalnya ia usap dengan kemoceng, memukulnya pelan untuk menyingkirkan debu yang menempel, sedikit terbatuk dan bersin karena debu itu cukup merangsang saraf di nasalnya. Ia segera membungkam mulutnya agar tidak membuat kegaduhan. Lantas melanjutkan pekerjaan untuk membersihkan semuanya tanpa ada debu yang tersisa.
Kejutan ia dapatkan di lantai 2 saat keranjang cucian itu terisi penuh. Ternyata tuan mudanya mulai menaruh cucian di dalam keranjang. Tidak berserakan seperti tempo hari dan lagi ini sebuah pencapaian untuk Disa.
Ia segera masuk ke dalam walk in closet dan menyiapkan pakaian yang akan di kenakan tuan mudanya. Memadu padankan stelan jas dengan kemeja, dasi bahkan belt dan jam tangan.
“Fiuh, semuanya sudah siap.” gumam Disa seraya memandangi stelan baju yang ia siapkan dan menggantungnya di hanger. Ia harus kembali ke bawah untuk menyiapkan sarapan. Kali ini memasak apa? Kita lihat di buku menu.
*****
Melihat baju sudah tergantung rapi dan siap dikenakan membuat Kean merasa tenang sendiri. Kali ini pelayan itu menyiapkan stelan berwarna abu tua dengan kemeja biru metalik. Pemilihan warna yang tepat dan sangat fashionable.
Muncul rasa penasaran di benak Kean, bagaimana dengan lihainya pelayannya menyiapkan semua keperluannya. Pakaian yang selalu rapi dan wangi serta serasi, sepatu yang mengkilap dan tentu saja rumah yang selalu rapi. Jangan lupa, masakannya pun cukup enak.
Kean segera menyelesaikan persiapannya lalu bergegas pergi ke ruang bacanya. Ia menyalakan komputer dan melihat rekaman yang tersimpan dari CCTV rumahnya.
Tidak ada gambar yang tersimpan, sepertinya CCTV rumahnya masih rusak. Ia segera menghubungi Rahmat yang berjaga di pos depan melalui sambungan telpon rumahnya.
“Siap tuan muda! Ada yang bisa saya bantu?” suara Rahmat terdengar sigap.
“Hem! Kamu udah nyuruh orang untuk benerin CCTV rumah?” tanya Kean tanpa basa-basi.
“Em, belum tuan. Apakah ada barang yang hilang?” Rahmat balik bertanya.
“Tidak. Segera hubungi kinar untuk menyuruh orang memperbaiki CCTV rumah.” begitu titah Kean kemudian.
Rahmat hanya menyahuti Siap, sebelum menutup teleponnya.
Sepertinya belum saatnya ia melihat seperti apa sebenarnya sosok pelayan yang merapikan rumahnya tanpa suara. Mungkin yang ia pegang bukan sapu dan kain pel, melainkan tongkat sihir.
“Siska, buatkan saya pasta untuk makan malam dan nasi goreng untuk sarapan besok.” mengetik pesan dan mengirimnya pada nomor yang ia beri nama Pelayan.
“Selamat pagi tuan muda. Bagaimana istirahat anda semalam? Mohon maaf ini nomor saya disa.” begitu balasan yang ia terima.
"Baik, akan saya masakkan." pesan kedua di kirim berselang 1 menit dari pesan pertama.
Kean tersenyum simpul, ia baru tahu kalau nama pelayannya adalah Disa. Ia memang asal menyebut nama. Terlalu gengsi untuk bertanya siapa nama wanita tersebut.
“Berapa usia mu?” balasnya kemudian, langsung pada rasa penasaran berikutnya tanpa menjawab pertanyaan basa-basi itu.
“50 tahun tuan.” balas Disa.
Di tempatnya Disa masih memegangi setrikaan yang sedang ia gunakan. Matanya terbuka lebar saat melihat pesan yang ia kirim sendiri pada tuan mudanya.
“Astaga, kenapa aku ngetik 50? Harusnya kan 20...” dengusnya seraya mengucek matanya yang terasa rapat karena mengantuk.
Efek siksaan overthinking dan menunggu pesan balasan tuan mudanya membuat Disa nyaris tertidur saat bekerja. Atau mungkin jempolnya yang terlalu lebar hingga salah menekan keypad.
“Apa aku klarifikasi ya?” gumamnya yang sedang menimbang dan memutuskan. “Ah sudahlah, lagi pula apa salahnya dengan umur 50? Yang penting kan masih bisa bekerja dengan baik.” imbuhnya yang kembali memasukkan ponselnya ke saku roknya. Ia melanjutkan acara menyetrika baju pemilik rumah besar ini.
