Disa merapikan semua belanjaannya yang berantakan. Semua telurnya pecah sementara terigunya berserakan bercampur dengan belanjaan lainnya. Ia punguti sebagian barang yang masih bisa ia selamatkan. Ia sangat kesal dengan laki-laki angkuh yang beberapa saat lalu pergi begitu saja.
“Jangan sampe gue ketemu tuh cowok brengsek lagi, kalo nggak, gue bakal bikin hidup dia gag tenang.” Disa meracau tidak jelas dengan mata melotot. Padahal apa yang bisa dilakukan kedua tangan kecilnya yang kerap menangkup air mata.
Raut wajahnya berubah dengan cepat saat ia menatap pecahan telur yang terserak. Kembali terngiang di telinganya pesan Meri bahwa ini adalah uang terakhirnya yang ia pakai untuk membeli bahan.
Disa terisak, ia kesal pada dirinya sendiri yang bahkan tidak bisa melaksanakan tugas yang begitu mudah ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi Meri nantinya.
“Kenapa kamu bodoh banget disa? Kamu mau ngomong apa sama tante meri?” Disa bertanya pada dirinya sendiri.
Tepung terigu yang ia punguti dan ia masukkan ke dalam plastik, sepertinya tidak bisa dipakai lagi. Semuanya terlihat menjijikan dan menyedihkan. Di tambah kali ini bercampur dengan air matanya. Sebagian serbuk menempel di wajahnya yang basah karena air mata.
Sudahlah, Disa tidak peduli. Toh ia tidak bisa melakukan apa pun lagi.
Sisa barang yang bisa ia ambil, ia masukkan kembali ke tas belanja dan segera ia muat ke atas keranjang sepedanya. Sepertinya, tidak hanya belanjaannya yang hancur tapi juga sepedanya yang tidak bisa ia naiki karena ban roda yang tampak hampir terlepas dari porosnya.
“Aarrrgghhh!!!” geram Disa saat melihat kemalangannya yang bertubi-tubi menimpanya.
Untuk beberapa saat ia menangis kesal, meluapkan semua kemarahannya. Ia tidak peduli pada pengguna jalan yang memandanginya menangis di tepian jalan.
“Tertawa saja kalau kalian mau!” dengusnya dalam hati.
Roda sepeda Disa kembali berputar seiring langkahnya menyusuri jalan. Teriknya matahari seolah menjadi pelengkap penderitaan Disa siang ini. Penampilannya yang berantakan semakin terlihat mengkhawatirkan saat bercampur dengan peluh yang membasahi punggung dan menjadi titik-titik di kening serta mengaliri lehernya.
“Disa, kenapa?” tanya Eko saat melihat Disa yang melintas di depan bengkelnya.
Disa hanya menggeleng tanpa menghentikan langkahnya. Ia hanya ingin segera sampai dan tidak terlihat seperti orang bodoh lagi di hadapan orang-orang yang melihatnya.
Tiba di depan rumahnya, Disa men-standarkan sepedanya dan sedikit bersandar pada batang pohon mangga. Ia membawa tas belanjaannya masuk ke rumah dengan perasaan tidak menentu. Ia sudah bersiap jika Meri mungkin akan sangat marah dan mengomelinya.
“Astaga!!! Disa kamu habis ngapain?!” teriak meri saat melihat penampilan Disa yang berantakan.
Benar kan? Telinganya sudah sangat siap mendengar makian selanjutnya.
Disa menaruh belanjaannya di atas meja dapur dengan bibir yang bergetar menahan tangis.
“Disa jatuh tan...” lirihnya. Ia hanya bisa tertunduk seraya memilin jarinya yang terbalut tepung terigu.
Meri segera mengecek belanjaan yang dibawa Disa dan tampak tidak lengkap.
“Terus telurnya mana? Kenapa juga terigunya cuma 2 kilo?” Tatapan menyalak kembali Disa terima.
“Maaf tan, telurnya pecah semua. Dan terigunya yang satu plastiknya pecah.” Sahut Disa seraya terisak. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya.
