Kemarahan Kean masih belum hilang saat ia masuk ke dalam mobilnya. Tangis wanita itu benar-benar mengganggu pikirannya. Sudah sering kali ia mendengar wanita menangis karena cintanya ia tolak tapi tidak pernah sedalam dan semenyakitkan yang beberapa saat lalu ia dengar.
Saat tangis itu terdengar, baru sekitar 10 menit ia bisa memejamkan mata dan mengendalikan pikirannya yang berantakan. Percayalah, tidak hanya gadis itu yang memiliki masalah dan ingin menangis.
“Shhiittt!!! Kepala gue sakit banget lagi!” gerutu Kean seraya mengacak rambutnya yang sudah tidak beraturan.
Sisa-sisa pomade yang mengatur tatanan rambut rapinya kini sudah hilang dan membuat rambutnya tegak berdiri siap meledakkan balon kapan saja. Wajah sudah tidak karuan, tidak lagi terlihat wajah tampan khas pria asia yang selalu membuat para gadis terpesona dan berteriak histeris. Terlalu kuat ekspresi dingin yang terlihat di wajahnya.
Tubuh tegap dan jangkungnya melengkung tengkurap dengan setir mobil sport-nya sebagai sandaran. Ia membentur-benturkan kepalanya ke stir tapi rasa pusingnya tidak kunjung hilang.
Berkali-kali hembusan nafas kasar tersengar dari sela bibirnya yang berisi. Ia menatap jalanan sepi dengan pencahayaan minim yang ada di hadapannya. Sudah jam 2 dini hari dan tidur selama 10 menit saja begitu sulit bagi Kean.
Begitulah Kean, di siang hari ia bekerja seperti orang gila walau tidak di apresiasi dan di malam hari ia berkeliling mencari kesibukan atau tempat yang sekiranya bisa membuat ia terlelap dan melupakan semua masalahnya.
Penyakit Claustrophobia telah benar-benar menyiksanya. Bahkan di dalam rumahnya sendiri ia tidak bisa merasakan ketenangan. Hanya rasa pengap dan sesak yang selalu menyiksanya.
Mesin mobil produksi itali milik Kean kembali menyala. Ia mulai melajukan mobilnya perlahan menyusuri garis pantai yang tadi ramai pengunjung. Jika biasanya ia memacu kendaraannya di atas kecepatan 100 km/jam, kali ini mungkin hanya 20 km/jam. Jendela dan atap mobilnya pun ia biarkan terbuka. Rasanya ini lebih baik dari pada merasa terkurung sendirian.
Banyak hal yang berkecambuk dalam pikiran Kean , tidak hanya masalah phobianya tapi juga masalah kehidupannya.
“Sebagai anak laki-laki, kamu harus memiliki rasa tanggung jawab dalam diri kamu. Apa pun yang kamu lakukan, bertanggung jawab adalah hal utama yang harus dilakukan seorang laki-laki. Jangan lari atau kabur atas perbuatan dan tindakan kamu sendiri.” Kalimat itu terus terngiang di telinga Kean sejak siang tadi.
Adalah Sigit Hardjoyo yang menyampaikan kalimat itu dengan tatapan tajam dan penuh kekecewaan. Baru 2 bulan ia pulang untuk meneruskan salah satu anak perusahaan sang ayah. Namun bukannya membuatnya semakin baik, Kean malah membuat perusahaan rugi hingga milyaran rupiah. Sejarah terkelam perusahaan, ia sendiri yang membuatnya.
Dunia bisnis memang tidak selamanya mulus, banyak kerikil tajam dan batu sandungan yang di hadapi. Namun kondisi terendah seperti ini tidak pernah terbayang dalam pikiran Kean. Kean yang terbiasa bermain-main dan menikmati kekayaan orang tuanya, kali ini diberi tanggung jawab besar oleh ayahnya. Menghamburkan uang sebagai pelampiasan kemarahan dan rasa sepinya, menjadi satu-satunya yang ia lakukan.
Kepulangannya ke Indonesia adalah bentuk paksaan dari orang tuanya. Sang pewaris yang di gadang-gadangkan ayahnya namun di balik itu ia hanya boneka yang tidak memiliki hak untuk berkeinginan apa lagi mengikuti kata hatinya. Ia bahkan bingung, apa yang ia inginkan. Terlalu banyak penentangan dan pergolakan dalam hati dan pikirannya.
