Di ruangan milik Direktur utama Hardjoyo group saat ini Kean berada. Ia duduk di hadapan Sigit Hardjoyo sang ayah yang tengah membuka laporan neraca keuangan milik Kean.
Beberapa saat lalu, Marwan asistennya menghubungi Roy untuk membawa Kean ke ruangannya. Roy yang selalu ia hubungi agar Kean tidak punya alasan untuk menolak. Taktik yang licik menurut Kean. Seperti yang biasa Sigit lakukan untuk menjerat Kean agar melakukan apa yang ia inginkan.
"Dari mana kamu mendapatkan buyer dan investor dalam waktu nyaris bersamaan?" Sigit masih dengan mosi tidak percayanya dengan pencapaian sang anak.
"Mungkin di kirim malaikat." sahut Kean acuh. Ia masih sempat memainkan hiasan pendulum yang ada di meja Sigit.
Mendengar jawaban sang anak, membuat Sigit mengangkat kepalanya untuk menatap Kean dengan tajam.
"Untuk apa papah bertanya dari mana aku mendapatkan buyer dan investor? Bukankah cukup dengan aku membuat perusahaan membaik?" lanjutnya dengan kesal melihat tatapan sang ayah.
"Bukan 3 bulan kean, harusnya 1 bulan semuanya membaik dan kembali pada kondisi semula. Apa kamu tidak membayangkan bagaimana kondisi saham perusahaan dalam kurun waktu 3 bulan tanpa kejelasan? Benar kata marcel, perlahan kamu bisa kehilangan para investor yang loyal." cerca Sigit dengan wajah dingin.
Kean menghela nafasnya dalam. Ia pun menghentikan gerakan tangannya. "Kalau menurut papah om marcel benar, kenapa tidak minta dia aja yang mimpin anak perusahaanku? Toh aku tidak keberatan." sahut Kean dengan acuh.
"KEAN!!" menggebrak meja yang ada di hadapannya. Mata tajamnya mulai berubah menyalak.
Kean beranjak dari tempatnya, ia melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
"Papah tidak pernah mengapresiasi apa pun yang aku lakukan. Semua yang aku lakukan tidak ada artinya bagi perusahaan ini dan bagi kepuasan papah. Lantas apa yang membuatku harus mati-matian bertahan mempertahankan anak perusahaan ini?" menatap Sigit dengan penuh kekecewaan.
"Kean! Kamu pewaris perusahaan ini. Kamu,"
"PEWARIS!" timpal Kean tanpa memberi Sigit kesempatan untuk meneruskan kalimatnya.
"Aku benci dengan kata itu!"
"Buat papah, aku hanya benda yang bisa papah pergunakan untuk memenuhi kepuasan papah terhadap kekuasaan. Tidak lebih dari itu."
"Kean!"
"Kenapa?! Aku benar bukan?"
Apa papah pernah bertanya apa yang aku mau sekali saja?"
"Tidak bukan?! Bahkan papah tidak tau apa yang aku inginkan, apalagi yang aku butuhkan. Yang terpenting buat papah adalah kekuasaan dan kekuasaan. Itu!" seru Kean dengan kemarahan yang mulai memuncak.
Mendengar kalimat Kean, Sigit hanya terpaku. Ayah dan anak itu saling bertatapan dengan kilatan kemarahan di mata masing-masing.
"Papah tidak pernah mau tau apa yang aku mau dan apa yang aku butuh. Tapi papah sangat tau, bagaimana cara menyakitiku dan menyakiti orang-orang di sekitarku. Anda memang hebat." tegas Kean sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan Sigit dengan kemarahan yang belum reda.
Mendengar kalimat terakhir sang putra, Sigit hanya bisa jatuh terduduk di kursinya. Sekuat tenaga ia bertahan dengan argumennya, dengan sisa tenaganya dan dengan rasa sakit di dadanya.
Mengusap dadanya yang sakit lalu meremasnya perlahan. Ia berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ia harus bertahan , ia tidak boleh menyerah dengan rasa sakit di dadanya, sebelum semuanya selesai. Sebelum semuanya bisa di pastikan bahwa sang putralah yang akan menjadi pewarisnya di masa depan.
