Pulang dari bengkel Damar melihat lampu kamar Disa yang masih menyala. Kamar mereka memang berhadapan sehingga sesekali ia bisa melihat aktivitas yang Disa lakukan di kamarnya.
Terdengar isakan lirih dari balik pintu kamar Disa. Damar mengintip sedikit dari celah pintu dan terlihat Disa sedang menelungkup seraya memandangi sebuah foto. Mungkin foto mendiang kedua orang tuanya atau neneknya di kampung. Mendengar tangis Disa yang begitu pedih, Damar hanya bisa menghela nafasnya dalam.
“Kenapa kita harus jadi adik kakak sepupu tiri gini sa? Kenapa gag cukup kamu jadi temanku seperti dulu? Mungkin aku bisa menghiburmu dengan candaan garing, yang bikin kamu ketawa.” gumam Damar seraya memandangi Disa dari celah pintu.
Damar menyandarkan tubuhnya di dinding lalu memejamkan matanya saat mengingat kejadian tidak di harapkan itu terjadi. Ya, saat ia kelas 1 SMA tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mengunjunginya dan Meri dengan pakaian rapi. Meri mengatakan kalau ia akan menikah dengan laki-laki itu yang tak lain adalah Sugih, adik dari mendiang ayah Disa.
Mendengar penuturan Meri kala itu membuat Damar tanpa sadar menjatuhkan kado yang sudah ia siapkan untuk Disa. Kado pelulusan Disa dari SMP sekaligus ungkapan perasaan sukanya selama ini.
Perasaan suka yang dikenal dengan istilah cinta monyet itu pertama kali Damar rasakan pada Disa. Sangat manis namun di waktu bersamaan berubah pahit.
Ya, Damar memiliki perasaan lain pada Disa selain perasaan sebagai seorang sahabat. Ia menyukai gadis manis yang banyak merubah hidup dan hari-harinya. Disa memang bukan wanita cantik yang sekali lirik langsung tidak bisa berpaling. Dia gadis manis yang semakin lama di lihat semakin menarik dan pandai membuat nyaman. Saat berjarak membuat Damar semakin mengingatnya.
Kehadiran Disa membuatnya memiliki cita-cita dan mulai memimpikan kelak ia akan menjadi laki-laki seperti apa. Tapi semuanya memudar seketika saat Meri begitu bahagia memperkenalkan Sugih sebagai calon ayah barunya.
Tepat di hari itu juga, Damar mulai berubah. Ia menjadi dingin dan menyebalkan. Semua perlakuan kasarnya pada Disa terkadang ia lakukan untuk mengingkari perasaannya dan bentuk kekecewaan. Namun seiring berjalannya waktu, nyatanya perasaan itu tidak pernah pergi dan Damar semakin mengingkari kenyataan.
“Ngapain lo disini?!” suara Disa tiba-tiba terdengar saat ia membuka pintu kamarnya lebih lebar.
Damar segera membuka matanya dan mengusap wajahnya kasar. Ia terpaku sejenak melihat mata sembab dan basah Disa.
“Kalo mau nangis, pake kepala badut lo, biar gag berisik!” cetus Damar dengan sinis.
“Lo emang resek ya!” gertak Disa dengan mata yang kembali meneteskan butiran bening. Ia membutuhkan teman, ia membutuhkan kakaknya namun lagi Damar tidak menunjukkan rasa pedulinya sedikit pun.
“BRUG!” Disa membanting pintu kamarnya kasar di hadapan Damar. Ia benar-benar kesal dengan Damar yang tidak pernah mengerti perasaannya. Ke mana perginya sahabat tempat ia bercerita dan tertawa dulu? Mengapa hanya tersisa manusia menyebalkan yang semakin mempersulit hidupnya.
Melihat sikap Disa, Damar hanya bisa tertunduk. Bukankah ini lebih baik bagi mereka?
Saling tidak peduli, agar tidak semakin terikat.
****
Pagi menjelang, Disa sudah mendengar kegaduhan di dapur. Ia yakin itu adalah Meri. Dengan cepat Disa bangun, pergi ke kamar mandi lalu menunaikan kewajiban muslimnya. Setelah itu ia segera keluar kamar untuk menghampiri tantenya.
“Tante mau jualan?” tanya Disa saat melihat Meri tengah menata alat-alat masaknya.