“Astaga... Astaga Disa!!!!!.” lirih Meri yang tiba-tiba merasa kepalanya sangat pusing. Ia berpegangan pada kursi makannya dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
Disa segera menghampiri Meri yang memegangi kepalanya. Ia yakin tantenya sangat marah.
“Pergi kamu, pergiiiii!!!!!” teriak Meri seraya menunjuk Disa. Ia sangat enggan Disa menyentuhnya.
“Maafin disa tan,..”
Meri tidak bergeming sedikit pun. Ia masih memijat pelipisnya yang pening. Baginya, Disa selalu menjadi salah satu ujian dan sumber masalahnya.
Disa tidak berani melawan, ia hanya bisa terisak seraya berlalu menuju kamarnya.
*****
“Bro, lo dari mana?” tanya Eko saat melihat Damar yang baru datang.
“Dari kantor pos. Ada apa sih?” Damar balik bertanya melihat wajah sahabatnya yang terlihat panik.
“Noh si disa, kayaknya jatoh deh. Sepedanya di tuntun, terus berantakan banget.” Terang Eko dengan rinci.
Tanpa menunggu lama, Damar segera berlari pulang ke rumahnya. Ia tidak lagi mempedulikan ucapan Eko berikutnya.
“Dih nih anak, kebiasaan gangguin adeknya, berantem mulu, giliran di kasih tau adenya jatoh aja langsung mabur!” gerutu Eko seraya memandangi bahu Damar yang semakin menjauh.
Tiba di depan rumah, Damar mendapati sepeda Disa yang kotor dan bau amis. Ia juga melihat pedal sepedanya yang patah dan roda yang bengkok.
“Astaga, lo kenapa lagi sih sa?” gumam Damar yang segera masuk ke rumah.
Di dalam rumah Damar mendapati Meri yang sedang memasang kembali koyo di pelipis kiri dan kanannya. Matanya masih basah dengan wajah tertekuk kesal.
“Ibu kenapa?” Damar menghampiri wanita yang tampak lesu tersebut.
“Tuh kelakuan adik tiri kamu! Belanja aja gag becus.” Seru Meri yang masih terlihat kesal.
“Emangnya disa kenapa?” Damar ikut memperhatikan barang belanjaan yang masih berantakan baru di keluarkan dari tas belanjanya.
“Ibu suruh belanja, itu anak malah jatoh. Telornya pecah semua dan malah dia pake mandi. Sekarang ibu harus gimana bikin pesanan bu retno, sementara ibu udah gag punya uang lagi.” Ungkap Meri dengan penuh kesedihan. Baginya sangat sulit mendapat pesanan dalam jumlah banyak di lingkungan tinggalnya. Dan begitu ada kesempatan, semuanya hancur begitu saja. Bukan hanya tentang keuntungan yang ia dapat tapi tentang kepercayaan orang-orang yang memberinya pekerjaan tersebut.
Ia kembali memijat pelipisnya yang berdenyut pusing lalu duduk di kursi seraya memandangi belanjaannya yang tinggal sisa.
“Emang belanjaannya habis berapa bu?” Damar memijat bahu Meri yang tampak tegang. Ia berfikir mungkin ibunya sudah memaki habis keponakan perempuannya.
“Ibu kasih dia uang 370.000 tapi masih banyak bahan yang gag ada.” Keluh Meri yang memandangi nanar barang di hadapannya.
“Damar yang beliin ya bu, kebetulan tadi damar dapat uang dari yang benerin motor.” Ungkap Damar yang berusaha menenangkan ibunya.
“Tuh kan, pake duit kamu lagi. Coba si disa itu kalo kerja bener dikit kayak kamu, kan gag usah bikin ibu marah, bikin ibu kesel. Dia lupa apa kita udah ngasih dia tumpangan walaupun sekarang dia sudah bukan siapa-siapa kita!” ceracau Meri yang masih kesal.
Di balik pintu kamarnya, Disa bisa mendengar semua ucapan Damar dan Meri. Terang saja, rumah mereka tidak terlalu luas untuk hanya sekedar berbicara tanpa terdengar. Disa hanya bisa terisak, ia memukul kepalanya sendiri yang terasa begitu bodoh. Kenapa kemalangan seperti teman hidup paling solid bagi Disa.
