Pov Kean :
Tablet masih menjadi satu-satunya benda yang aku pegang dan aku usap-usap saat ini. Garis horizontal yang bergerigi menunjukkan fluktuasi pendapatan perusahaan masih menjadi hal rumit untukku. Bagaimana bisa hari-hariku begitu membosankan hanya dengan menatap garis yang terkadang berubah merah dan sangat jarang berubah hitam apalagi hijau.
Aku duduk di belakang saat sopir kantor mengantarku pulang. Sesekali dia menoleh dari spion tengah saat mendengar aku sedikit mendengus dengan frustasi. Sudah pasti laki-laki yang menjadi sopirku ini adalah orang kepercayaan papah yang akan diminta laporan tentang apa saja yang aku lakukan sejauh yang ia lihat.
Papah sangat tidak percaya padaku dalam segala hal hingga semua harus dilaporkan oleh orang-orang kepercayaannya.
Niat pulang sore berubah malam saat tadi tiba-tiba papah memanggilku ke kantor pusat dan memintaku menemuinya. Bukan untuk bertanya kabar atau basa-basi lainnya ia hanya ingin menyampaikan rasa kecewanya padaku yang tidak pernah ada habisnya.
“Kean , kamu pewaris kerajaan bisnis ini. Bagaimana bisa kamu tidak peka dengan kondisi keuangan anak perusahaan yang kamu pegang? Apa artinya kamu belajar bisnis jauh-jauh ke amerika kalau hasilnya seperti ini?”
Kalimat intimidasi yang selalu sama sudah sangat sering beliau sampaikan. Aku mulai kebal dan, bosan.
Beliau memang tidak tahu kalau di amerika aku hanya main-main, senang-senang dan menghamburkan uang. Bagiku, papah mengirimku ke amerika bukan untuk menyuruhku belajar dan menjadi lulusan dengan gelar panjang seperti yang ia banggakan.
Ia hanya ingin membuangku. Ingin menjauhkanku dari penglihatannya.
Mungkin aku terlalu kasar, hanya saja alasan aku berfikir seperti itu karena papah tidak pernah bertanya sama sekali apa aku setuju dengan keputusannya? Apa aku suka dengan apa yang harus aku lakukan?
Bagiku, Aku bukan anak yang selalu ia banggakan pada orang-orang di sekitarnya, aku hanya objek yang dibentuk untuk menjadi pewaris kerajaan bisnisnya agar suatu hari ia tidak kehilangan rupiah atau dolar yang ia kumpulkan.
Jalan takdir dan hidupku, dialah yang menulisnya dan aku hanya bisa menjalaninya dengan setengah kepayahan, lelah mengikuti obsesinya.
Masih segar dalam ingatan saat SMA dulu aku menjuarai sebuah ajang perlombaan catur. Beliau tidak berkenan untuk datang. Alasannya, papah menyekolahkanku bukan untuk menjadi seorang pemain catur.
Come on, pernah kah sekali saja ia mencari tahu apa passion ku sebenarnya? Aku bisa bersinar dengan caraku sendiri.
Tentu saja tidak, karena yang penting baginya adalah keinginannya di atas semua keinginan lainnya, termasuk keinginanku.
Semakin bertambah usiaku, semakin banyak tuntutan yang aku dapat. Bukan tuntutan menjadi manusia dewasa melainkan tuntutan untuk menjadi seseorang seperti dirinya. Memakai jas, stelan rapi, rambut klimis, sepatu mengkilap dan mencari investor sebanyak mungkin serta memastikan perusahaan untung. Tidak boleh ada keinginan lain yang terselip di dalamnya dan itu membuatku muak.
Kali ini, aku kembali membuatnya meradang saat perusahaan yang aku pimpin tidak mencapai target. Padahal jelas, aku bisa bangkit melewati kegagalan yang aku buat sebelumnya. Tapi goal dia dan goalku berbeda. Jika tidak sesuai targetnya, maka aku gagal.
Dahiku masih berkerut memikirkan cara agar garis hitam ini menjadi hijau. Hingga tanpa terasa sudah sampai di rumah dan masih masalah pekerjaan yang aku pikirkan.
“Silakan tuan muda.” suara Diman menyadarkanku dari lamunan yang cukup dalam.