“Ada yang pesen kue tapi banyak bahan yang habis.” Terang Meri seraya menimbang beberapa wadah tepung terigu.
“Disa beliin ya tan, kan disa gag kuliah.”
“Berhenti kuliah kok bangga banget!” cetus Meri seraya memberikan beberapa lembar uang pada Disa. Disa hanya tersenyum kelu seraya mengambil uang yang di sodorkan Meri. “Uangnya cuma ada segitu, beli bahan sesuai yang tante tulis.” Imbuh Meri seraya menyerahkan catatan belanjaan di hadapan Disa.
“Iya tan, disa pergi dulu.”
Disa segera mengambil tas belanja dan menggunakan sepeda untuk pergi ke pasar. Lupa, ia meneguk segelas air putih dulu sebelum pergi. Tidak banyak waktu yang ia gunakan karena Meri sangat tidak suka dengan kata lamban.
Roda sepeda mulai berputar. Ia melewati gang kecil dan masuk ke jalan raya. Tiba di perempatan lampu merah ia menghentikan laju city bikes-nya. Disa menunggu beberapa saat hingga lampu merah berubah menjadi hijau.
“Disa, mau kemana?” teriak seorang wanita yang mengendarai sepeda motor matic-nya. Mereka terhalang dua pengemudi motor lainnya yang sejajar.
“Mau ke pasar bu.” Disa menimpali pertanyaan wanita berdaster tersebut.
“Nanti ke rumah, jangan terlalu sore tapi...”
“Iya bu...” sahut Disa seraya membunyikan bell sepedanya sebagai tanda pamit.
Lampu mulai berubah hijau dan Disa kembali melajukan sepedanya, mengayuhnya dengan cepat karena waktunya tidak banyak.
****
“Dimana letak tanggung jawab kamu, bagaimana bisa kamu membiarkan para pekerja di rumahkan dalam waktu yang cukup lama?!” suara keras itu terdengar dari mulut Sigit Hardjoyo saat berhadapan dengan putranya, Kean. “Kamu tau, banyak di antara para pekerja yang sudah sangat lama bekerja di perusahaan kita, bagaimana bisa kamu mengecewakan mereka?!” lagi teriakan itu terdengar jelas di telinga Kean.
Kean masih terpaku di tempatnya, menatap ke arah meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan berkas.
“Bukannya sejak awal aku sudah bilang kalau aku tidak tertarik dengan bisnis ini?” timpal Kean yang membuat laki-laki di hadapannya berdiri lalu melotot dengan tatapan penuh kemarahan. “Aku memang tidak mampu bekerja sebaik papah, jadi untuk apa memaksakan semuanya?” imbuh Kean yang mulai memberanikan diri menatap Sigit.
“Apa kamu bilang? Kamu masih berani berkata seperti itu padahal semuanya saya lakukan untuk kebaikan kamu. Kamu pikir dari mana datangnya baju yang kamu pakai, mobil mewah yang kamu kendarai dan makanan enak yang bisa leluasa kamu nikmati? Dari bisnis ini Kean!” gertak Sigit dengan mata menyalak.
Kean tersenyum tipis, kalimat ini selalu menjadi senjata pamungkas bagi Sigit untuk membuat Kean merasa terhimpit dengan banyak tuntutan. Sayangnya yang di rasakan Kean saat ini adalah muak. Muak pada setiap alasan yang dibuat ayahnya.
“Apa papah pikir yang dibutuhkan sebuah keluarga hanya uang?” Kean memberanikan diri untuk bertanya seraya menatap Sigit. “Apa papah pernah bertanya apa yang sebenarnya aku butuhkan?” kali ini suara Kean terdengar parau dengan mata yang memerah. “Saat papah memaksaku untuk pulang dan meninggalkan orang paling berarti sendirian di luar negri, apa papah pernah berfikir kalau yang aku butuhkan bukan cuma uang?!” gertak Kean kemudian.
Sigit tidak menimpalinya. Ia hanya menatap Kean dengan amarah kemudian memalingkan wajahnya dari tatapan penuh kebencian sang putra.
“Apa papah bisa memberikan waktu papah juga buat aku dan sekali saja mendengarkan apa keinginanku?”