Di tepian tempat tidurnya Disa terduduk. Jendela kamar yang terbuka, membawanya melihat tembok tinggi rumah tetangganya yang kaya raya. Jika ia berada di balik tembok rumah besar itu, apakah ia akan mendapat kebahagiaan yang mereka rasakan?
Sering kali Disa mendengar suara tawa yang renyah dari balik tembok rumah mewah tersebut. Disa hanya bisa menebak dan membayangkan, betapa menyenangkannya hidup di rumah yang besar, kondisi ekonomi yang mapan dan keluarga yang saling peduli. Mungkin mereka tidak akan menemukan kesulitan yang kerap Disa hadapi.
"Astaga, aku mikir apa? Aku kok gag bersyukur banget?" Menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran kotor yang ada dikepalanya. "Ingat disa, jangan suka membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain." gumamnya lagi. Entah itu suara hatinya atau bisikan malaikat yang menyadarkan Disa dari pikirannya yang melantur.
Alih-alih meneruskan pikirannya, Disa membuka laci samping tempat tidurnya. Ia mengambil obat luka dan alkohol serta kapas. Ia menghela nafas dalam saat melihat pantulan wajahnya di cermin.
Rambut yang putih lengket bercampur terigu dan telur, wajah yang putih berbalut tepung dan tentu saja bau amis tubuhnya yang terkadang membuatnya ingin muntah.
"Kamu menyedihkan disa tapi kamu kuat." Menyemangati dirinya sendiri dengan segaris senyum samar. Ia mengambil selembar kapas dan membubuhkan alkohol untuk membersihkan lukanya. Meniupinya perlahan saat rasa perih itu begitu menusuk hingga ke tulangnya. Darahnya sedikit tapi lapisan kulitnya mengelupas dan sangat perih. Ada darah putih yang tidak berhenti merembes.
Beberapa kali Disa menarik nafasnya seraya menggigit bibirnya saat rasa perih itu cukup membuat matanya berkaca-kaca. Semakin lama, ia mulai terisak. Ada rasa sakit yang lebih selain rasa perih di sikut, lutut dan tumitnya. Ada rasa sesak saat ia sadar ia harus menghadapi rasa sakitnya sendirian.
"Kalau bapak ada, mungkin bapak yang akan mengobati disa. Dan kalau ibu ada, mungkin ibu yang akan menghibur disa." gumamnya dengan tangisan lirih.
Nyatanya yang ia butuhkan saat ini bukan hanya obat-obatan yang bisa menyembuhkan lukanya. Ia butuh orang yang peduli dan mau menemaninya. Sayangnya, ia hanya sendiri, tanpa teman dan kawan. Hanya hati dan pikirannya yang ia jadikan teman.
Membubuhkan obat-obatan di luka ternyata cukup memakan waktu kalau dilakukan dengan melow. Disa menutup luka-lukanya dan sebagian lagi ia biarkan terbuka agar cepat kering. Semuanya selesai dan ia kembali menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Semangat disa, ini luka kecil." hiburnya seraya mengepalkan tangan menyemangati dirinya sendiri. Sudah cukup ia melow yelow yang membuat harinya muram. Ia harus melanjutkan hidupnya dengan lebih baik dan lebih semangat.
Beranjak dari tempat tidurnya, ia mengambil sebuah kotak yang tersimpan dalam laci lemari pakaiannya.
“Apa kali ini aku harus menjualnya?” tanya Disa seraya memandangi kalung peninggalan ayahnya.
Disa sangat bimbang, selama ini dalam kondisi sesulit apa pun, ia tidak pernah berpikir untuk menjual kalung ini. Tapi melihat kejadian hari ini, mungkin ia harus merelakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tuanya.
“Bapak, ibu.. Maafin disa... Mungkin disa harus menjual kalung ini.” Lirihnya dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Disa menggenggam erat-erat kalung di tangannya. Walau berat, ia harus membuat keputusan.
****
Keluar dari kamarnya, Disa melihat Meri yang tengah terbaring di sofa dengan kedua mata yang terpejam. Melihat wajah Meri, selalu ada sesal yang terbit di dasar perasaannya.
