“Disa... syukurlaahh... Kamu menyelamatkanku...” ujar Nina seraya memeluk Disa dengan erat.
Ia sangat bersyukur akhirnya nona mudanya bisa berangkat ke sekolah tanpa membuat keributan yang lebih dahsyat. Kalau saja ia tidak teledor, mungkin ia tidak akan menjadi penyebab kemarahan non mudanya.
“Iya, syukurlah masalahnya tidak berkepanjangan.” Ungkap Disa yang juga ikut merasa lega.
“Kamu harus lebih memperhatikan pekerjaanmu nina, jangan bodoh dan gegabah seperti tadi.” Kinar yang melihat Nina tersenyum tenang kembali membuat wajah gadis itu menegang seketika.
Tatapan Kinar masih dingin bercampur kekesalan atas masalah yang di buat bawahannya.
“Baik bu saya minta maaf. Saya janji ke depannya akan lebih hati-hati dan mohon jangan pecat saya.” Nina menghiba di hadapan Kinar.
“Soal pemecatan, saya tidak yakin.” Timpal Kinar seraya menatap Nina dengan tajam. "Kita lihat seberapa beruntung kamu kali ini." seperti ada ancaman yang terselip dari kata-kata Kinar dan membuat Nina bergidik. Ia menoleh Disa dengan wajah memelasnya, Disa hanya menggeleng tidak tahu harus berbuat apa.
Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Perhatian para pelayan tertuju pada pintu masuk dapur dengan bayang laki-laki yang semakin mendekat.
“Selamat pagi pak marwan...” sapa Kinar saat melihat sosok yang sempat membuat jantungnya gugup tidak karuan. Mereka berfikir mungkin tuan besar mendengar kegaduhan mereka.
“Selamat pagi. Tuan besar memintamu untuk ke ruang kerjanya.” Tutur Marwan seraya melirik Nina dan Disa.
“Baik pak, saya akan segera menemui tuan besar.” Sahut Kinar seraya mengangguk.
Marwan tidak menimpali, ia segera berlalu untuk menemui tuan besarnya lebih dulu.
“Bu, apa saya akan di pecat?” suara Nina yang pertama terdengar setelah Marwan berlalu.
Kinar tidak menjawab sedikit pun, ia hanya menghembuskan nafasnya kasar seraya menatap Nina dengan kesal. Jika Nina sampai di pecat, ia akan semakin pusing untuk mencari pelayan baru yang belum tentu lebih baik dari Nina. Kinar pun pergi, dengan perasaan tidak tenang yang nyaris sama di rasakan oleh Nina.
“Disa, gimana kalo aku di pecat? Aku sudah bekerja 2 tahun di sini dan kondisi ekonomi keluargaku membaik, kalau sampai aku di pecat, aku harus gimana?” Nina sudah tidak bisa lagi menahan laju air matanya.
“Tenang nina, semoga semuanya baik-baik saja...” Disa mengusap punggung Nina yang tersedu di hadapannya.
“Iya, mudah-mudah bukan pemecatan, cuma pengurangan gaji aja kayak biasanya.” Timpal Tina yang ikut mendekat.
Tangis Nina semakin pecah. “Kalau gajiku di potong lagi, gimana aku bayar cicilan handphoneku yang baru 4 bulan?” ungkapnya dengan sedih.
Tidak ada satu pun yang menimpali. Masing-masing dengan pikirannya yang tidak bisa menenangkan Nina. Mungkin memang sebaiknya mereka membiarkan dulu Nina menangis hingga puas.
****
“.....Heal the world, Make it a better place. For you and for me, and the entire human race. There are people dying. If you care enough for the living. Make a better place for you and for me,.....”
Bait ini menjadi bait terakhir yang dinyanyikan Shafira bersama teman-temannya. Shafira dengan suara indahnya, berdiri di jajaran paling depan dan central. Ia terlihat manis dengan seragam paduan suara yang dikenakannya.
Para guru dan dewan sekolah serta teman-temannya memberikan tepuk tangan yang gemuruh saat part melodi terakhir rampung mereka nyanyikan. Mereka membungkukkan tubuhnya memberi tanda hormat sebelum turun dari panggung aula sekolah tempat mereka tampil.