Aku tidak menyahuti, aku segera turun tanpa berbasa-basi seperti biasanya. Sejak dulu aku memang tidak terlalu suka banyak bicara, karena saat aku berbicara akan selalu ada yang menjeda dan membuatku harus menelan salivaku kasar.
“Besok saya akan menjemput anda jam 8 tuan muda.” suara Diman kembali terdengar sebelum aku masuk.
Kali ini langkahku terhenti. Kalimat Diman terlalu menggelitikku. “Saya akan berangkat sendiri.” timpalku.
“Tapi tuan,”
Aku mengangkat tanganku sebelum Diman melanjutkan kalimatnya. Dan sepertinya dia paham. Buktinya dia tidak lagi berbicara. Mungkin dia terlalu takut untuk membantah kalimatku.
Lapor saja sama papah, kalau perlu. Begitu tantangku dalam hati.
Aku masuk ke rumah dan kulihat seperti biasa hanya lampu di sudut ruangan yang menyala. Aku tidak terlalu menyukainya, aku lebih suka terang benderang di banding redup seperti ini. Aku selalu merasa sesak saat melihat sesuatu yang sayup apalagi gelap.
Kunyalakan semua lampu ruangan dan melanjutkan langkah menuju kamar.
Aku perlu membersihkan tubuhku yang terasa bau keringat dan bercampur dengan emosi. Terlalu banyak energi negatif yang membuat tubuh dan jiwaku merasa kelelahan.
Aku melepas satu per satu pakaianku dan entah mengapa aku mulai patuh untuk menaruh pakaianku di dalam keranjang yang disiapkan pelayan.
Aku masuk ke kamar hanya mengenakan bokser lalu segera menuju kamar mandi, seperti biasa, tanpa menutup pintu.
Membasuh tubuhku, mencuci rambutku, bekas pomade membuatku sedikit pusing. Semua bagian tubuh aku bersihkan, aliran air mengaliri setiap lekuk tubuhku dan memberi sensasi dingin yang menyegarkan.
Sekitar 15 menit aku mandi dan segera membersihkan tubuh sebelum kulitku berubah kisut. Aku mengambil kimono mandi dan handuk kecil untuk mengeringkan rambutku. Perutku sedikit lapar dan aku memilih untuk pergi ke dapur mencari mie yang ingin aku buat untuk mengisi perutku.
Ku buka satu per satu pintu kitchen set yang sejajar kepalaku.
“Kemana perginya stok mie instan gue?” aku bertanya pada diriku sendiri.
Tidak ada satu pun yang tersisa hingga aku membuka semua pintu kitchen set dan nihil. Hah, sepertinya pelayan itu membuang semua mie instanku.
Aku memilih untuk mengambil air yang ada di meja makan dengan gelas biasanya lalu meneguknya. Pandanganku sedikit teralih saat melihat tempelan kertas baru di pintu kulkas.
“Selamat malam tuan muda. Mohon maaf mie-nya saya simpan dulu. Tuan muda bisa makan malam dengan lauk yang ada dan untuk sementara mohon tidak makan mie, karena khawatir sakit lambung tuan muda kambuh.” lagi, tulisan rapi yang sama merangkai kalimat itu.
Aku mulai familiar.
Aku membuka tudung saji dan kulihat ada nasi dan lauk pauk. Aku mencicipnya sedikit, mengecap rasa masakan itu di lidahku dan rasanya cukup enak. Aku mengambil nasi di atas piring dan mulai duduk untuk menikmati makan malamku.
Suapan demi suapan aku nikmati hingga butiran nasi di piring bersih dan berpindah ke perutku. Aku bersendawa merasakan kenyang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Perut bidangku terisi penuh, sepertinya aku akan tidur nyenyak. Aku tersenyum sendiri dan merasa menyesal telah mengabaikan masakan yang dibuat pelayan itu selama beberapa hari ke belakang.
Aku merapikan piring dan mencuci tangan. Sebelum kembali ke atas aku menyempatkan untuk mengambil goreng tempe dan mengunyahnya. Gurihnya pas, entah bumbu apa yang dia pakai.
Menunggu makananku turun, aku duduk di balkon dan menyalakan ponselku. Aku mencari satu nama dari nomor telpon yang dikirim Kinar beberapa hari lalu.
“Pelayan,” nama yang aku gunakan untuk menamai nomor itu. Entah siapa namanya apakah Siska, Nisa atau apalah. Aku hanya perlu mengirim pesan.
