Keramaian pasar pagi itu cukup hectic. Setiap penjual berlomba menawarkan barang dagangannya, berteriak saling menyahuti.
“Bawang merahnya bu, mumpung lagi murah. Di yang lain mahal.”
“Ikan segar, baru di ambil langsung dari laut. Ikannya neng.” tawar seorang penjual ikan pada Disa.
Disa hanya menggeleng dan mengikuti langkah Meri.
Sudah dua keresek besar yang di bawa Damar di belakang Disa dan Meri. Namun sepertinya apa yang akan mereka beli belum semuanya mereka dapatkan.
“Itu bumbu-bumbu aneh yang ada di buku resep kamu ada di sebelah sana.” tunjuk Meri pada sebuah toko kelontongan.
“Iya tan, ayo kita ke sana.”
Disa dan Meri segera menuju ke tempat tersebut. Damar yang mengikuti dari belakang hanya bisa menggerutu tidak jelas dengan wajah kesalnya. Entah berapa kantong lagi yang harus ia bawa nanti.
“Nih kamu hirup wanginya, tiap bumbu tuh beda wanginya dan ngaruh ke masakan.” Meri menaruh beberapa jenis bumbu di tangan Disa.
“Iya tan.” Disa mulai membaui beragam bumbu yang ada di tangannya. Memang sangat berbeda. Otaknya mulai berputar untuk mengingat wangi dari tiap bumbu yang disodorkan Meri.
“Gaya lo nyiumin bumbu eropa, lengkuas sama jahe udah bisa lo bedain belum bau sama bentuknya?” ledek Damar yang menyandarkan tubuhnya pada tiang toko. Sepertinya ia sudah cukup lelah mengikuti langkah kaki 2 wanita tersebut.
“Tau lah! Nih jahe! Nih lengkuas!” Disa menunjukkan 2 benda tersebut bergantian pada Damar.
“Hafalin yang lain!” cetusnya seraya berlalu.
Disa hanya mendelik kesal sekali lalu kembali membaui bumbu yang di tunjukkan Meri.
Dari kejauhan, Damar memperhatikan Disa dan Meri. Interaksi keduanya terlihat dekat tidak seperti biasanya. Ternyata benar, berbelanja bisa mendekatkan dua orang yang selalu bersi tegang.
Yang lebih di perhatikan Damar adalah Disa. Ia tersenyum sendiri saat mata bulatnya terlihat berbinar di padu dengan senyum manis yang sudah sangat lama tidak ia lihat. Ia mengusap dadanya sendiri yang tiba-tiba berdebar kencang melihat senyum Disa.
Bersyukur Disa masih mempunyai alasan untuk pulang sehingga mereka bisa kembali bertemu. Kedepannya, mungkin Damar yang harus mencari alasan untuk bisa menemui Disa yang tinggal di balik pagar tinggi rumah mewah tersebut.
*****
Usai dengan belanjaannya Disa dan Meri bergegas pulang. Selama dalam perjalanan Meri bercerita banyak tentang pengalamannya memasak. Damar yang melihat dari spion tengah taksi, hanya bisa tersenyum tipis melihat interaksi Disa dan ibunya.
Ternyata, berbelanja ke pasar dan membicarakan masakan bisa jadi pemersatu dua wanita ini. Harusnya sejak dulu Damar mengajak dua wanita itu untuk berbelanja.
“Huuh...” deru Damar setibanya di rumah.
Ia menaruh barang belanjaan di atas meja makan lalu beranjak menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Ia mengipas-ngipasi tubuhnya dengan kaos yang ia gunakan dan sesekali meniupnya.
Wajahnya merah, mungkin karena kepanasan.
“Nih, makasih ya..” Disa menyodori Damar segelas air dingin.
Damar mengambil air yang disodorkan Disa tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi yang menyala. Ia meneguknya hingga tandas.
Disa kembali ke dapur dan mulai menata bahan makanan bersama Meri.
“Tante mandi dulu ya, bau keringet.” ujar Meri yang mencium bau tubuhnya sedikit asam.
“Iya tan.”
Disa kembali duduk di kursi dan mulai menyisihkan beberapa bahan yang akan ia masak.
“Lo jadi koki dadakan di rumah besar itu?” tanya Damar dari tempatnya.
“Gue pelayan di rumah anak tuan besar.” timpal Disa yang mulai mengupasi bawang.
“Kenapa harus kursus masak segala sama nyokap? Lo kan bisa pake pesanan layan antar.”
“Itu namanya mengubur potensi alias males.” timpal Disa. Ia memperhatikan kakak sepupunya yang masih mengganti-ganti saluran televisi yang di tontonnya. “Sejak kapan lo peduli sama yang gue lakuin?” tanyanya kemudian.