Sigit hanya terpaku mendengar pertanyaan Kean. Kean yang sejak tadi menatap Sigit, kali ini hanya bisa tertunduk. Rasanya ia tahu apa jawaban sang ayah. Bagi laki-laki berusia paruh baya ini tidak ada yang lebih penting dari karier yang harus bertahan di puncaknya. Sisanya hanya pelengkap kesempurnaan bagi siapa pun yang memandangnya.
Tanpa menunggu lagi, Kean segera mengambil kunci mobilnya dan pergi dengan emosi yang masih membuncah. Ia tidak cukup kuat untuk bertahan lebih lama menghirup udara yang sama dengan sang ayah yang sangat mengecewakannya.
****
Jalanan memang cukup ramai dengan banyaknya klakson yang saling bersahutan seolah memprovokasi Kean yang tengah emosi untuk ikut terlarut dalam kondisi hectic tersebut. Kemacetan selalu menjadi stresor yang cukup besar bagi sebagian besar pengendara kendaraan tak terkecuali Kean.
“Shit! Pake mata lo monyet!” seru Kean saat seorang pengendara tiba-tiba menyalip dan mengguntingnya di depan. Ia mencengkram dengan kuat setirnya sebagai bentuk kekesalan. Ia menyalipnya dan tidak ingin kalah membuat jalanan padat pun menjadi area balap.
Rasanya perasaan Kean semakin tidak karuan melihat kemacetan ini. Ia sengaja memilih jalan alternatif yang tidak terlalu ramai. Kecepatan yang tinggi di jalanan yang cukup lenggang membuat Kean kesulitan mengontrol remnya saat tiba-tiba lampu kuning berubah merah.
“Brak!” sesuatu menghantam mobilnya membuat Kean dengan segera ia menginjak pedal remnya hingga berdecit.
Kean melihat dari spion kirinya, ada sebuah sepeda yang kemungkinan terserempet olehnya. Hanya rodanya yang tampak berputar di udara.
“Shit! Apalagi sih ini!” dengus Kean seraya membuka seat belt yang melingkari tubuhnya. Ia segera turun dan menghampiri pengendara sepeda tersebut.
Tampak barang-barang berserakan yang didominasi pecahan telur melumuri jalanan beraspal.
“Aww...” seorang gadis berusaha bangkit seraya meringis.
“Lo gag pa-pa?” tanya Kean pada gadis yang kini sedang meniupi sikutnya yang luka.
“Lo gag liat gue kayak gimana?” seru gadis tersebut dengan kesal.
Kean melihat jam yang melingkar di tangannya. Beberapa saat lagi ia harus bertemu dengan klien yang menunggunya. Ia segera mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang.
“Nih buat ganti rugi.” Kean menyodorkan sejumlah uang pada gadis tersebut.
Gadis manis yang tak lain adalah Disa menatap sinis laki-laki yang bahkan tidak menolehnya. Tangannya menyodorkan uang sementara matanya entah menatap ke arah mana.
“Lo pikir masalahnya cukup dengan duit yang lo kasih?!” seru Disa dengan kesal.
Laki-laki berpakaian rapi di hadapannya bahkan tidak mengucapkan maaf dan menatap wajahnya saat ia berbicara. Sebegitu rendahnya laki-laki itu memperlakukan Disa.
“Gue tau modus cewek-cewek kayak lo. Pura-pura celaka terus minta ganti rugi. Terus sekarang mau lo apa? Masih kurang duitnya? Atau minta gue kawinin sekalian?!” kali ini Kean menatap Disa dengan malas.
Disa berjalan menghampiri Kean dengan tergopoh-gopoh. Luka-luka tipis di tumit dan kakinya terasa begitu perih terkena angin dan ia mencoba menahannya.
“Lo gag tau ya, apa yang harus lo lakuin pertama kali kalo lo bikin salah? Lo pikir,”
“Cukup! Gue lagi gag mau denger lo ceramah. Gue udah berbaik hati ganti rugi semua, lo jangan ngarep yang aneh-aneh!” Kean menyela kalimat Disa.
Mereka saling bertatapan dengan kekesalan masing-masing. Seperti ada api yang menyala di mata keduanya.
Disa tersenyum kesal. Ia mengambil uang tersebut dan menghamburkannya ke wajah Kean. “Gue gag butuh duit lo!” sentak Disa dengan geram.
