Dua jam berlalu, hujan belum kunjung reda sementara buku di tangannya sudah selesai ia baca. Disa beranjak menuju meja kasir yang kini di jaga anak pak Hamid.
“Udah selesai kak?” tanya gadis berusia sekitar 16 tahunan tersebut.
“Udah, berapa dek?”
Gadis tersebut tampak mengecek dan mulai mencetak billing. “Empat puluh tujuh ribu.” Sahutnya seraya menyerahkan billing tersebut pada Disa.
Disa menyerahkan selembar uang berwarna biru dan tiga lembar patimura menjadi kembaliannya.
“Makasih dek.” Sahut Disa yang segera beranjak pergi.
Di depan toko buku Disa masih mematung memandangi aliran air yang menuju selokan. Tangannya menengadah merasakan butiran air yang masih turun dari langit walau sudah tidak terlalu deras. Langit mulai gelap dan hawa dinginpun mulai terasa meremangkan bulu kuduk Disa. Disa berdigik dan merangkul tubuhnya dengan kedua tangan.
“Kamu mau pulang?” tanya sebuah suara dari arah belakang.
Disa menoleh sejenak dan kembali terpaku saat tahu siapa yang ada di hadapannya.
“Iya...” sahut Disa singkat.
“Kamu bisa pake payung saya.” Laki-laki itu menyodorkan payung lipat berwarna krem pada Disa.
“Tidak usah kak, saya akan menunggu hujan reda.” timpalnya dengan gugup.
“Hari sudah mulai sore, tidak baik anak perempuan pulang malem.” Timpal laki-laki tersebut seraya terus menyodorkan payungnya.
“Lalu, kakak sendiri?”
Laki-laki itu tersenyum melihat ekspresi kaku Disa. “Saya di jemput teman sebentar lagi. Atau kamu mau ikut sekalian?”
“Oh tidak usah, saya pinjam payungnya saja.” Tentu saja Disa masih tahu malu jika ia menerima ajakan laki-laki tersebut. Ia menerima payung tersebut dengan senyum kaku di wajahnya.
“Tidak usah di kembalikan, anggap saja sebagai ucapan terima karena kamu sudah menunjukkan ruangan dekan.” Sepertinya laki-laki tersebut sudah bisa menebak pertanyaan Disa berikutnya.
“Terima kasih kak...”
“Kamu bisa panggil saya reza. Kebetulan saya juga mengajar di kampus ini.”
“Oh maaf pak...” dengan segera Disa mengubah panggilannya. Reza hanya tersenyum melihat keterkejutan Disa.
Tak lama berselang sebuah mobil mewah berhenti di hadapan mereka.
“Saya duluan...” pamit Reza yang diangguki penuh kesungguhan oleh Disa. Ia memandangi mobil mewah berwarna orange yang pasti berharga fantastis. Tidak terbayang banyaknya digit angka yang harus dikeluarkan untuk membayar sebuah prestise.
Sepeninggal laki-laki bernama Reza tersebut, Disa tersenyum sendiri saat melihat payung yang ada di tangannya. Sangat manis dan membuat jantungnya berdebar entah untuk alasan apa.
“Terima kasih pak reza...” gumamnya dalam hati.
Rasanya ia mulai paham kenapa adegan di film india di dominasi dengan tarian di bawah hujan. Romantisme memang selalu bisa melarutkan siapa pun.
****
“Apa tante bilang, gag usah kuliah. Toh akhirnya bakal kayak gini. Lagian perempuan itu ujung-ujungnya cuma ke dapur.” Kalimat itu meluncur mulus sebagai respon pertama Meri saat mendengar kabar bahwa Disa akan di DO.
Disa melirik Damar yang sejak tadi anteng dengan ayam goreng di tangannya. Sepertinya ia tidak peduli dengan kesedihan Disa.
“Kakak macam apa!” dengus Disa dalam hatinya. Tangannya mengepal dengan kesal. Ia masih merasa kalau kakak sepupu tirinya pun memiliki andil pada kejadian ini.
Bibirnya mengerucut sebal dengan tatapan yang tidak beralih dari Damar. Dan yang di tatap, asik mengunyah tanpa rasa bersalah.
“Tapi disa mau berdiri di atas kaki disa sendiri tan. Disa mau punya pekerjaan supaya tidak menggantungkan hidup sama siapa pun.” Kali ini Disa berani menimpali.
“Emang apa salahnya dengan menjadi ibu rumah tangga? Tante aja masih bisa ngasih kamu makan kan? Banyak lagi!” cetus Meri seraya melirik piring Disa.
Disa menghentikan aksi menatap Damar. Ia melihat isi piringnya yang masih setengah utuh. Rasanya selera makannya hilang begitu saja berganti dengan derai air mata yang coba ia tahan di pelupuk matanya.
Damar hanya melirik dan menatap Disa samar. Ia mengambil kulit ayam yang sudah dikumpulkan Disa di sisi piringnya.