Damar hanya berdecik, ia tidak berniat menimpali kalimat Disa. Ia lebih memilih berlalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Disa.
“Sepeda gue bawa ya!!” seru Disa lebih keras.
Damar tidak menyahuti, hanya suara pintu tertutup yang di dengar Disa.
Di balik pintu kamarnya, Damar menyandarkan tubuhnya ke daun pintu. Ia kembali mengingat suara tawa Disa bersama ibunya tadi. Sangat renyah dan membuatnya ikut tersenyum. Namun lagi, ia teringat keadaannya dan Disa saat ini.
“Sa, apa lo lupa mimpi kita untuk jadi pelukis terkenal dan keliling dunia?” gumam Damar seraya memandangi gambar-gambar yang menempel di dindingnya.
Disa yang sangat suka melukis di kanvas dan Damar yang nakal hobi graffiti di dinding polos, menjadi alasan mengapa dulu mereka bisa berteman.
Mereka pernah berjanji, suatu hari mereka akan keliling dunia. Disa melukis berbagai kota dan Damar meninggalkan jejak berkunjungnya dengan membuat grafitti di negara-negara terkenal dan bersejarah.
Tapi sepertinya semuanya memang hanya akan menjadi angan di usia belia. Ia merasa telah kehilangan banyak hal, bahkan mimpi yang dulu ia coba ukir bersama Disa pun, perlahan harus ia lupakan. Mungkin benar bahwa keadaan bisa merubah banyak hal.
Damar mencoba membaringkan tubuhnya di kasur. Ia berusaha memejamkan matanya. Lengan kokohnya ia tempatkan di atas dahi dengan sedikit mengepal. Terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya.
Sayup-sayup, ia mendengar suara Disa dan Meri di dapur. Suaranya terdengar bersahutan dengan bunyi sendok yang terjatuh dan di susul dengan suara blender. Sesekali mereka berbincang dan tertawa.
“Kalo bawang, cara ngirisnya gini. Harus memanjang jadi aromanya akan keluar.” kalimat itu yang terdengar cukup jelas oleh Damar. Suara Meri.
“Kalo jahe, mending di geprek atau ikut di blender tan?”
“Tergantung mau apa yang kamu dapet. Kalo mau dapet aroma doang, kamu geprek cukup tapi kalo mau dapet rasanya, tante saranin sih di blender.”
Mendengar perbincangan dua wanita itu, rasanya Damar ingin kembali bergabung. Memang tidak ikut berbincang namun paling tidak itu lebih baik daripada berdua bersama pikirannya yang tidak menentu.
Ia mengambil gelas dari atas meja kecilnya, lalu pura-pura keluar untuk mengambil air minum. Ia bisa melihat Disa dan Meri yang serius di depan kompor dengan wajan berukuran besar di atasnya. Wangi bumbu mulai menyeruak saat Meri mulai menumisnya.
Damar mengambil air dari dispenser di samping Disa, Disa hanya bergeser dan tetap fokus pada penjelasan tantenya. Damar berdiri di sampingnya dan memperhatikan tangan Disa yang mulai piawai menumis bumbu, melanjutkan pekerjaan Meri yang beralih menjadi tutor Disa.
“Yang dimasukkan pertama apanya tan? Bumbu apa garam dulu?”
“Tante lebih suka bumbu ulek, kalo garem biasanya di tengah-tengah.”
Disa mengangguk-angguk. Damar yang berdiri di sampingnya kembali meneguk air minumnya seraya memperhatikan wajah dan leher Disa yang berkeringat. Mungkin dia kepanasan.
“O iya tan, majikan aku gag suka kalo masakannya di cicipin dulu. Itu gimana kalo keasinan?” Disa tampak mengernyitkan dahinya dan berfikir cukup keras.
“Ya itu cukup sulit kalo buat kamu yang masih belajar. Harus terbiasa dengan penggunaan bumbu. Tapi sebenernya bisa di pelajari.”
Disa dan Meri sama-sama termenung, mereka tampak berfikir keras.
Damar beralih ke kursi meja makan dan duduk di sana seraya memainkan gelas di tangannya.
“Kenapa gag lo bayangin aja kalo bumbu itu cat buat lo ngelukis?” Damar menyumbangkan idenya.
Disa dan Meri sama-sama menoleh laki-laki tersebut. “Maksudnya?” keduanya bertanya bersamaan.
“Woy tenang dong, gitu amat ekspresinya." Damar lebih memilih kembali meneguk minumannya sebelum menjawab pertanyaan dua wanita yang menatapnya dengan tidak sabar.