Baginya , apa salahnya berharap semua yang ia miliki di warisi anaknya? Mengapa keinginan Kean selalu bersebrangan dengan keinginannya?
******
“Kinaarr, tinaaa, ninaaaa... Atau siapapun kalian, cepat kemari!” sebuah teriakan terdengar dari lantai 2.
Sepinya rumah besar ini membuat suara Liana menggaung keras.
Kinar, Tina dan Nina segera berlari menghampiri nyonya besarnya. Beberapa anak tangga mereka lewati sebelum nyonya besarnya murka dan suasana rumah jadi memanas.
“Iya nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Kinar saat tiba di kamar Liana.
“Di mana gaun saya yang warna hitam yang saya beli di paris 3 bulan lalu?” tanyanya dengan mata menyalak.
“Mohon maaf, gaun hitam yang mana nyonya?” tanya Kinar kemudian. Mengingat baju yang berderet di lemari Liana didominasi oleh gaun berwarna hitam favoritnya.
“Itu yang dior.”
Bibir Kinar membulat paham. “Oh itu bukannya nyonya berikan pada nyonya wulan saat arisan bulan lalu?”
Liana tampak terdiam, berusaha berfikir. Ia menatap ketiga orang di hadapannya dengan sangsi.
“Argh sial! Wulan itu memang tau aja barang mahal." dengusnya saat sadar akan kekhilafannya.
"Dia selalu mancing saya buat ngasih barang yang dia mau. Dasar orang kaya susah!” cerocos Liana seraya membanting pintu lemarinya. “Ya udah, siapin mobil untuk saya pergi. Minta supir ngantar saya.” pintanya kemudian.
“Maaf nyonya, supir kita sedang di perusahaan. Untuk pengganti supir yang lama, semua kandidat belum ada yang cocok dengan kriteria yang tuan besar inginkan.”
“Apa?! Jadi saya harus naik taksi?!” teriak Liana.
Kinar tidak berani menjawab.
Liana tampak memijat kepalanya yang terasa pening karena banyaknya masalah di rumah ini. “Pilih salah satu supir di antara mereka. Terserah kamu pilih yang mana kinar, yang jelas dia harus bisa bawa saya dengan aman.”
“Apa saya perlu bertanya lagi pada pak marwan tentang pemilihan sopir ini?”
“Tidak perlu! Bisa sampe kiamat kita gag dapet supir. Marwan sudah merasa seperti dia tuan rumahnya, semua dia yang memutuskan, sangat menyebalkan! ” gertak Liana diikuti omelan.
Ia memang tidak pernah akur dengan laki-laki yang menjadi tangan kanan suaminya. Semua keputusan Sigit, pasti ia ketahui dari Marwan.
“Baik nyonya.” Kinar hanya bisa menurut. Sepertinya jantungnya cukup kuat menghadapi bentakan Liana dan Sigit serta rengekan nona mudanya setiap hari.
****
Di sekolahnya, Shafira duduk sendirian karena teman satu gengnya istirahat lebih dulu. Mereka tampak berbincang seru dengan geng anak laki-laki yang cukup populer di sekolah. Kursi di tempat mereka sudah terisi penuh dan sepertinya Shafira perlu sendiri dulu mencerna pertemanannya dengan ketiga wanita muda itu.
Sebuah notifikasi chat masuk ke dalam ponselnya. Shafira segera membuka chat di group yang ternyata group geng yang ia beri nama “Princess.” Itu adalah nama gengnya dengan ketiga temannya.
“Gimana jadi ikut gag nih nonton balapan sama michael?” tulis Nara di groupnya.
Namun beberapa menit kemudian chat itu kembali di hapus. Fia yang menyadari keberadaan Shafira segera menoleh dengan segaris senyum yang tidak bisa di jelaskan.
Sudah 2 bulan ini chat di groupnya sepi. Terakhir mereka membicarakan tentang liburan ke raja ampat dan foto-foto mereka saat berada di sana. Lebih dari 50 juta yang Shafira keluarkan untuk liburan mewah bersama teman-temannya ini. Namun setelah itu, mereka tidak pernah memperbincangkan apa pun di group itu.