Satu kesalahan telah membuatnya jatuh ke lubang terdalam dan nyaris kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya. Untuk alasan itulah ia memerlukan waktu untuk menyegarkan pikirannya. Memikirkan setiap cacian dan tatapan kecewa dari orang-orang yang berada di bawahnya. Tidak kompeten, mungkin itu 2 kata yang cocok di sandingkan dengan dirinya.
Kean masih terus melajukan mobilnya membelah jalanan sepi. Entah ke mana tujuannya, yang jelas ia sedang tidak ingin pulang.
*****
“Krieett...” Disa memutar handle pintu perlahan dan mendorongnya untuk membuka daun pintu yang berat dan kerap berbunyi nyaring saat di buka.
Rumah masih tampak sepi, belum terlihat Meri yang berjibaku mengolah makanan untuk ia jual di siang hari. Disa segera menuju kamarnya yang hanya cukup untuk tempat tidur nomor 3, kamar mandi 1x1 meter dan sebuah lemari yang berdampingan dengan meja rias. Tidak ada jarak yang jauh antara tempat tidur dengan mulut kamarnya. Hingga ia bisa langsung menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur begitu sampai di mulut pintu.
“Huft, cape banget...” Disa membaringkan tubuhnya terlentang di atas tempat tidur. Penampilannya yang tidak karuan dan bau matahari sudah tidak ia hiraukan lagi. Ia hanya ingin memejamkan mata dan mengistirahatkan sejenak tubuhnya.
Disa mengangkat kedua kakinya dan menyandarkannya di dinding kamar. Ia memandang sepasang kaki yang terlihat bengkak di bagian punggung kakinya. Terang saja selama lebih dari 12 jam ia berdiri di tambah harus mengayuh sepeda bolak-balik untuk bekerja tentu membuat betisnya ikut berkedut ngilu.
Atas keibuan, bawah kesebelasan, sepertinya sindiran itu memang cocok disematkan padanya.
Disa menatap kedua kakinya lalu memijatnya perlahan. Ia masih bersyukur memiliki sepasang kaki yang kuat. “Kaki, terima kasih sudah berusaha sangat kuat. Walau kita mendapatkan hasil yang sedikit tapi kita sama-sama tidak menyerah.” Ungkap Disa. Kali ini pandangannya beralih pada kedua tangannya. “Tangan, terima kasih sudah berusaha sangat kuat. Walau kita kesulitan, kita tidak pernah menengadah untuk meminta sesuatu yang bukan hak kita.” lanjutnya Disa seraya membunyikan satu per satu jarinya yang terasa pegal.
Terdengar helaan nafas dalam dari mulut Disa yang perlahan memejamkan matanya dan terlelap dalam tidurnya yang singkat. Ya, tidur singkat sebelum Meri kembali membangunkannya yang menyuruhnya membantu menyiapkan barang dagangan.
*****
Cicitan burung terdengar jelas di telinga Disa memaksanya untuk membuka mata. Dengan daun mata yang baru terbuka setengahnya, ia bisa melihat cahaya matahari yang sudah terang menerobos tirai kamarnya.
“Astaga! Kelewat subuh!” seru Disa yang sadar ia sudah kesiangan. Ia segara bangun namun dalam beberapa saat terdengar ia mengaduh. “Adduuhh kesemutan lagii..” Ia merasakan kakinya yang sebagian kesemutan dan sebagian lagi kebas.
Rupanya karena terlalu lelah dan tertidur pulas ia lupa menurunkan kakinya yang menempelkan ke dinding. Untuk beberapa saat Disa hanya bisa berguling-guling di atas tempat tidurnya seraya menunggu rasa kesemutan dan kebasnya hilang.
Sudah jam 8 pagi dan Disa belum bersiap apa pun. Ia segera masuk ke kamar mandi dan melakukan ritual mandi cepatnya. Ada yang aneh dengan hari ini, Meri tidak meneriakinya ataupun menggedor pintu kamarnya. Entah karena Disa terlalu lelap sehingga tidak mendengar atau karena alasan lain. Setelah memakai bajunya, Disa segera menghampiri Meri yang pasti sudah ada di dapur.