Berjalan menghampiri Disa dan Meri lalu berdiri di antara keduanya. "Ya maksud gue, coba lo gambarin rasanya lewat warna. Misal nih, garem itu merah, gula itu putih, ya pokoknya kayak lo ngelukis aja gimana. Cat air juga gag lo cicip kan, tapi hasilnya tetep enak diliat. Asal pas aja jumlahnya.” terangnya acuh.
Disa dan Meri saling bertatapan, sepertinya mereka sama-sama berfikir.
“Okey, tante punya ide. Kamu matiin dulu kompornya.” Meri beranjak menuju meja makan dan mengambil 6 buah mangkuk.
Disa mengikuti dan berdiri di samping Meri. Ia memperhatikan Meri yang mulai mengisi mangkuk tersebut dengan air yang jumlahnya sama banyak antara satu mangkuk dengan mangkuk lainnya.
“Okey, tante ngasih garem segini. Gula segini, penyedap rasa segini. Ini rasa sapi dan ini rasa ayam. Coba kamu cicip.”
Disa mengambil mangkuk pertama yang diisi garam oleh Meri. “Asin tan.” keluh Disa seraya menjulurkan lidahnya.
“Dikit aja nyicipnya sa, buat gambarin rasa doang.” Meri segera mengambil mangkuk dari tangan Disa. “Nih minum dulu, biar netral.”
Disa hanya menurut saja dan di sampingnya Damar tampak menahan tawa.
“Lanjut mangkuk yang lain. Inget cicip aja.” Meri menunjuk mangkuk berikutnya.
Disa mencoba mengecap rasa di lidahnya dan mengingatnya baik-baik. Ia lakukan pada rasa selanjutnya dan mengingatnya kembali.
“Kayak permen ya rasanya, nano-nano.” ledek Damar yang terkekeh tidak bisa menyembunyikan tawanya.
“Resek lo!” dengus Disa yang dihadiahi pelototan oleh tantenya. Ya, bagaimana lagi, anak ibu.
“Gimana, kamu udah hafal rasanya?”
“Em, iya tante.” Disa masih mencoba mengecap rasa yang tersisa di mulutnya.
“Okey, sekarang kamu coba bayangin, kuali ini adalah kanvas kamu. Dan semua bumbu ini adalah cat air. Lauknya adalah objek yang mau kamu lukis. Lukislah.” Meri memberikan spatulanya pada Disa.
Disa menarik nafas dalam untuk meyakinkan dirinya. Di hadapan kompor itu ia berdiri. Tangannya menggenggam erat spatula yang diberikan Meri. “Lukislah.” Disa mengutip kata terakhir Meri.
Dengan yakin ia mulai meramu masakannya. Damar dan Meri memperhatikan dari meja makan. Sesekali Meri ingin melarangnya saat Disa nyaris melakukan kesalahan, beruntung masakan yang di buat Disa masih bisa diselamatkan.
4 menu makanan tersaji di depan mata. Disa masih memegangi 1 menu terakhir. Wajahnya terlihat sangat berminyak dengan celemek yang kotor. Ia tersenyum menatap Damar dan Meri bergantian.
“Siap buat menilai?” tanya Disa.
Damar dan Meri mengambil sendok masing-masing. Damar bahkan mengambil nasi. Mereka mulai mencicipi satu per satu masakan Disa.
“Yang ini, kalo majikan kamu gag suka asin, ini terlalu asin buat dia. Yang ini, kurang halus ulekan bumbunya. Yang ini ikannya terlalu kering, ini terlalu banyak kuahnya dan ini yang lumayan enak.” terang Meri mengomentari masakannya.
“Berasa ikut ajang pencarian bakat masak gag sih tan?” tanya Disa dengan senyum terkembang.
“Jangan sok kecakepan ngerasa jadi chef renata.” sindir Damar yang menikmati makanan di hadapannya.
“Bisa lebih garang gag, biar mirip chef juna?” balas Disa yang mendelik.
Meri hanya tersenyum simpul melihat interaksi putra dan keponakannya. Dan Damar yang selalu kalah kalau berbalas kata. Ia kembali menikmati makanannya dengan tatapan tajam dari Disa, menunggu review yang ingin ia dengar.
Tapi paling tidak, ini adalah hari paling hangat di rumah yang tidak terlalu luas ini. Dan bersyukurlah, nanti mereka bisa makan malam dengan menu spesial yang jarang mereka temui.
****
Bagian tidak menyenangkan setelah memasak adalah membersihkan peralatan masak yang berantakan. Disa masih membersihkan sampah bekas bahan masakan sementara Damar membantu mencuci piring. Sangat langka Damar terlibat dalam urusan dapur mengingat ia lebih suka menonton serial kartun favoritnya di banding terlibat dalam urusan dapur.