Mungkin ia tersisih. Dan entah apa alasan teman-temannya menjauhinya.
Shafira beranjak dari tempatnya. Ia pergi menuju toilet lalu masuk ke dalam salah satu bilik. Ia memandangi foto-fotonya bersama teman-temannya dan rasa sakit itu mulai ia rasakan.
Ke mana perginya tawa yang selalu mereka bagi dan ke mana perginya kedekatan yang mereka jalin. Lebih dari itu, ke mana perginya kekompakan yang pernah mereka punya.
Shafira menghela nafasnya dalam. Banyak hal yang berbeda saat ini dan entah apa kesalahannya yang membuat teman-temannya mulai menjauh.
Kembali menghela nafasnya dalam. Ia berusaha membuang semua pikiran buruk di kepalanya. Mungkin mereka hanya butuh waktu dan ada kesalahan yang harus Shafira renungkan.
Ia keluar dari bilik toiletnya. Berdiri di depan cermin lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan. Dadanya terasa sesak tapi ia yakin ini hanya sebuah kesalah pahaman.
Keluar dari toilet Shafira kembali berusaha tersenyum. Ia tidak ingin siapa pun melihat kesedihannya.
Dari kejauhan terlihat gengnya dan geng Michael berjalan menghampiri Shafira.
“Hay fir. Kok lo gag nyusul kita sih?” tanya Nara seraya meraih tangan Shafira. Aroma ada kebutuhan terlihat jelas. Bersikap manis tiba-tiba dengan senyum-senyum tidak jelas.
“Oh iya, tadi gue kebelet pipis. Ada apa nara?” sahut Shafira sekenanya.
“Gini fir, gue sama anak-anak mau ngadain party nih di salah satu cafe. Gue harap lo bisa dateng.” Michael yang menerangkan lebih dulu.
“Oh ya, kapan?” tanya Shafira kemudian.
“Kan udah gue kasih tau detail acaranya di group.” sahut Ira seraya memainkan kuku jemarinya.
Nara segera menyikut Ira dan sepertinya Ira tersadar.
“Di group?” Shafira mengernyitkan dahinya.
Wajah ketiga sahabatnya kompak terlihat tegang. “Iya maksudnya group pas kita ngobrol tadi di kantin.” Narra mencoba mengklarifikasi.
Bibir Shafira tampak membulat tanpa suara.
“Gimana, lo bisa kan? Kita patungan kok ngadain pestanya.” bujuk Nara.
Memandangi wajah ketiga sahabatnya yang sedang memperlihatkan pupy eyesnya. Sepertinya mereka sangat berharap kalau Shafira ikut.
Tersenyum tipis melihat ketiga sahabatnya mulai bersikap baik. “O ya udah boleh.” Shafira mengiyakan. Baginya ini kesempatan ia untuk berbaikan dengan teman-temannya.
“Uangnya lo transfer aja ke rekening gue yaa... Ato kalo lo mau bayar langsung di tempat juga boleh.” tawar Nara.
“Okey,” Shafira hanya mengangguk.
“Sip kalo gitu. Acaranya malem minggu jam 8 di cafe young ya, jangan sampe lo gag dateng.” Michael mencoba meyakinkan
“Hem.” Shafira mengangguk sepakat. Ia memang sudah lama tidak nongkrong dengan teman-temannya.
Michael dan teman-temannya pun berlalu pergi. Shafira menoleh ketiga teman se-gengnya dan mereka hanya tersenyum.
“Ke kelas yuk!” ajak Fia yang meraih tangan Shafira.
“Ayuk!” Dengan senang hati ia mengikuti. Di belakangnya ada Ira dan Nara yang mulai berbincang tentang rencana mereka di sabtu malam.
Sepertinya prasangka Shafira tadi salah. Hanya sebuah kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka dan Shafira hanya sedang sensitif saja.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Kristina Situmeang
hati2 dengan teman2mu safira. kayaknya cuma manfaatin aja
2021-11-07
0
Mar doank
Kasihan Safira,gk ada yg tulus berteman dgn Dia.
2021-08-10
1