“Gimana, udah selesai?” tanya Reza pada sahabatnya yang tidak lain adalah Kean.
“Hem, baru selesai.” Kean menutup laptop yang ia gunakan untuk video confrence.
Setelah mengalami kejadian mengesalkan tadi, Kean memilih untuk mampir ke studio musik milik sahabatnya, Reza. Ia tidak mungkin menemui kliennya dengan kondisi bau amis seperti tadi. Dan di studio musik inilah ia melakukan meeting singkatnya dengan klien secara virtual.
“Gimana ceritanya lo bisa mandi telor kayak tadi.” Tanya Reza seraya menyodorkan segelas kopi pada Kean. Wangi kopi hitam yang diseduh dengan suhu air yang pas membuat wanginya memenuhi ruangan dan sangat enak saat dihirup.
Kean terlihat menghembuskan nafasnya kasar sesaat sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya. Menyeruput kopinya sedikit karena ia memang membutuhkan sedikit kafein untuk mereleks-kan otot sarafnya yang tegang.
“Gue gag sengaja nyerempet orang yang bawa belanjaan telor.” Ingatan Kean kembali memutar pertemuannya dengan Disa.
“Tapi, dia gag pa-pa kan?” tanya Reza dengan cepat. Ia duduk di samping sahabatnya dengan kaki kanan tersilang di atas kaki kiri.
Kean mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Reza. “Lo bukannya nanya kondisi gue, malah nanya kondisi cewek itu.” Protes Kean sekali lalu kembali menyesap kopi hangat di tangannya lalu menaruhnya di atas meja. Wajahnya kembali terlihat kesal, sepertinya pertemuan itu memang tidak biasa.
“Hahhaha.. Ya lo kan gue liat baik-baik aja. Yang gag gue tau kondisi orang itu. Eh bentar, lo bilang tadi cewek?” Reza mengganti poros pertanyaannya.
Kean terangguk. “Cewek galak dan liar. Harga dirinya juga selangit!” ungkap Kean yang membayangkan wajah Disa di pelupuk matanya. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dengan pikiran menerawang.
Ia masih mengingat sepasang mata yang menatapnya dengan tajam dan penuh kemarahan. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Biasanya wanita yang bertemu dengannya akan langsung berubah manis dengan tatapan sendu dan penuh kekaguman begitu melihat wajah tampannya. Tapi gadis itu berbeda dan cukup mengusik pikirannya.
“Lo kepikiran dia ya? Hati-hati, di banyak drama romance, biasanya pasangan jatuh cinta karena sebelumnya tabrakan.” Ledek Reza seraya terkekeh. Wajah dingin Kean selalu bisa ia tebak, tentu saja mereka sudah bersahabat belasan tahun hingga perubahan ekspresi masing-masing pun cukup mereka kenali.
“Ck, ada-ada aja lo! Mana ada gue jatuh cinta sama cewek model begitu." bibirnya menyunggingkan senyuman sarkas. "Dan lo tau men, dia nyumpahin gue impoten segala coba. Belum aja gue bikin dia bunting!” gerutu Kean yang membuat Reza tergelak.
“Hahhahaha.. Gila, lo di sumpahin impoten sama tuh cewek? Berani banget!”
“Iya, makanya gue bilang dia liar.”
“Tapi cakep gag?” Reza semakin antusias. Menggoda Kean dengan bertanya tentang lawan jenis, selalu cukup menghiburnya.
Kali ini Kean menatap Reza dengan laman. Sepertinya ia berusaha mengingat wajah Disa. “Cewek kampung.” Sahutnya dengan senyum tipis di bibirnya.
Reza hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban sahabatnya. Ia tahu benar selera Kean yang tinggi terhadap seorang wanita. Tinggi, putih, seksi dan dari kalangan berkelas. Seperti itu biasanya wanita yang dekat dengannya.
Sayangnya tidak pernah ada yang bertahan lebih dari 3 bulan sebagai pacarnya. Reza tahu benar sahabatnya yang selektif memilih pasangan. Walau pun jarang memiliki pasangan dan di kejar banyak perempuan, sepertinya Kean tetap terlihat tenang. Ia malah lebih senang membahas satu wanita yang paling dia cintai, yaitu wanita yang ia tinggalkan di negeri orang sana.