Kean terkekeh dengan geli seraya mengusap wajahnya kasar. Ia melihat mata Disa yang menatapnya dengan menyalak. Terlihat keningnya yang sedikit berdarah dengan baju yang kotor terkena tepung dan rambut yang berantakan.
“Lo gag usah belagu. Gue yakin lo juga sengaja kan nabrakin sepeda lo ke mobil gue? Kalo perlu, gue ganti sepeda butut lo!” solot Kean.
“Oh, rupanya gue ketemu sama sultan yang sangat sombong! Lo pikir semua masalah bisa di selesaikan pake duit? Makan tuh duit! Lo bahkan gag tau caranya minta maaf.” Timpal Disa yang semakin emosi.
Kean sudah sangat malas menimpali. “Gue udah ganti rugi, terserah lo mau di ambil atau enggak. Yang jelas urusan kita udah selesai!” Kean bergegas pergi.
Tapi sepertinya Disa tidak bisa membiarkan begitu saja. Ia mengambil pecahan telur dan berteriak. “Jangan kabur lo atau gue sumpahin lo impoten!” seru Disa seraya melemparkan pecahan telur ke arah Kean hingga mengenai baju dan mobilnya.
Kean menghentikan langkahnya. Tangan kekarnya mengepal dengan kuat. Ia segera menghampiri Disa dan berdiri dengan jarak yang sangat dekat dengan gadis tersebut.
Tanpa di sangka, Kean menangkup kedua sisi wajah Disa dan menariknya ke dada bidangnya. Ia mengusapkan pecahan telur di kemejanya ke kepala Disa yang memiliki tinggi tubuh sebatas dadanya.
“Lepasin gue!! Lo mau ngapaaiiinn?!” Disa berusaha berontak tapi cengkraman Kean lebih kuat.
“Lo seenaknya ngelempar telor ke gue, sekarang lo rasain gag cuma gue yang bau amis.” Ujar Kean dengan kesal.
Disa berusaha mendorong tubuh Kean dengan kuat namun ternyata beberapa helai rambutnya tersangkut di kancing kemeja Kean.
“Lepasiinn guee!!! Lo gila yaa!” Disa semakin histeris.
Kean menghentikan aksinya ia bisa melihat wajah Disa yang berada di bawah wajahnya. Mungkin selisih tinggi mereka sekitar 25 cm dari tinggi Disa yang 158 cm. Ia bisa melihat manik berwarna coklat itu tengah menatapnya dengan menyalak dan semakin kesal. Terlalu berani menurutnya. Ia pun bisa melihat dada Disa yang bergerak naik turun dengan nafas memburu. Pasti sangat marah.
“Makanya lo jangan macem-macem sama gue!” Kean melepaskan cengkramannya dan melepaskan satu persatu helai rambut Disa yang tersangkut. Sesekali Disa tampak meringis dan membuat Kean merasa puas melihat ekspresi gadis tersebut.
Usai melepas helaian rambut Disa, Kean segera menjauh. “Lo liat, mobil gue juga kegores sama sepeda lo dan gue gag akan minta ganti rugi apa pun. Jadi jangan menuntut yang lebih!” tegas Kean seraya menunjuk bagian bamper depannya.
Perhatian Disa teralih pada cat mobil yang memang tergores oleh sepedanya. Mobil dengan logo perisai dan menunjukkan seekor banteng yang sedang mendengus berwarna emas tersebut membuat Disa menelan ludahnya kasar-kasar. Ia bisa membayangkan berapa biaya yang harus dihabiskan hanya untuk cat terkelupas tersebut.
Melihat Disa yang hanya terpaku, Kean segera berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dalam beberapa saat ia kembali melajukan mobilnya dengan kencang.
Dari spion kirinya ia masih bisa melihat Disa yang terpaku di tempatnya. Sepertinya ia kebingungan sendiri melihat barangnya yang terserak tidak karuan. Kean melihat uang yang terserak di jok sampingnya. Sepertinya Disa memang tidak mengambil satu lembar pun.
“Terserah!” dengusnya saat mengingat penolakan Disa.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
yg nyerempet siapa yg marah2 kok yg nyerempet? itu bhs eh tulisan icikiwir
2023-09-19
0
Leha Rahman
kado kelulusan kak 💪😘
2022-01-10
0
ℓ ι ƒ ι α 💕
thor kalo bisa, "gag" nya diganti "nggak" ya.. usul aja sih 🙏
2021-10-01
3