“Disa!” sebuah suara mengagetkan Disa yang fokus dengan pekerjaannya.
Adalah Tina yang berdiri di mulut pintu seraya menunjukkan keresek hitam di tangannya.
“Kenapa kak?” Mengubah panas setrikaannya lalu menaruhnya di tempat ia biasa menyimpannya.
“Bu kinar beliin kita bubur ayam. Ayo makan!” ajaknya dengan antusias.
Sebuah keajaiban ketika Kinar ingat membelikan bubur ayam untuk para bawahannya.
“Bentar, aku matiin dulu setrikaannya.” Mencabut kabel lalu merapikan baju yang belum seluruhnya rapi.
Tina menunggu dengan setia. Ia mengambil beberapa mangkuk untuk ia dan teman-temannya.
“Beli bubur dimana?” Disa membantu Tina menurunkan mangkuk dari dalam kitchen set dan menaruhnya di meja dapur.
“Tadi pas habis belanja bahan makanan. O iya, bu kinar juga nyuruh aku nemenin kamu belanja bulanan buat ngisi stok kebutuhan di rumah tuan muda.” menata bubur di dalam mangkuk.
“Kapan?”
“Besok setelah sopir baru dateng.” beranjak membawa mangkuk bubur ke halaman belakang dan Disa mengikutinya.
“Okey, berangkat dari sini kan?”
“Iya, kamu siapin aja catatannya.”
“Siap!”
“Nina, wita, rani, susi, endah, wulan, hayuk makan bubur...” Tina memanggil satu per satu nama temannya.
Yang berada di dalam kamar kompak membuka pintu.
“Bubur apa? Tumben!” Wita mengintip sedikit dari pintunya. Ia masih meratakan lip stick di tangannya dengan jari. Pasti habis beli lip stick baru untuk malam mingguan. Padahal malam minggunya tetap terkurung di rumah megah ini, hanya dating online lewat video call yang bisa dia lakukan.
“Kalo gag suka gag usah ikutan!” suara Kinar yang menjawab ucapan Wita.
Dengan segera Wita membuka pintu kamarnya lebih lebar, menegakkan tubuhnya dan membungkuk. “Maaf bu,..” lirihnya yang hanya di balas lirikan tajam oleh Kinar.
“Panggil temanmu yang lain yang masih kerja, suruh sarapan dulu.” titahnya kemudian.
“Baik bu.”
Wita keluar dari kamarnya, mencari teman-temannya. Suatu kebodohan karena sebenarnya ia bisa memanggilnya di chat group yang mereka buat.
Kinar hanya menggeleng melihat tingkah salah satu pelayan didikannya. Bibirnya yang lebih merah di banding pelayan lain seolah menjadi ciri khas dari Wita.
Mereka segera berkumpul dan menikmati sarapan bubur ayam di taman belakang. Kesempatan yang sangat langka karena mereka bisa sambil berbincang membicarakan gosip artis paling hits saat ini. Selain itu mereka pun bisa mengenal satu sama lain.
*****
“Pak Reza!!!” seru sebuah suara yang memanggil Reza saat nyaris duduk di kursi kerjanya.
“Iya bu, gimana?” mengurungkan niatnya untuk duduk saat wanita bernama Berlian itu menghampirinya.
“Em gini,...” Berlian menyingkap rambut yang menutupi pipi kanannya lalu menyelipkannya di sela telinga.
Untuk sebagian orang mungkin akan terlihat seksi. Tapi bagi Reza, terlalu berlebihan. Riasan bold yang ia kenakan setiap hari terlalu membuatnya takut.
“Bulan ini, para dosen berencana ngumpul. Biasanya kami bergiliran menjamu. Kalau bulan ini giliran di tempat pak reza gimana? Kebetulan kan kita belum pernah ke galery seninya pak reza.” tutur Berlian dengan gaya manjanya.
“Em boleh. Mau kapan bu?”
“Wah beneran?!” Berlian tampak sangat antusias.
“Ya tidak masalah.”
“Okey, saya tanya dulu yang lain. Kapan mereka bisa meluangkan waktu.”
“Boleh. Kabari saya kalau waktunya sudah oke.” timpal Reza santai.
"Okey!" Berlian pun segera berlalu dan mencari teman-teman berkumpulnya untuk membicarakan rencana kumpul mereka.
Reza hanya tersenyum melihat tingkah wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya. Sangat energik menurutnya. Ia kembali duduk dan mulai menyalakan laptopnya melihat silabus pembelajarannya.
