“Tante, Disa ke kampus dulu yaa..” pamit Disa saat melihat Meri yang masih terbaring di tempatnya semula.
Ia meraih tangan Meri untuk ia cium dan meminta restu wanita ini dalam hatinya.
“Hem..” hanya itu jawaban Meri.
Disa mengabaikan saja sikap dingin Meri dan memilih untuk berangkat ke kampus.
Dengan sebuah bis Disa bergegas menuju kampusnya. Pagi yang ramai dengan orang-orang yang sama-sama sibuk memulai rutinitasnya, membuat Disa harus berjejalan saat naik bis dan terpaksa berdiri sambil berpegangan pada besi di depannya. Ia memeluk beberapa buku di dadanya. Ia berharap tidak terlambat karena kelas akan segera di mulai.
Seperti biasa, kampus sudah mulai ramai dan anak-anak mulai memenuhi ruangan kelas. Disa duduk di tempat biasa, kursi paling belakang di samping jendela. Ia mulai mengeluarkan buku sketsa yang sudah disiapkannya sejak beberapa hari.
“Lo bikin aksesoris apa?” tanya seorang gadis yang tidak lain adalah Rianti, teman sekampusnya.
“Oh hay ri, gue bikin design gelang.” Tutur Disa seraya menunjukkan sketch book-nya.
“Wah bagus sa,, Materialnya apa?” Rianti melihat dengan seksama design milik Disa.
“Emm... Gue ngebayangin ini terbuat dari biji pandan yang diukir dan dibentuk diamond.” Disa membayangkan biji-bijian tersebut di benaknya.
“Biji pandan?” Rianti tampak penasaran dengan ide unik milik Disa.
“Iyaa... Di beberapa daerah banyak yang menanam pandan dan menjadikannya tikar tapi untuk bijinya jarang diolah. Nah, kalo bisa bikin aksesoris dari biji pandan dan sampe terkenal, akan banyak orang yang mendapatkan keuntungan bukan?” tutur Disa meyakinkan Rianti.
“Heemm... Iya juga sih... Sumber bahannya banyak yaaa...” Sepertinya Rianti mulai menyukai ide Disa.
Disa hanya terangguk seraya tersenyum. Ia kembali menggoreskan pensilnya di atas sketch book untuk merapikan design yang di buatnya.
Memperhatikan Disa yang tampak serius, sepertinya Rianti ingin mengatakan sesuatu. Ia menopang dagunya dengan tangan kanan dan pandangannya tidak lepas dari teman sekelasnya. “O iya sa, gue ngeliat nama lo di papan pengumuman. Kalo gag salah lo di suruh ngehadap dosen kemahasiswaan.” ujarnya dengan ragu.
“Oh ya? Kapan?”
“Kurang tau persis kapan, tapi coba lo liat lagi di papan pengumuman.” Terang Rianti.
Tanpa menunggu lama Disa segera membereskan bukunya dan bergegas menuju ruang dosen kemahasiswaan. Rasanya ia tahu apa yang menyebabkan ia harus menghadap.
****
Saat ini Disa tengah duduk di hadapan dosen pembimbing akademiknya. Ia mendapat surat panggilan untuk ke tiga kalinya karena masalah biaya kuliah. Tangan Disa masih gemetar saat melihat surat yang ditujukan untuknya.
“Disa, saya paham, untuk masalah ekonomi memang cukup berat. Saya juga sudah bantu untuk menjelaskan ke pihak kampus dengan menunjukkan bukti nilai kamu yang sangat baik. Tapi, peraturan tetaplah peraturan. Kamu bisa terancam DO dari sini.” Tutur Hilman, dosen kemahasiswaannya.
Disa memang anak yang cerdas. Ia kerap mendapatkan nilai nyaris sempurna di tiap semesternya selama 2 tahun perkuliahan. Tapi lagi, masalah ekonomi harus membuatnya mengurungkan niatnya untuk lulus dari salah satu universitas unggulan ini.
Disa terangguk paham. Setelah Damar yang terpaksa DO dari kampus, mungkin kali ini gilirannya.
Melihat ekspresi wajah Disa, rasanya Hilman sedikit iba. Disa memang salah satu mahasiswi terbaik. Selain ia memang mumpuni di kelasnya, ia pun sangat jago melukis. Ruang seni kampus banyak memajang lukisan buatannya yang terlihat begitu artistik.
“Disa, boleh saya ngasih saran?” Hilman menatap lekat wajah manis di hadapannya. Disa terangguk seraya mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. “Saya tau ini bukan solusi tapi, bagaimana kalau kamu mengajukan dulu cuti kuliah?”