*****
Pulang dari rumah Lita, Disa mampir ke tempat penggadaian barang di ujung jalan rumahnya. Ia berniat menggadaikan sementara kalungnya untuk mengganti uang Meri dan biaya hidupnya sebelum ia mendapat gaji dari tempat kerja barunya.
Ya, beberapa saat lalu, Rani mengatakan bahwa ia sudah menawarkan Disa untuk menggantikannya di tempat kerjanya yang baru. Banyak sekali pesan yang dititipkan Rani jika kelak ia bekerja di keluarga konglomerat tersebut.
“Disa, gajinya lumayan lah tapi nyonya di sini tuh bawel dan anak perempuannya rewel. Lo harus ekstra sabar. Terus tuan besarnya galak banget, tadi siang aja dia baru ngusir anak pertamanya keluar dari rumah. Pokonya lo kuat-kuatin deh ngadepin perang badar hampir setiap hari di rumah ini. Dan yang terpenting, jangan terlibat secara pribadi sama mereka ya!” kalimat itulah yang dipesankan Rina saat menceritakan kondisi keluarga calon mantan majikannya.
Belum masuk dibenak Disa, seperti apa bayangan keluarga yang diceritakan Rani. Yang jelas menurut Rani, hampir setiap bulan ada saja pekerja yang berhenti atau di pecat karena di anggap tidak mampu bekerja di sana.
"Sejuta enam ratus paling neng." suara pak Yusuf membuyarkan lamunan Disa.
Laki-laki paruh baya itu baru selesai menimbang dan memeriksa kalung berliontin milik Disa.
"Oh iya pak. Kasih saya tenggat waktu 2 bulan ya pak, nanti pasti saya ambil lagi." Disa masih memandangi kalung yang saat ini ada di tangan Pak Yusuf.
"Iya, boleh. Asal jangan lupa bayar bunga bulanannya. Ngomong-ngomong, kalo liontinnya mau di copot dan di bawa boleh kok. Soalnya ini bukan emas." Berusaha melepas liontin dari kalungnya.
"Jangan pak." Menahan tangan Pak yusuf saat ia menyodorkan liontin itu pada Disa. "Alasan saya harus menebus kalung ini, karena ada liontin itu. Kalo bapak ngasihin liontinnya ke saya, saya gag ada alasan untuk bekerja lebih keras dan mengumpulkan uang yang banyak." aku Disa dengan wajah sendunya.
Ia berusaha tersenyum saat Pak Yusuf menatapnya dengan penuh keheranan. Baginya liontin itu tidak bernilai apa-apa baginya tapi ternyata bagi gadis muda di hadapannya, ini sangat berarti.
"Ya sudah, bekerja yang giat supaya bisa segera menebus kalung ini."
"Iya pak, terima kasih."
Pak Yusuf menyerahkan beberapa lembar uang dengan berbagai warna dan nominal. Usaha pegadaian miliknya hanya pegadaian kecil, sehingga uang yang ia punya pun tidak merah merekah dan kaku seperti yang dikeluarkan pegadaian resmi. Namun keberadaannya cukup membantu banyak orang.
"Saya permisi dulu pak. Terima kasih." Pamit Disa yang di angguki pak Yusuf.
Ia keluar dari ruangan yang sebagian besar didominasi oleh kaca. Sesekali ia kembali menoleh dan tersenyum samar melihat bangunan yang semakin menjauh dari langkahnya.
"Ibu, ayah, disa akan segera menebusnya." batin Disa seraya menggenggam uang di tangannya dengan erat. Untuk beberapa saat ia harus berpisah dengan satu-satunya barang peninggalan orang tuanya dan ia harus berusaha dengan keras untuk kembali mengambilnya.
Dalam langkahnya menuju rumah, Disa masih membayangkan seperti apa nanti kehidupannya di rumah yang kata Rina memiliki 8 kamar dengan luas kamar lebih dari rumahnya.