Shafira bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Sekolah yang tidak hanya mengadu kemampuan kognitif tapi juga kekayaan para orang tuanya. Sistem kasta seolah berlaku di sekolah ini. Ia adalah salah satu putri konglomerat yang banyak mencuri perhatian guru dan teman-temannya. Bukan karena prestasi akademiknya yang gemilang melainkan karena penampilannya yang serba branded dan modern, juga suaranya yang memang patut di puji.
“Syukurlah, semua berjalan lancar. Kepala sekolah sangat bangga dengan penampilan kalian.” Puji guru seni musiknya seraya mengusap bahu Shafira.
"Yeaayy syukurlah..." seru Shafira dan teman-temannya.
Mereka terlihat lega bisa menyelesaikan salah satu tugasnya dalam acara yang di adakan sekolah.
Di sekolah ini memang sering diadakan kegiatan di luar pembelajaran dan melibatkan banyak tetamu dari berbagai kalangan. Seperti saat ini, sekolah Shafira mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana dan penampilan paduan suara seolah menjadi hal wajib di setiap kegiatan seperti ini.
“Ya udah, kalian istirahat dulu. Nanti tampil lagi setelah closing kepala sekolah. Shafira, good job!” Tukas Andini, guru seni musik Shafira. Ia mengacungkan jempolnya pada Shafira yang berperan sebagai tokoh central dalam paduan suara mereka.
“Iya bu,..” sahut Shafira dengan senyum terkembang.
Hanya dalam bidang ini Shafira bisa mendapatkan pujian gemilang, hal lainnya sepertinya ia harus menyerah.
“Ke kantin yuk fir,..”ajak temannya Diana.
“Ayok. Tapi gue ke kelas dulu, ada yang ketinggalan.”
“Ya udah, gue tunggu di sana ya. Mau gue pesenin sekalian gag?”
“Boleh, kayak biasa ya.”
“Siap!” seru Diana seraya melakukan hormat singkat pada Shafira.
Shafira hanya tersenyum kemudian berlalu menuju kelasnya. Ia melewati koridor kelas-kelas dan tangannya yang iseng sembari mengusap dinding yang ia lewati. Shafira memang seperti ini, ia tidak bisa berjalan tanpa menyentuh benda di sekitarnya.
“Astaga!” seru Shafira saat tiba di mulut kelasnya.
Ia hampir bertabrakan dengan teman sekelasnya Malvin. Malvin adalah salah satu anggota paduan suara yang piawai memainkan piano. Sikapnya yang dingin, membuat Shafira tertarik sejak mereka berada di kelas yang sama. Mungkin Malvin mewakili kasta minoritas di sekolah ini. Ia masuk ke sekolah ini bukan karena kekayaan milik orang tuanya, melainkan karena kecerdasannya dan bakat bermusiknya.
Tidak banyak hal yang Shafira tahu tentang Malvin karena sosoknya yang misterius dan jarang berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Namun mendengar suaranya saja, kadang membuat Shafira refleks menoleh pada laki-laki bermata tajam tersebut.
Seperti saat ini, jantung Shafira nyaris copot, bukan hanya karena kaget tiba-tiba bertemu Malvin di mulut kelas tapi karena melihat sorot mata dingin yang terasa menusuk jantung Shafira. Tapi ekspresi Malvin masih tetap dengan wajah datarnya tanpa terkejut sedikit pun.
Hal klasik terjadi, saat Shafira memilih ke kiri, Malvin pun memilih arah yang sama. Saat bergerak ke kanan, kembali bersamaan dengan langkah Malvin.
Malvin menghentikan langkahnya, “Kamu mau lewat mana?” sela bibir itu mengeluarkan suara yang membuat jantung Shafira berdenyut ngilu. Dan tatapannya yang tajam, membuat Shafira tergagap hanya untuk sekedar memilih kiri atau kanan.
“Ki, ri.” Ujarnya yang malah bergerak ke kanan.
Malvin hanya menggeleng. Lihatlah gadis bermata bulat ini bahkan tidak bisa membedakan mana kiri dan mana kanan.
Malvin menyentuh kedua bahu Shafira membuat pandangan mereka bertemu dengan jarak yang cukup dekat. Untuk beberapa saat Shafira menahan nafasnya dengan bibir terkulum. Tak lama Malvin menggeser tubuh semampai itu ke arah yang di maksud Shafira dan ia pun berlalu begitu saja dari hadapan Shafira.