“Maksud bapak?”
Hilman menghela nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. Ia mencondongkan tubuhnya pada Disa dengan suara yang lebih pelan.
“Saat kamu cuti kuliah, kamu di bebaskan dari biaya kuliah yang harus kamu bayar tiap semesternya. Kamu bisa cuti maksimal 2 tahun dan selama itu kamu bisa mengumpulkan biaya kuliah. Jadi saat kamu ingin melanjutkan kembali kuliah kamu, kamu tidak perlu memulainya dari awal lagi. Bagaimana?”
Disa hanya bisa terpaku seraya menatap sang dosen di hadapannya. Ia masih perlu berpikir dan belum bisa memutuskan. 2 tahun memang waktu yang cukup lama tapi ia tidak bisa menjanjikan dalam 2 tahun ia bisa mengumpulkan biaya untuk kuliah.
“Saya akan memikirkannya pak.” Hanya itu jawaban sementara Disa yang di angguki paham oleh Hilman.
"Kabari saya saat kamu sudah membuat keputusan."
"Baik pak, terima kasih." tandas Disa kemudian.
Disa beranjak dari tempat duduknya, melangkahkan kakinya gontai keluar dari ruangan Hilman. Di tangannya masih ada surat pemberitahuan dari kampus yang entah harus ia apakan. Pikirannya kosong, ia bahkan belum tahu harus seperti apa ia menyampaikan berita ini pada Meri dan tentu saja pada neneknya, Jenar.
"Cucuku calon sarjana, nanti kampung kita akan merasa bangga." Masih teringat jelas di benak Disa saat kalimat penuh kebanggan itu diungkapkan Jenar.
Disa menghela nafasnya dalam, berusaha menghilangkan rasa sesak yang tiba-tiba datang. Tangannya meremas kertas yang ada di tangannya, mungkin ia tidak bisa mewujudkan harapan Jenar.
"Maaf nek,.." gumamnya dengan berat hati. Ia menarik nafasnya dalam dan mengurut dadanya yang terasa ada yang mengganjal.
“Duk!” karena melamun, tanpa sengaja Disa menabrak seorang laki-laki.
“Maaf..”
“Maaf..” ujar keduanya bersamaan.
Disa segera mengusap air matanya dan menengadahkan wajahnya sebelum menatap laki-laki jangkung yang ada di hadapannya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya laki-laki tersebut saat melihat mata Disa yang masih basah.
Disa hanya terpaku. Laki-laki tampan di hadapannya terasa menyihir matanya untuk tidak berkedip. Seperi ada matahari yang menjadi latar laki-laki dengan tampilan rapi dan klimis ini. Di tangannya ia membawa sebuah buku tebal dengan tas punggung yang terlihat berat. Sungguh menyilaukan mata sendu Disa.
“Kamu tidak apa-apa?” laki-laki tersebut mengulang kalimatnya seraya mengibas-ibaskan tangannya di depan mata Disa.
“Oh iya, saya baik-baik saja.” Sahut Disa yang gelagapan. Laki-laki itu tersenyum tipis, sangat manis dan nyaman di pandang mata.
“Kamu mahasiswi di sini?” tanya laki-laki itu selanjutnya.
Disa mengangguk. “Dan sebentar lagi akan menjadi alumni dengan catatan khusus.” Lirihnya yang tidak begitu terdengar oleh laki-laki tersebut.
“Saya mencari ruang dekan, di sebelah mana ya?”
Kali ini Disa memandangi laki-laki itu lebih seksama. Dari penampilannya sepertinya ia bukan mahasiswa.
“Di lantai 5..” Disa refleks mengacungkan telunjuknya ke atas.
“Okey, terima kasih.” Timpal laki-laki itu seraya tersenyum. Disa hanya mengangguk pelan, matanya masih mengikuti arah langkah laki-laki tersebut hingga menghilang dari pandangannya.
“Cakep banget... Kenapa aku baru liat pas udah mau keluar dari kampus ini?” lirihnya.
Ada raut kecewa di wajah manis Disa. Mengingat penampilan laki-laki tersebut membuat Disa menghadapkan tubuhnya pada kaca jendela di sampingnya. Ia memegang baju yang di pakainya lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar.
“Astaga, kasta kami berbeda. Kamu mikir apa disa...” gumam Disa seraya mengacak rambutnya kesal.
Ya jelas sangat berbeda. Laki-laki tampan yang rapi dan wangi dengan outfit modern dan pasti berharga fantastis dengan dirinya yang hanya mengenakan celana jeans nyaris belel dengan kemeja putih yang mulai berubah warna menjadi warna gading. Sangat jauh bandingannya.