“Astaga, berarti majikannya kak rina kaya banget.” Gumam Disa dengan banyak pikiran di benaknya.
“Dari mana kamu?” Suara Meri membuyarkan semua lamunan Disa.
Saat ini Meri tengah menunggunya di depan pintu dengan tatapan yang masih menyimpan kekesalan.
“Em anu tan, Disa dari rumah bu lita, habis nyuci.” Jawab Disa yang masih tergagap.
Tangan tersilang di depan dada dengan mata bulat yang menatapnya kesal, menjadi ciri khas Meri saat ini. “Masuk! Bikin adonan donat.” Titah Meri seraya masuk ke dalam rumahnya.
Disa mengangguk patuh. Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga, ada Damar yang tengah menikmati makan sorenya sambil menonton film kartun favoritnya. Hanya ini yang tidak berubah dari Damar, menonton film kartu. Selebihnya, Disa sudah tidak lagi mengenali Damar yang dulu menjadi sahabatnya.
Disa mengikuti Meri ke dapur dan menerima tugasnya untuk menguleni adonan donat. Setelah mencuci tangannya, Disa segera menguleni bahan yang sudah di takar Meri.
“Tan, disa boleh ngomong gag?” tanya Disa dengan ragu pada Meri yang tengah mengoleskan telur di atas butiran nastar yang di buatnya.
“Hem..” hanya itu jawaban Meri.
Disa menghela nafasnya sebelum memulai kalimatnya. Matanya masih menatap lekat wajah Meri yang sedikit tertunduk. Ia ingin melihat perubahan ekspresi tantenya seperti apa, karena hanya dari situ Disa paham apa yang dipikirkan tantenya. “Disa mau kerja tan, jadi pelayan.” Disa memberanikan diri untuk mengutarakan maksudnya.
Meri tampak menghentikan aktivitasnya begitu juga dengan Damar. Ia bahkan mengecilkan volume televisinya.
“Dimana?” Meri masih bertanya dengan ketus.
“Di rumah mantan majikannya kak rina.” Sahut Disa dengan ragu.
“Pergilah! Kamu bisa mendapat gaji yang besar dan makan enak sepuasnya.” Lagi, Meri menimpali dengan ketus. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun.
Disa hanya terangguk seraya menggigit bibirnya sendiri dengan kelu. “Disa sudah tinggal hampir 5 tahun di rumah ini. Dan selama 5 tahun ini disa sangat banyak merepotkan tante. Disa harap, tante gag benci sama Disa.” Disa menoleh Meri yang tampak sibuk sendiri dengan nastarnya.
“Ya, mau gimana lagi, kamu keponakan kesayangannya mas sugih.” Sahut Meri dengan helaan nafas kasar.
“Tapi kan sekarang disa sudah bukan siapa-siapa lagi. Tante bisa saja ngusir Disa.” suara Disa terdengar parau.
“Kamu pikir saya sejahat itu?!” Meri meradang, ia melempar kuas yang sedari tadi di genggamnya. Sepertinya ia sangat kesal dengan kalimat Disa beberapa saat lalu.
“Disa tau, makanya disa mau bilang makasih. Makasih karena tante udah sayang sama disa dan disa ngerasa kalo disa masih punya ibu karena ada tante.” Disa tersenyum pilu di akhir kalimatnya dengan mata yang tampak menahan cairan bening di pelupuknya.
Meri tidak menimpali, ia memalingkan wajahnya dari Disa dan terlihat mengusap air mata yang ia coba sembunyikan.
Disa tersenyum samar, ya seperti itulah Meri, di balik sikapnya yang kasar, ada hati yang begitu besar dan hangat. “Disa sayang sama tante dan kak damar. Mungkin disa akan jarang pulang tapi disa harap tante selalu sehat.” Disa mengakhiri kalimatnya dengan lelehan air mata di pipinya yang kemerahan. Ini luapan perasaan paling mendalam yang pernah Disa utarakan.
