“Lo kenapa murung gitu?” tanya Eko saat melihat Damar yang tampak sibuk memutar-mutar benda pipih di tangannya.
Damar masih tidak menjawab, sepertinya ia sedang melamun atau memikirkan sesuatu yang berat.
“Eh, disa!” seru Eko yang melihat ke jalanan.
Dengan segera Damar berdiri begitu mendengar nama gadis yang sedang dipikirkannya di sebut Eko. Ia celingukan melihat ke jalanan yang sedang di guyur hujan. Tapi tidak ada bayagan Disa di sana.
“Anj*ng lo!” seru Damar dengan kesal. Yang di maki tertawa puas karena berhasil mengerjai sahabatnya. Ia tertawa terpingkal-pingkal di atas sofa. “Berisik lo anj*ng!” Damar melemparkan sandal jepitnya pada Eko tapi tidak lantas membuat Eko menghentikan tawanya.
Damar hanya mendelik kesal kemudian mengambil minuman soda di dalam kulkas dan meneguknya hingga nyaris habis.
“Lo mikirin disa ya?” ledek Eko seraya menepuk bahu Damar.
Dengan cepat Damar mengibaskan tangan Eko dari bahunya. “Candaan lo gag asyik nying.” Timpalnya yang kembali duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya.
Eko kembali menghampiri Damar dan duduk bersisihan. “Lo kalo kepikiran dia, lo telpon duluan lah. Jangan gengsi doang yang lo gedein.”
Mendengar kalimat Eko, Damar hanya menoleh lalu kembali memejamkan matanya dengan tangan terlipat di depan dada.
“Disa tuh cantik, kulitnya kuning langsat, badannya bagus, pipinya ada lesung pipitnya. Kadang gue gemes pengen gigit bibir tipis dia kalo lagi manyun gara-gara lo kerjain.” Lanjut Eko seraya memandangi wajah Disa di akun media sosialnya. Ia mengusap wajah yang tampak sendu itu dengan ibu jarinya.
Damar sedikit membuka matanya. Ia bisa melihat foto Disa saat sedang bekerja di salah satu arena permainan dan berfoto bersama teman-temannya.
“Unfollow!” seru Damar tiba-tiba.
“Siapa? Disa? Kagak lah! Update-an dia yang gue tunggu tiap hari.”
“Mana ada dia update tiap hari. Sebulan sekali juga kagak. Rajin bener dia ke warnet tiap hari cuma buat update foto atau status.” Cibir Damar dengan santainya.
Disa memang tidak memiliki ponsel canggih jaman sekarang. Pernah ia memiliki smartphone dengan merk yang cukup terkenal, tapi sepertinya hanya bertahan sekitar 2 bulan setelah itu sudah pasti kalau tidak berakhir di pegadaian maka akan berakhir di etalase ponsel second.
“Lo kayaknya tau banget kebiasaan dia?” Eko semakin mendekat pada Damar.
Damar hanya tersenyum tipis. Baginya, tidak ada yang tidak ia tahu tentang Disa. Mulai dari cara jalannya, cara bicaranya, cara dia marah atau saat dia sedang makan. Semuanya terrekam jelas di ingatan Damar.
“Dia udah pernah punya pacar gag sih? Ato lo tau gag cowok yang pernah deketin dia, terus pernah ngambil sesuatu gitu dari dia,..” Eko tidak berhenti bertanya seraya mengerucutkan bibirnya.
“Jijik lo anjir!” Damar mendorong wajah Eko menjauh membuat Eko kembali terkekeh dengan renyah. Ia sangat suka mengerjain sahabatnya yang gengsian dan muna ini, menurutnya.
“Jangan bilang lo pernah,...” goda Eko seraya mengarahkan telunjuknya pada Damar.
Damar tersenyum samar. Ingatannya membawa ia mengingat saat pertama kali Disa tinggal di rumahnya. Saat itu Disa mandi di kamar mandi milik Damar karena kamarnya belum memiliki kamar mandi sendiri. Siapa sangka Disa lupa membawa baju ganti, alhasil ia memakai selimut Damar saat keluar dari kamarnya. Damar yang melihat kejadian itu hanya bisa menelan ludahnya kasar. Ia bisa melihat tubuh Disa dengan bagian atas dan bawah tubuhnya yang terbuka dan agak basah. Sungguh imajinasinya mulai traveling kemana-mana.
“Lo apain si disa hah?!” seru Eko membuyarkan lamunan Damar.
“Anjrit lo!” teriak Damar yang terperanjat.
Eko benar-benar menghancurkan fantasinya. Ia semakin kaget saat ponselnya berbunyi dan ada sebuah pesan masuk.
“Disa SMS gue!” serunya seraya menunjukkan layar ponselnya pada Eko.
“Ya baca begok!” Eko mentoyor kepala sahabatnya membuat Damar tersadar seketika.
Damar segera membuka pesan yang di kirim Disa. “Kak, tante gimana kabarnya, kok gue telpon gag di jawab ya? Dia sehat kan?” begitu bunyi pesan yang di kirim Disa.