“Kemana mie instanku?” tulisku.
Aku kembali meneguk air putih yang aku bawa sambil menunggu balasan pesan dari pelayan itu.
“Selamat malam tuan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Mie instan tuan saya simpan sementara. Apabila ingin menikmatinya, mungkin bisa seminggu sekali.” Wanita itu membalas.
Aku tersenyum simpul melihat barisan kata yang dia kirim. Aku merasa seperti sedang berbalas pesan dengan guru bahasa indonesia atau customer service. Tapi tunggu, aku ingin balas mengerjainya karena berani mengambil stok mie instan ku.
“Berani-benarinya kamu mengaturku. Siapa tuannya di sini?!” aku mengirimnya sambil terkekeh.
“Mohon maaf tuan, saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya memastikan kalau makanan yang tuan makan sehat.”
Aku tergelak. Lihat balasannya sangat lucu. Sepertinya dia mengetik sambil mencontek setiap kata dari KBBI. Sangat baku dan sesuai EYD.
Aku menaruh kembali ponselku, menyandarkan tubuh dan kepalaku lalu berusaha memejamkan mata. Sapuan angin malam sangat segar. Mungkin sementara aku akan seperti ini, menunggu rambutku kering agar tidak vertigo saat bangun tidur.
*****
POV Disa:
Jantungku masih berloncatan saat menerima pesan dari seseorang yang kuberi nama “Tuan muda.” Aku membaca kembali berulang pesan yang aku terima dan aku kirim. Jangan sampai ada kata yang salah yang akan membuatnya salah persepsi apalagi murka. Hindari typo agar pesan yang aku sampaikan bisa beliau pahami sepenuhnya. Itu prinsipku.
“Tuan muda gag kenal ampun, makanya gag ada pelayan yang mau ngurusin dia.” kalimat Nina kembali terngiang di telingaku dan otak ghibahku mulai bekerja.
Pemberitahuan yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman. Dan sudah 10 menit berlalu, tuan muda masih belum membalas pesanku. Apa mungkin ada kalimatku yang salah atau beliau tersinggung dengan balasan pesanku.
Aku turun dari tempat tidur, berjalan ke sana kemari dengan perasaan tidak menentu. Di tanganku, aku masih menggenggam ponsel berlayar hitam putih dan kecil milikku. Aku sangat cemas, kenapa dia tidak membalas? Apa dia marah?
Lalu apa yang harus aku lakukan, tetap menunggu atau menghubunginya lebih dulu?
“Astaga disaaaa, kamu terlalu berani!” aku mengomeli diriku sendiri.
Aku membayangkan wajah yang belum pernah aku lihat hanya ekpsresi yang mungkin dari raut wajah tuan muda saat ini. Mungkin matanya memerah dengan tangan mengepal. Jangan sampai ia menelpon Bu Kinar dan menyuruhnya untuk memecatku.
“Ya allah,.. tolong disa ya allah...” tanganku refleks menengadah dan mengusap wajahku perlahan. Aku berharap tuhan mendengar do’aku dan mengabulkannya. Sungguh aku masih sangat membutuhkan pekerjaan ini.
Jam berlalu dan sudah tengah malam, aku masih terduduk di tempat tidur dengan pikiran dan perasaan yang tidak menentu. Beginilah siksaan untuk orang over thinking sepertiku.
Tuan muda tidak membalas pesanku. Mungkin akan lebih baik kalau ia membalas pesanku dengan nada marah sekalian dan mengomeli kelancanganku dari pada membuatku berprasangka yang tidak-tidak.
"Ku mohon, beri saya respon tuan," aku memohon dalam hati dan pikiranku, berharap dia mendengar apa yang aku katakan.
Sekuat tenaga aku menahan kantukku, aku khawatir melewatkan pesan yang di kirim tuan muda dan aku terlambat membalasnya. Bukankah akan lebih menakutkan kalau aku melewatkan satu pesan darinya?
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
abdan syakura
kak Thor...mo tanya ...
emg kl kita tidur dg rambut basah,akan terkena vertigo ya??
2023-02-03
1
Kristina Situmeang
disa,kamu baik.dan sangat polos.
2021-11-07
0
missYara
novel nya bagus..
semoga makin banyak yang like dan komen..
2021-08-15
2