Meri tidak berrespon sedikit pun. Ia menaruh sarung tangan plastik yang di pakainya dan bergegas pergi meninggalkan Disa sendirian tanpa sepatah kata pun. Disa tahu, Meri tengah menyembunyikan perasaannya di hadapannya.
Di kejauhan ada Damar yang memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan. Disa hanya tersenyum tipis membalas tatapan Damar.
Kenapa melihat wajah dua orang ini selalu membuat Disa merasakan kesesakan?
****
Ada yang berbeda dengan galeri milik Nita hari ini. Galery seni yang biasanya di tempati banyak lukisan dan beberapa orang yang tengah melukis, kali ini terlihat lenggang dan tergantikan dengan banyaknya alat-alat musik yang baru tiba.
Reza tengah merapikan galery yang beralih fungsi jadi studio musik miliknya. Setelah memutuskan untuk menjadi salah satu dosen di kampus swasta terkenal, ia membuka studio musik. Selain untuk menyalurkan hobby-nya, ia pun bisa menggunakan tempat ini sebagai sarana belajar mahasiswanya kelak.
“Pak reza, ini mau di taruh dimana ya?” tanya salah seorang tukang yang membantu bebenah.
“Taruh di situ dulu. Saya liat dulu gudangnya takut penuh.” Sahut Reza yang beranjak dari tempat duduknya.
"Baik pak."
Reza pergi ke gudang yang tidak jauh dari tempatnya berada. Ada beberapa lukisan yang belum jadi dan satu set alat lukis lengkap.
“Mah, ini alat lukis siapa?” tanya Reza pada Nita yang tengah mengatur tata letak vas bunga.
Nita menghampiri Reza untuk melihat alat lukis yang dimaksud putranya.
“Oh, itu punya paradisa.” Sahut Nita saat melihat alat lukis yang tersusun rapi.
“Paradisa?” Reza mengutip nama yang disebutkan Nita. Ia mulai memperhatikan beberapa lukisan yang sudah jadi dan 2 lukisan yang belum rampung.
“Iya, dia anak yang suka ngelukis di sini. Kalo gag salah dia juga kuliah di kampus tempat kamu ngajar sekarang.” Terang Nita.
“Lukisannya bagus. Apa dia tau kalo galery ini jadi studio musik?” Reza mengusap satu lukisan yang menurutnya sangat menarik dengan inisial PS di pojok kanan bawahnya.
“Ya dia tau kalo galery ini akan jadi studio musik. Dia bilang sih, dia gag masalah kalau lukisannya mau di pajang, cuma mamah bingung harus di pajang di sebelah mana...”
“PS ini?”
“Itu inisialnya, paradisa sandhya.”
“Nama yang cantik.” Ungkap Reza yang benar-benar terpesona dengan lukisan yang ada di hadapannya.
“Ya, orangnya juga cantik dan manis. Selain itu, dia jago design. Dia sempet bikinin mamah design dua gaun yang sangat indah dan salah satunya diminta tante adela, buat dia bikin di butiknya.” Kenang Nita pada 2 skecth cantik yang ia perebutkan dengan sang adik.
Reza hanya tersenyum. Rasanya ia mulai penasaran dengan sosok yang diceritakan ibundanya. Setahu Reza, Nita sangat jarang menceritakan seseorang dengan antusias terlebih itu adalah seorang gadis. Jika kali ini Nita menceritakannya, tentu gadis tersebut bukan gadis biasa bukan?
*****
Hayyy buat kalian yang masih baca novel ini, makasih banyak ya...
Menjelang akhir puasa, mungkin updatenya akan sedikit telat-telat nih dan semoga pembacanya nambah supaya semangat, hehehe...
Jangan lupa like, komen dan vote yaa.. Dan selamat datang di dunia Disa dan Kean, apa Disa dan Reza? hehehe
Kita tunggu yaa Disa sama siapa.
Happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Ikha Ranni
uwaaaaa...😭
2023-09-02
0
abdan syakura
Do'anya sih Disa ma Reza aja...
kykny Kean GaMon tu dr cewek di luar negeri Sono...
2023-01-29
0
Anonymous
Bagus banget ceritanya mudah dipahami….
2022-09-06
0