“Sudahlah disa, bukan waktunya untuk memikirkan khayalan menjadi cinderela.” Gumamnya seraya berlalu pergi meninggalkan bangunan kampus yang mungkin akan menjadi tempat ia memulai sekaligus mengubur semua mimpinya.
****
Meninggalkan bangunan megah kampusnya, Disa pergi ke tempat peminjaman buku di dekat kampus. Ia bahkan tidak lagi menemui Rianti teman kuliahnya untuk sekedar berpamitan. Tugas terakhirnya sebagai mahasiswi ia serahkan langsung ke dosennya sebagai bentuk perpisahan. Mungkin benar, ia harus mulai mengakhiri mimpinya.
“Selamat siang pak, saya mau mengembalikan buku.” Sapa Disa pada seorang laki-laki paruh baya yang tengah menjaga toko bukunya. Laki-laki itu biasa di sapa Pak Hamid.
“Oh nak Disa, udah selesai bacanya?” ia mulai mencari nomor pelanggan Disa di komputer jadulnya.
“Sudah pak.” Disa mengembalikan kelima buku yang dua minggu lalu di pinjamnya. “Berapa pak? Buku yang ini saya telat 3 hari pengembaliannya.” Disa menunjukkan buku fashion “How to Be Parisian Wherever You Are: Love, Style, and Bad Habits” karya tangan - Anne Berest.
“Oh gag pa-pa, kamu pelanggan tetap toko ini jadi gag saya kenakan denda.” Ungkap Hamid dengan senyum lebarnya. “Oh iya, saya ada buku baru. Ini dikirim sama anak saya yang kerja di luar negri.”
Hamid tampak mengambil buku yang masih berada di dalam kardus.
“Nih buku barunya, The Little Dictionary of Fashion: A Guide to Dress Sense for Every Woman karya Christian Dior. Kamu pasti suka.” Hamid menyerahkan buku berhard cover warna abu tersebut pada Disa.
“Wah ini buku bagus pak...” Mata Disa terlihat berbinar-binar.
Tentu saja Christian Dior adalah salah satu fashion designer favorit Disa. Karena banyak membaca tentang tokoh inilah Disa mulai memiliki mimpi sebagai fashion designer di samping kecintaannya pada melukis.
“Ya udah, kamu baca dulu sambil menunggu hujan reda.” Timpal Hamid.
Disa menoleh ke belakang, benar saja, beberapa saat lalu hujan mulai turun. Untuk beberapa saat Disa memandangi butiran air yang turun semakin deras. Sepertinya ia memang tidak bisa pulang cepat. “Ya udah, saya pinjam dulu pak. Nanti bayarnya sekalian.” Sahutnya.
Hamid hanya mengangguk sebagai respon.
Disa memilih tempat di pinggir kaca jendela untuk membaca buku di tangannya. Tidak jauh dari tempatnya juga ada beberapa orang yang juga asyik membaca berbagai buku ataupun komik. Disa memesan minuman hangat untuk menemaninya menghabiskan waktu.
“Eh, nak reza... Ayo masuk nak..” sambut Hamid beberapa saat setelah suara ketukan di kaca jendela berbunyi.
Seorang laki-laki masuk dan membuat riuh suasana karena bisik-bisik para gadis.
“Apa kabar pak? Lama gag ketemu.” Laki-laki bernama Reza itu menjabat tangan Hamid kemudian menciumnya dengan sopan.
“Iya lama gag ketemu, ayo kita ngobrol di sana.” Hamid mengajak Reza masuk ke salah satu ruangan yang sepertinya ruang tamu rumah sekaligus toko Hamid. Mereka menghilang di balik tembok ruangan tersebut.
“Itu kayaknya mahreza adji, sang pianist itu kan?” bisik salah satu wanita pada rekannya.
“Iya, kabarnya dia akan mengajar di fakultas seni. Waahh seneng banget dong yaa anak seni dapet dosen ganteng level malaikat gitu.” Ungkap gadis satunya. Mereka terkekeh lirih seraya menyembunyikan wajahnya di balik buku.
Disa hanya melirik kedua gadis tersebut saat Disa mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tidak terlihat laki-laki tampan mana pun. Ia kembali fokus pada bukunya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
abdan syakura
huhhhhhh
Semangat,Disa!!!!!
2023-01-29
0
Sumiati Somad
lanjut
2021-07-24
1
Dila
sedih sekalo kisah hdup disa, aku sampe nangis
2021-06-21
0