“Kak, itu punya aku!” seru Disa dengan terbata. Tapi Damar tidak memperdulikannya. Ia menyuapkan ke mulutnya dengan nikmat.
“Noh makan yang ini, buat mewek semaleman butuh tenaga.” Damar menaruh ayam goreng yang tinggal sepotong di piring Disa seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Iisshhh!!! Kak damaarrr!!” seru Disa dengan geram. Baginya Damar sangat menyebalkan.
Meri yang mendengar seruan Disa, hanya melirik kemudian melotot karena anak laki-lakinya di teriaki. Disa kembali terdiam dan mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia menyuir ayam gorengnya dengan penuh kekesalan.
Bagaimana bisa ada orang semenyebalkan Damar dalam hidupnya?
Ternyata penderitaan cinderela itu tidak selalu berbentuk ibu dan saudara tiri perempuan. Adalah Damar yang lebih menyebalkan dari keduanya.
*****
Menghilangkan perasaan tidak menentu Damar memilih menemui teman-temannya di bengkel. Ia tiba saat Eko, pemilik bengkel nyaris menutup rolling door bengkelnya. Damar datang dengan langkah cepat dan menahan tangan Eko.
“Woy, udah melem ini. Lo kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanya Eko saat melihat Damar yang duduk di sofa belel dalam bengkel.
Damar hanya terdiam dengan tatapan dingin tertuju pada mesin mobil yang siang tadi di bongkarnya.
“Kenapa, lo berantem lagi sama ade sepupu tiri lo?” sepertinya Eko sudah sangat hafal dengan gelagat sahabatnya ini.
Tentu saja, setiap habis bertengkar dengan Disa, penampilan Damar pasti terlihat sangat kusut. Damar tipe orang yang tidak bisa mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata tapi semuanya sangat terlihat dari sikap dan tatapan matanya.
“Disa hampir di DO karena masalah biaya kuliah.” Cetus Damar seraya melempar tali ban di tangannya dengan kesal.
Eko terangguk paham. Jika dulu Damar begitu senang karena di DO dari kampusnya tapi saat yang nyaris di DO adalah adik sepupunya ia terlihat sangat kacau.
“Lo jail sih suka malak dia, makanya sekarang lo ngerasa bersalah kan?” Eko menghampiri Damar dan duduk bersisihan. Damar hanya menoleh sejenak kemudian kembali membuang pandangannya.
“Lo gag usah sok tau, gue gag malak dia.” Timpal Damar dengan kesal.
“Yaaa... Gue baru tau kalo ngambil duit secara paksa dari ade lo itu bukan malak namanya.” Cibir Eko seraya menatap sahabatnya. Damar tidak menimpali, ia masih dengan kekesalannya. “Kalo Disa gag kuliah, gue nikahin aja deh ade lo yang manis itu. Pendapatan gue cukup kok buat biayain hidup gue sama dia.” Lanjut Eko yang membayangkan wajah manis Disa di pikirannya..
“Jangan ngimpi lo!” sahut Damar dengan mata menyalak.
Eko hanya terkekeh. Damar selalu bersikap berlebihan saat membahas tentang Disa sang kembang desa. Ralat, kembang komplek.
“Gue gag ngerti, lo selalu jahat sama dia, tapi gue deketin juga gag boleh. Lo kenapa sih bro? Padahal waktu SMP lo kan deket banget sama dia udah kayak surat pernyataan sama materai, baru sah kalo kalian bareng-bareng.”
“Analogi lo anjim!” timpal Damar seraya menggelengkan kepala mendengar kalimat Eko.
Eko hanya terkekeh, akhirnya ia bisa melihat sahabatnya tersenyum tipis. Damar menyandarkan tubuhnya ke pinggiran sofa. Sepertinya pikirannya melayang entah kemana.
#Flash back on
Benar, dulu Damar dan Disa memang sangat dekat. Disa adalah adik kelasnya saat SMP yang terpaut usia 1 tahun lebih muda darinya. Kalau mengingat pertemuan pertama dengan Disa, kadang Damar tersenyum sendiri.
Saat itu, guru BK tengah mengadakan razia pada anak laki-laki yang kerap tawuran dan berbuat onar termasuk Damar.
“Baris kalian di sini!” gertak Irwanto pada ke delapan belas siswa nakal di hadapannya.
Damar dan ke tujuh belas rekannya menurut saja dengan perintah Irwanto, guru BK-nya. Ia tidak merasa takut sedikit pun karena sudah menyembunyikan barang buktinya beberapa saat lalu.
Damar masih mengingat wajah gadis yang ia paksa untuk menyimpan gear motor di dalam tasnya. Kalau tidak salah, gadis itu membawa buku gambar dan crayoon di dalam dekapannya. Gadis itu sedikit syok saat tiba-tiba Damar membuka tasnya dan memasukkan gear motor tepat di depan gerbang sekolah.