“Tante, maafin Disa... Disa sadar, Disa udah bukan siapa-siapa lagi tapi tante masih mau merawat Disa. Dan sampe sekarang Disa belum bisa ngasih apa-apa sama tante, tapi malah nyusahin.” Batin Disa dengan tangis tertahan. Ia begitu merasa bersalah atas semua yang terjadi hari ini. Di balik sikap Meri yang ketus ia tahu bahwa tantenya tidak pernah benar-benar tega memperlakukannya seperti itu.
Puas memandangi Meri yang bahkan tidak bergerak, Disa segera keluar dari rumah tersebut. Ia mendapati sepedanya yang sudah kembali seperti semula. Mungkin kakak sepupu tirinya lah yang memperbaikinya.
Disa teringat pesan Lita saat tadi bertemu di perempatan lampu merah. Ia segera menuju rumah Lita dengan harapan ada pekerjaan yang bisa dia lakukan.
“Bang eko, bu litanya ada?” tanya Disa setibanya di depan bengkel.
“Ada di dalem, masuk aja sa..”
Disa mengangguk sebagai respon. Ia segera masuk untuk menemui nyonya rumahnya.
“Ya udah kalo kamu udah gag bisa, mau berhenti ya terserah...” suara Lita terdengar dari dalam kamarnya. Sepertinya ia sedang bertelpon. “Ya udah, kamu pulang aja dulu ke sini. Nanti nyari kerja dari sini aja.” Tukas Lita kemudian.
Tak lama, handle pintu kamar Lita tampak berputar dan Lita keluar dari kamarnya. Ia tersenyum melihat Disa dan segera mengakhiri panggilannya.
“Ibu tadi minta saya ke sini, ada apa ya?”
“Eh disa... Iya ibu mau minta tolong.” Lita segera menghampiri Disa yang menunggunya di sofa ruang tamu. “Ini, rani mau pulang ke sini, tapi ibu belum sempet beresin kamarnya. Selimut sama gordennya juga kotor. Kamu bisa bantu cuciin? Kebetulan tangan ibu lagi sakit gara-gara rematik.” Lanjut Lita yang menunjukkan tangannya yang bengkak.
“Oh boleh bu. Disa bisa kerjain sekarang.” Disa begitu antusias karena akhirnya ia dapat pekerjaan.
“Ya udah, ayo ikut ibu ke belakang.” Ajak Lita yang berjalan di depan Disa.
Tiba di ruang cuci Lita, tampak beberapa ember cucian yang harus di cuci Disa. Disa memulai pekerjaannya sementara Lita memperhatikan dari tempat duduknya.
“Kak rani sebelumnya kerja di mana bu?” Disa berusaha mencairkan suasana agar tidak sepi dan merasa ada teman.
“Oh, rani kerja di rumah orang kaya. Tapi katanya nyonya rumahnya banyak maunya. Di tambah nona mudanya rewel. Jadi dia gag kuat. Makanya mau berhenti.” Terang Lita seraya menikmati semangkuk bubur kacang di hadapannya.
Disa terangguk paham. “Kalo Disa coba kerja di bekas tempat kak rani, bisa gag ya bu?” tiba-tiba saja pikiran itu terlintas di kepala Disa.
“Kamu yakin mau kerja di sana?” Lita menatap tidak percaya.
“Disa sekarang udah gag kuliah bu. Jadi disa juga mau nyari kerjaan.” Terang Disa dengan wajah sendunya.
“Ya udah, nanti ibu coba tanya rani. Kebetulan tempat kerjanya memang minta rani cari pengganti.”
“Iya bu, terima kasih.” Sahut Disa dengan senang.
Akhirnya ia punya harapan baru. Rasanya menjadi seorang pelayan bukan hal yang sulit bagi Disa. Ia sudah terbiasa mendapat omelan dan teriakan dari Meri dan mungkin nyonya rumah tempat ia bekerja kelak tidak segalak itu.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
disa pantang menyerah nii
2023-09-19
0
abdan syakura
Ayo Tante Meriii
habiskan koyo di warung
tempel trusssss
🤣🤣🤣🙏
2023-01-29
0
re
Next
2021-12-24
0