Disa keluar kamarnya dengan berjinjit. Ia celingukan mencari seseorang di dapur, tapi sepertinya Meri tidak ada di sana. Di lihatnya meja makan yang hanya ada nasi kering dan sebungkus kerupuk serta sambal, menu biasanya yang tersaji setiap hari.
“Mana lapar, gag punya uang lagi.” Gumam Disa seraya mengusap perutnya yang keroncongan.
Terdengar suara televisi yang menyala di ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Barang yang dilarang untuk dinyalakan karena menghabiskan banyak listrik itu kali ini terdengar begitu heboh. Suara tawa bersahutan yang sepertinya suara para artis membawakan acara musik. Disa memberanikan diri untuk mengintip.
Dari balik dinding Disa mengintip dan tampak Meri yang sedang terbaring di sofa dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Disa segera mendekat.
“Tante sakit?” tanya Disa dengan ragu.
“Kamu pikir tante sedang malas-malasan.” Selalu, ketus adalah bagian tidak terpisahkan dari Meri.
Disa hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O tanpa suara. Ia duduk di dekat ujung kaki Meri yang menggunakan kaos kaki sementara di pelipis kiri dan kanannya di tempeli koyo cabe.
“Kita gag jualan hari ini tan?” Disa menoleh etalase di depan rumahnya yang tampak kosong.
“Mau jualan gimana, ada anak perempuan tapi jam segini baru bangun.” Timpal Meri dengan lirikan tajam.
“Maaf tante, disa kesiangan.” Lirihnya seraya meraih kaki Meri untuk ia pijat.
“Kamu dari mana semalem, tengah malem belum pulang! Mau sok-sok-an ngerayain ulang tahun di ancol?” sinis Meri tanpa menoleh Disa.
“Em, nggak tante. Semalem Disa kerja.” Lirihnya dengan cepat. Terdengar hembusan nafas kasar dari mulut Meri saat mendengar jawaban Disa.
“Jangan alesan! Kalo kerja ya harus ada hasilnya.” Sindir Meri yang kembali fokus menatap layar televisinya dan mengganti chanel untuk mencari acara gosip favoritnya.
Ingin rasanya Disa mengatakan kalau kakak sepupunya lah yang mengambil uangnya tapi ia urungkan, ia tidak mau menambah beban pikiran Meri.
Selama ini Meri sudah sangat bekerja keras. Baginya Damar adalah putra kesayangannya yang sangat ia banggakan. Jika sekarang Disa menceritakan kelakukan Damar selama ini, tentu ia akan sangat sedih.
Dulu kondisi ekonomi keluarga Meri tidak sesulit sekarang. Mereka memiliki kehidupan yang cukup karena Sugih, mendiang om Disa, bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit. Namun sepeninggal Sugih 2 tahun lalu, keadaan ekonomi keluarga ini mulai terpuruk.
Meri bekerja dengan menjual masakan dan kue-kue kecil, sementara Damar bekerja di salah satu bengkel dekat rumah mereka. Kuliah Damar harus terhenti karena mereka tidak sanggup untuk membayar biaya kuliahnya. Saat ini sudah cukup beruntung bagi Disa, Meri masih mau merawatnya. Padahal sepeninggal Sugih, mereka tentu sudah bukan siapa-siapa lagi.
Jadi, seketus dan sekasar apa pun Meri saat ini, Disa masih bisa bersyukur ada rumah tempat ia pulang dan masih ada orang-orang yang bisa ia anggap sebagai keluarga. Berdo'a saja semoga suatu saat hati Meri melunak.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Cahya Zanara
aku baru nemu novel ini... sampai bab ini aku udah ngerasa ketagihan dengan ceritanya.. penulisannya juga rapih.. enak banget dibaca.. moga aja jalan ceritanya sesuai harapanku..
oke aku lanjut baca lagi deh thor.. 😊😊
2021-11-24
0
Moonlight
sejauh ini q baca bagus ni kata ma kalimat y alur y jg gx neko" kerennnn
2021-11-15
0
Ida Ardiansyah
sama aku jugaaa.....
2021-11-07
0