“Lo simpen baik-baik jangan sampe kena razia!” pesan Damar kala itu. Gadis itu hanya terangguk dengan wajah ketakutan.
“Damar, buka tas kamu!” titah Irwanto seraya menendang tas Damar yang tergeletak di tanah pada pemiliknya.
Dengan tenang Damar membuka tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Hanya ada sebuah buku yang belum tertulis apapun dan 2 buah ballpoint warna hitam dan biru.
Irwanto menatap tidak percaya pada isi tas Damar yang sangat minimalis. Biasanya ia akan menemukan gear motor, pisau dan rantai, khas anak yang melakukan tawuran, tapi kali ini nihil.
“Saya gag bawa apa-apa kan pak?” tutur Damar dengan seringai tipisnya. Irwanto hanya mengangguk dan pandangannya beralih pada siswa lain. Damar benar-benar selamat dan bisa kembali ke kelas. Senyum penuh kemenangan pun terkembang di bibirnya saat ia berlalu pergi dari hadapan Irwanto.
Alih-alih kembali ke kelas, Damar lebih memilih mencari gadis tadi. Ia melihat ke semua kelas. Kalau dari cara berpakaiannya, Damar yakin ia masih anak baru karena bajunya masih rapi dan putih bersih.
Setiap ruangan kelas satu ia hampiri dan mencari keberadaan Disa dan baru ia temukan saat Disa tengah berjalan dari arah perpustakaan.
“Mana barang gue?” tanya Damar seraya menengadahkan tangannya. Disa membuka resleting tasnya lalu menyerahkan gear yang ia bungkus dengan kertas.
“Kakak suka tawuran ya?” tanya Disa dengan tatapan polosnya.
“Bukan urusan lo!” Damar segera memasukkan kembali gear-nya ke dalam tas tanpa memperdulikan Disa.
Terdengar helaan kasar dari sela bibir gadis manis tersebut membuat Damar mengalihkan pandangannya.
"Ngapain lo nafas kayak gitu depan gue?" sengitnya dengan tatapan tajam.
Disa tidak beringsut. Ia malah mengendikan bahunya acuh.
“Kakak pikir tawuran itu keren?” tanya Disa dengan berani. Pertanyaannya persis seperti guru BK yang tadi mencegatnya. Damar hanya menatap tanpa menimpali. “Pernah gag kakak mikir kalau orang tua kita yang bekerja keras siang dan malam untuk membiayai sekolah kita sedang mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses?” pertanyaan Disa kali ini terdengar menjengkelkan bagi Damar.
“Mereka berkeringat, lupa capek, lupa makan bahkan mungkin tidak cukup tidur hanya untuk memastikan kebutuhan sekolah anaknya terpenuhi. Tapi ternyata anak yang dia harapkan malah melakukan hal-hal tidak berguna seperti ini. Apa jadinya kalau mereka tau?” Disa menatap Damar dengan lekat.
Sepasang mata kecoklatan itu terlihat polos namun terasa mengintimidasi Damar yang balik menatapnya.
“Lo ngancam gue?”
Disa hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Aku hanya mengingatkan karena kita sama-sama pelajar dan sama-sama harapan orang tua kita.” Timpal Disa yang kemudian berlalu pergi.
Damar masih terpaku di tempatnya. Ia memandangi gadis bertubuh kurus itu berlalu pergi. Entah mengapa perkataan gadis itu sangat membekas di ingatannya bahkan hingga ia pulang ke rumah dan mendapati Meri, ibunya tengah berjibaku melayani permintaan pembeli.
Meri begitu bekerja keras karena ia seorang single parent. Celemek belel tidak pernah lepas dari tubuhnya. Wajahnya yang terlihat lelah dengan tetesan keringat yang Meri usap kasar terasa semakin memperjelas ingatannya tentang ucapan Disa.
Ia mulai memikirkan apa yang dikatakan Disa. Setiap hari ia ke sekolah dan memperhatikan gadis itu dari kejauhan. Sang kutu buku yang membuatnya gemas sendiri. Dan sejak saat itu Damar dan Disa menjadi teman dekat. Benar yang dikatakan Eko, Damar dan Disa seperti surat pernyataan dan materai. Analogi yang absurb tapi sepertinya memang seperti itulah mereka.
Tidak sah, jika tidak bersama-sama. Lalu, bisakah hal itu di ulang?
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Moonlight
cinta segi3 ni kayak y nnt
2021-11-15
0
dear no one
hmmm alamat marathon baca novel ini
2021-10-03
2
Chybie Abi MoetZiy
oalaaaahh...,. ternyata.!!!!!
truz knp skrng kyk yg musuhan. . apa krna om nya disa nikah dm mama nya ya..???
inisih kayak yg ad hati tp gengsi c damar nya...
#lanjutbacalagi
2021-07-09
0