Dari tempatnya, terlihat seorang wanita yang kerepotan membawa barang-barang di tangannya. Baru pertama kali ia melihat sosok tersebut.
Seorang wanita dengan rambut terikat rapi dan pakaiannya yang sopan. Tidak lupa ia memakai high heels yang membuat kaki jenjangnya terlihat semakin panjang.
“Aww!” dengusnya saat sebuah alat peraga di tangannya nyaris jatuh.
Dengan segera Reza berdiri dan menghampiri wanita itu untuk membantunya.
“Terima kasih.” ujarnya. Menatap Reza yang ada dihadapannya. Baru kali ini ia melihat wajah laki-laki ini di ruangan dosen.
“Saya reza, dosen fakultas seni.” sepertinya Reza mengerti arti ekspresi yang di perlihatkan wanita tersebut.
“Oh terima kasih pak reza. Saya ellen dosen fakultas ilmu budaya.” sambut wanita berambut coklat tersebut.
“Oh ya bu, mari saya bantu. Sebelah mana meja ibu?” Mengambil beberapa barang milik Ellen dan mengikuti langkahnya.
“Sebelah sini aja pak. Terima kasih ya...” Ellen menaruh barang-barangnya di atas meja yang terhalang billing cabinet dari meja Reza.
“Iya, sama-sama. Ibu seorang arkeolog?” Reza memperhatikan barang-barang yang di bawa Ellen.
“Iya, beberapa bulan lalu. Sebelum memutuskan untuk total mengajar.” akunya dengan segaris senyum. Reza terangguk mendengar ujaran Ellen.
“Okey, kalo gitu saya permisi.”
“Ya pak. Sekali lagi terima kasih.”
Reza hanya mengangguk dan kembali ke mejanya. Ia tidak menyangka ada seorang arkeolog yang semuda Ellen. Mungkin hanya selisih beberapa tahun saja darinya.
“Prof, mau ikut gabung buat acara kumpul mingu ini?” tawar Berlian dengan senyum ramah yang ia tujukan pada Ellen.
“Kapan bu bebe?” sepertinya mereka cukup akrab.
“Rencana besok, di galerynya pak reza.” Reza yang mendengar, mulai fokus menyimak. Ia bahkan belum tahu kalau acaranya besok. Wanita memang sumbernya kejutan, begitu batin Reza.
“Emm,, sory... Besok saya ada acara. Mungkin lain kali.”
“Wah, sayang banget, padahal kita mau barbeque-an sebelum libur semester.”
Reza kembali terkejut, barbeque? Tidak terlintas sama sekali di pikirannya. Lagi, Wanita memang selalu penuh kejutan
“Mungkin saya akan gabung di pertemuan selanjutnya. Semoga waktunya luang.” Ellen menolak dengan halus.
“Okey,...” Berlian pun berlalu dan kembali ke mejanya bersiap membahas acara ini di group virtual.
Reza sedikit mengintip Ellen dari tempatnya. Wanita berkemeja peach itu tengah menata beberapa alat peraga perkuliahannya. Ia masih sangat penasaran melihat sosok Ellen yang ternyata seorang arkeolog dengan gelar profesor.
Sebuah deringan ponsel menyadarkan Reza dari lamunannya. Ia segera mengambil ponselnya dan bersembunyi di balik billing cabinet saat Ellen menoleh ke arahnya. Nama Kean yang muncul di layar ponselnya.
“Ya bro!” jawab Reza yang kembali duduk di tempatnya. “Boleh, gue udah selesai ngajar kok. Ketemu dimana?” Sepertinya Kean membuat janji. “Hem, ketemu di sana.” tandasnya sebelum mengakhiri panggilannya.
Reza segera merapikan barang-barangnya karena ia berrencana pulang. Tugasnya sudah selesai dan tidak ada lagi yang ia kerjakan sekarang jadi sepertinya bertemu dengan sahabatnya akan cukup menyenangkan.
Laptop dan beberapa buku telah masuk ke dalam tas punggung Reza. Sebelum pergi ia menoleh meja Ellen. Orangnya tidak ada di sana, mungkin sudah pergi ke kelas untuk mengajar. Akhirnya ia urungkan niatnya untuk pamit.
Hanya Berlian dan beberapa dosen lainnya yang ia pamiti.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Titin Hendryati
bagus ceritany...
2022-11-30
1
Kristina Situmeang
hp jadul disa. mau ketik 2 malah keprncet 5. jadinya 50 deh
2021-11-07
1
Hesti Ariani
cerita bagus gini. semoga tambah banyak yg suka
2021-08-03
3