“Fiuhh.....” Shafira menghela nafasnya lega.
Ia menyentuh dadanya yang berdebar sangat kencang. Gila, sebesar ini damage dari seorang siswa terpandai di kelasnya. Dingin, tenang, misterius dan menggetarkan.
“Astaga, gue bisa pingsan.” Gumam Shafira seraya bersandar pada dinding untuk menenangkan dirinya sendiri.
******
Menunggu pakaian yang di cucinya kering, Disa kembali ke kamarnya dan mengambil ponsel jadul miliknya. Selama beberapa hari ini, ia memang belum sempat berbagi kabar dengan Meri tapi sepertinya tantenya baik-baik saja karena tidak ada satu pun pesan atau panggilan yang masuk ke ponselnya.
Disa berniat menghubungi seseorang yang sangat di rindukannya. Adalah Jenar, keluarga satu-satunya yang masih hidup di kampung halamannya. Jenar adalah ibu dari mendiang ayahnya yang saat ini tinggal bersama keponakannya.
Benda berukuran 105 x 44 x 20 mm dengan nada dering monophonic dan layar hitam putih itu mulai menyala menghibarkan cahaya putih yang menerpa wajah manis Disa. Ia mencari nomor Bi Imas, kerabat yang tinggal bersama Jenar dan dalam beberapa saat panggilan pun tersambung.
“Halo, siapa ini?” suara Jenar terdengar jelas dari sebrang sana, malah sangat keras.
“Halo nek, ini Disa..” sahut Disa dengan senyum terkembang di bibirnya.
“Oh astaga, ini si eneng, disa.” Ujar Jenar, mungkin pada kerabatnya.
“Ya udah, nenek ngomong. Tanya gimana kabarnya.” Suara lain terdengar jelas di telinga Disa dan membuatnya kembali tersenyum.
“Neng, gimana kabarmu nak? Apa kamu sehat? Udah makan apa belum?” pertanyaan beruntutan terdengar begitu jelas dari mulut Jenar. Suaranya sedikit bergetar mungkin karena usianya yang sudah sepuh.
“Disa udah makan nek, Disa juga sehat-sehat aja. Nenek gimana kabarnya?”
“Nenek baik. Uang yang kamu kirim nenek pake buat beli obat gosok. Akhir-akhir ini kaki nenek lebih sering sakit.” Ungkap Jenar seraya mengurut sepasang kaki yang sudah tidak sekokoh dulu.
Disa terdiam beberapa saat, rupanya Jenar masih menyimpan uang yang ia kirim beberapa bulan lalu. Apa mungkin ia sengaja menyimpan uangnya agar tidak merepotkan Disa.
“Maaf ya nek, Disa belum bisa ngirim uang lagi. Bulan depan insya allah Disa kirim lagi sama baju buat nenek.”
“Iyaaa... Terima kasih. Yang penting kamu sehat-sehat, jaga diri baik-baik. Nenek di sini baik-baik aja.” Ungkap Jenar dengan tulus. Sangat menyentuh hati Disa.
Disa membayangkan wajah Jenar yang sudah mulai keriput itu tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca. Wajah yang sangat ia rindukan. Mungkin saat ini sang nenek tengah mengusap air matanya dengan ujung baju kebayanya seperti yang biasa ia lakukan.
Disa mencoba menahan tangisnya, ia tidak mau membuat wanita yang begitu di sayanginya merasa sedih.
“Ya udah, Disa kerja dulu ya nek. Kalo libur Disa usahakan pulang jenguk nenek.” Ungkapnya seraya mengusap air mata yang menetes di pipinya.
“Iya nak. “ Jenar menutup panggilannya entah itu sengaja atau tidak. Nyatanya mendengar suara Jenar tidak cukup menghapus kerinduannya selama ini.
Disa menyandarkan tubuhnya di dinding dan masih memandangi ponselnya yang ia genggam dengan erat. Semoga saja hari berlalu dengan cepat sehingga Disa bisa mendapatkan libur dan pulang menemui neneknya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
sangke123
bahasanya apik ga grasak grusuk....kok baru nemu ya novelnya
2022-05-11
0
Dania esem
keren ...nggak bikin bosen 👍
2021-12-14
0
Kristina Situmeang
lagi nunggu yg bikin greget yg terjadi di rumah majikan baru disa
2021-11-07
0