Damar melempar ponselnya dengan malas seraya memijat pangkal hidungnya yang berdenyut pusing.
Eko segera mengambil ponsel Damar dan membaca pesan yang di kirim Disa.
“Anjiirrr lo pasti nyangka dia bakal nge-sms lo dan nanyain kabar lo ya? Hahahahay... Patah hati lo bro?!” ledek Eko.
“Berisik lo!” dengus Damar seraya merebut ponselnya dari tangan Eko.
Ia berjalan menjauh dari Eko kemudian menyadar pada dinding seraya memandangi rinai hujan yang seolah makin menambah rasa rindunya pada Disa. Ia memandangi pesan yang dikirim Disa dan bibirnya tampak tersenyum.
Damar memang kecewa karena bukan kabarnya yang ditanyakan Disa tapi ia pun senang, karena Disa masih sangat peduli pada ibunya yang begitu keras pada Disa.
“Gag usah malu. Bilang kangen duluan gag nurunin harga diri lo.,,,” ledek Eko seraya berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Damar tidak menimpalinya tapi sepertinya ia memikirkannya.
Sejak kepergian Disa, hari-harinya terasa sepi. Sering kali ia masuk ke kamar Disa dan berbaring di atas tempat tidurnya. Wangi bantal khas Disa, guling yang biasa Disa pakai dan selimut tipis yang digunakan untuk menyelimuti tubuh kurus Disa.
Damar sangat menyukai wanginya dan terkadang ia tertidur di kamar Disa berharap sekali saja Disa mampir ke mimpinya.
Sayangnya, semua hanya harapan Damar. Tidak sekalipun Disa hadir di mimpinya. Timbul rasa sesal di hati Damar, harusnya ia tidak sekasar itu pada Disa dahulu. Bukankah pernikahan Meri dan Sugih juga membawa kebahagiaan bagi Disa dan Meri?
Atau hanya dia sendiri yang merasa kecewa?
*****
Di tempatnya, Disa sedang memandangi layar ponselnya seraya menggigiti sendok yang ia gunakan untuk makan. Dalam ingatannya, makanan yang tengah ia santap ini adalah makanan favorit Meri.
Ya, ayam rica-rica. Menu makan malam yang tidak di nikmati oleh tuan dan nyonya rumahnya.
Sudah menjadi hal biasa, masakan yang di buat oleh pelayan khusus ini tidak pernah habis di santap oleh tuan dan nyonya rumahnya.
Bayangkan saja, ada lebih dari 8 menu yang tersaji di meja makan dan perut mereka seluas apa sih hingga mampu menampung makanan sebanyak ini?
Dan rejeki untuk ia dan teman-temannya, menikmati makan malam yang enak ini.
“Tan, lagi ngapain? Udah makan?” Disa mengetik pesan yang ia kirim pada Meri. Sudah cukup lama ia tidak berkirim pesan dengan tantenya.
Disa tersenyum tipis dan kembali menaruh ponselnya di atas meja. Ia menunggu Meri membalasnya.
“Hayooo sms siapa sa?” Tina membuyarkan lamunan Disa.
“Tanteku na,..” begitu sahutan Disa.
Tina tampak membulatkan mulutnya membentuk huruf O tanpa suara. Duduk di hadapan Disa dan kembali menikmati makan malamnya.
“Ting!” suara pesan masuk dan Disa mulai membacanya. “Ibu udah tidur, lo pikir ini jam berapa masih nanyain makan?!”
Disa menghela nafasnya dalam, pastilah Damar yang membalas pesannya. Tadi di SMS ke nomornya tidak membalas, giliran kirim pesan ke tantenya, malah Damar yang membalas. Ah sudahlah, mungkin pulsanya habis.
Melihat jam yang ada di ponselnya, Disa baru sadar, memang cukup malam untuk sekedar menanyakan makan malam.
Disa dan teman-temannya memang terbiasa makan malam jam segini. Setelah semua pekerjaan beres dan sebelum tidur. Bersiap saja, beberapa hari ke depan mungkin bobot tubuhnya akan bertambah, namun semoga saja tidak ada penyakit yang ikut masuk ke tubuhnya.
“Tante apa kabar kak?” balas Disa.
“Baik. Lo apa kabar? Betah kerja di situ?”
“Gue baik. Alhamdulillah betah. Di sini gue punya banyak temen. Lo apa kabar?”
Disa kembali menaruh ponselnya karena kali ini Kinar yang menatapnya dengan sinis karena Disa terus bermain dengan ponselnya.
Seperti anak kecil yang takut di marahi ibunya, Disa segera membenamkan ponselnya di saku rok, dengan takut-takut ia menatap Kinar. “Maaf bu,..” lirihnya.
Kinar tidak menanggapinya dan kembali menikmati makan malamnya.
Di tempat lain, Damar tengah membaringkan tubuhnya seraya memandangi layar ponsel ibunya yang tertinggal di atas televisi. Ia mengeja setiap suku kata yang di kirim Disa dan berulang melihatnya dari atas lalu ke bawah.