Meri masih menemui tamu yang tengah memesan cathering untuk acara syukuran saat Disa hanya berdua saja di dapur dengan kakak sepupu tirinya.
"Kak, bisa tolong geser tempat sampahnya ke sini." menunjuk tempat sampah yang berada di kolong wastafel.
Damar mengikuti saja permintaan Disa dan mendorong tempat sampah mendekati adiknya.
"Lo di kasih libur kerja di tempat lo sekarang?" bertanya tapi tangannya masih sibuk dengan piring yang tengah ia cuci.
"Dapet. Sebulan dapet 2 hari." menyodorkan piring lainnya pada Damar.
"Terus liburan maau kemana?"
"Mau ke bandung, nemuin nenek. Kakak mau ikut?"
Damar menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh Disa yang tengah mengotaki sisa bawang yang sudah ia kupas.
"Gue gag yakin nenek masih inget sama gue." sedikit termenung, mengingat hanya dua atau tiga kali ia pernah bertemu dengan nenek sambungnya.
"Pasti ingetlah. Nenek pasti bilang, si kasep, si bageur, mirip artis." cetus Disa yang terkekeh di ujung kalimatnya.
"Lo ngeledek gue?" Damar mengusapkan busa sabun di tangannya ke pipi Disa.
"Ish kak damar, iseng banget sih lo!" segera mengusap pipinya dengan bahu kanannya. "Itu kotor tau!" mendelik dengan kesal.
"Biasanya lo santai ajaa cemong sama cat air." mencuci tangannya lalu mengusap pipi Disa untuk ia bersihkan. Dengan segera Disa menahan tangan Damar.
"Gue bisa sendiri." dengusnya dengan kesal.
Damar tersenyum samar seraya memandangi tangannya yang di kibaskan Disa. Padahal dulu Disa tidak pernah protes saat Damar mencubit dengan gemas pipinya yang memerah alami. Kalau pun protes, hanya berupa rajukan manja yang membuat Damar semakin gemas.
Melihat Damar terdiam, Disa pun menoleh. Laki-laki di sampingnya masih memandangi tangannya yang di kibaskan Disa.
"Gue bukan anak kecil lagi. Lap gini doang mah gue juga bisa." seolah menegaskan kalau ia tidak bermaksud kasar pada Damar.
"Anak kecil lah, kalo masih nangis sendirian di pojokan." Damar mulai menggoda Disa. Entah mengapa rasa canggung itu menghilang begitu saja.
"Lo tau kalo gue suka nangis di pojokan?" menghentikan aktivitasnya dan lebih memilih menoleh Damar.
"Tau lah!"
Menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Iya, lo tau tapi lo gag peduli." refleks kalimat itu terlontar dari mulut Disa.
"Kata siapa gue gag peduli?" Damar balas menatap Disa yang tampak tercengang.
"Kata gue lah! Lo bahkan gag pernah bertanya kabar gue, apa gue baik-baik aja atau bertanya hal remeh temeh yang sebenernya gag perlu tapi itu nunjukin kalo lo peduli." seperti ada jalan bagi Disa untuk meluapkan perasaannya selama ini.
"Lo asing buat gue kak. Dan sebagai kakak gue, gue gag minta lo untuk memberi perhatian lebih sama gue sebagai sodara. Gue cuma mau lo balikin damong, sahabat gue." lanjut Disa tanpa mengalihkan pandangannya dari Damar.
Mendengar kalimat Disa, rasanya pita suara Damar tercekat. Tidak terpikir olehnya kalau hari ini akan tiba, hari dimana Disa mempertanyakan sikapnya selama ini.
"Udah selesai?" suara Meri yang riang menjeda perbincangan kakak beradik tersebut.
Melihat Disa dan Damar yang hanya terpaku, Meri memilih duduk dikursinya dan mengeluarkan uang DP yang tadi di berikan oleh pelanggannya.
"Tante dapet orderan cathering, alhamdulillah..." ungkap Meri dengan senyum terkembang.
"Alhamdulillah..." Disa ikut mengucap syukur. Namun Damar masih di tempatnya tanpa berkomentar. Ia lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya untuk mencuci piring.
************
Yuhuuu cukup panjang nih. Cuma mau ngingetin, jangan lupa like, comment dan vote-nya yaa,,hehehe....
Terima kasih dan selamat membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Ikha Ranni
bagus banget ceritanya dan penulisannya Thor.. aku pada mu Thor..💝
2023-09-02
1
abdan syakura
aduhduhduh.....
kena Lo Damar!!!
Tp... akankah cintamu terbalaskan?
2023-01-29
0
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
boleh request gak thor, damar ma disa aja, hati aku tuh suka lemah kalo liat cinta terpendam gini...
2023-01-24
1