“Lo apa kabar?” gumam Damar mengulang pertanyaan yang di tanyakan Disa.
Bibirnya mengulum senyum membayangkan bibir mungil Disa mengatakan kalimat itu.
Kenapa ia harus tersenyum dan kenapa ia harus membayangkan Disa ada di hadapannya dan tengah tersenyum padanya?
Entahlah, ia tidak bisa mengingat persis kapan terakhir kali Disa tersenyum padanya. Senyuman yang tulus seperti saat mereka SMP dulu.
Kembali tergambar dalam pikiran Damar saat ia dan Disa pergi untuk camping bersama teman-teman satu kelompok ekstrakulikulernya. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah sungai dan berjalan di atas bebatuan yang cukup licin.
“Damong, lo yang bikinin tenda gue ya nanti gue yang masakin mie buat lo.” seru Disa yang tengah mengatur keseimbangan berjalan di atas batu. Dan Damong adalah nama panggilan yang Disa berikan pada Damar.
“Iya, tendanya deket gue ya, biar bisa ngobrol.”
“Iya, lo yang atur.” timpal Disa dengan segaris senyum senang karena tidak harus membangun tenda sendiri. Dan Damar sangat menyukai senyuman itu.
Di tempat camping, Damar membangun tendanya bersisihan dengan Disa. Ia menyalakan senternya lalu mengarahkannya ke dinding tenda untuk mencari tahu apakah Disa sudah tertidur atau belum. Disa membalas cahaya senternya dan membuat Damar tersenyum senang.
Ia membaringkan tubuhnya lalu menyetuh dinding tenda yang cukup tipis.
“Lo belum tidur?” tanya Damar yang masih bisa di dengar Disa.
“Belom, perut gue sakit.” keluh Disa dengan sedikit ringisan.
“Kenapa, lo salah makan?” Damar sepertinya cemas.
“Bukan, ini hari pertama gue dapet.”
“Oooh.. Tapi tumben lo gag resek?”
“Karena tepat waktu kali. Kalo telat biasanya baru mood gue berantakan.”
Damar terangguk paham. “Mau gue bikinin minuman anget?”
“Hem, boleh...”
Dengan semangat Damar keluar dari tenda dan membuatkan minuman hangat untuk Disa. Ramuan jahe dan kayu manis yang biasanya diminum Disa untuk menghilangkan rasa sakit perutnya.
"Disa, jahe lo.." Damar kembali mengarahkan senternya ke pintu masuk tenda Disa.
"Hem,.." Disa beranjak dari tempatnya. Menggulung tubuhnya dengan selimut lalu keluar menemui Damar.
Terlihat asap mengepul dari cangkir besi yang dipegang Damar. "Nih." Damar menyodorkannya.
"Makasih mong." Meraih cangkir itu lalu menyesap wangi hangat yang mengisi rongga hidungnya.
"Duduk di sana yuk, sambil lihat bintang." Menunjuk api unggun yang belum padam.
"Yuk!"
Mereka berjalan bersama menuju tepian api unggun membuat tubuh keduanya terasa mulai hangat. Damar menambahkan kayu bakar sementara Disa asyik menikmati minuman hangatnya.
"Aahh..." suara menggemaskan itu berulang kali Damar dengar dari mulut Disa dan membuatnya ikut tersenyum.
"Enak banget?" Damar penasaran.
"Banget! Mau coba?" menyodorkan cangkirnya pada Damar seolah mengharuskan Damar meminumnya. "Gag pait kok." Disa berusaha meyakinkan.
Dengan takut-takut Damar meninum minuman yang dinikmati Disa tanpa mengalihkan pandangannya dari mata bulat yang menatapnya.
Satu tegukan masuk ke mulutnya, Disa terkekeh sendiri melihat ekspresi wajah Damar. Sepertinya minuman hangat yang di buatnya agak pedas karena terlalu banyak jahe.
"Sa, kenapa lo gag protes kalo minumannya pedes gini?" Menjulurkan lidahnya yang kepedesan.
"Gue suka, kenapa harus protes?" kembali meneguk minumannya.
Damar hanya tersenyum melihat ekspresi Disa yang akhirnya tetap menjulurkan lidah saat minumannya habis. Sangat menggemaskan.
Mengingat kejadian itu, Damar kembali tersenyum sendiri. “Sekarang siapa yang bikinin lo minuman anget sa?” gumamnya dengan bayangan wajah Disa di pelupuk matanya.
Mungkin ia harus mengakui, kalau saat ini ia merindukan sosok sahabatnya, bukan adik sepupu tirinya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Kristina Situmeang
dengan kenangan seindah itu,sayang sekali rusak karena kadih tak sampai
2021-11-07
1
Hesti Ariani
manis sekali panggilan disa ke damar😊
2021-08-03
1
Chybie Abi MoetZiy
hmm... damar sebenernya baik ya ke disa.. cuman terlalu kecewa dengan status mereka skrng sepupuan... cup cup cup, damong.!!! jan sedih.
2021-07-09
2