Marry The Heir
POV: Disa
“Siiuuttt… dhuarr…. Siuuttt… dhuaarr…”
Suara petasan dan kembang api saling bersahutan memeriahkan malam pergantian tahun baru. Langit malam yang gelap berubah terang seketika saat semburat percikan kembang api menerangi hitamnya langit yang hanya di temani beberapa gemintang.
Bibirku selalu latah ikut merekah saat melihat orang-orang tersenyum dan tertawa melewati malam pergantian tahun yang tidak pernah sepi dari keriangan dan dentuman live musik yang dimeriahkan oleh para penyanyi terkenal ataupun sekedar tawa yang menggelegar meluapkan kebahagiaan.
Semua berpesta pora seolah semua yang mereka lewati di tahun lalu hanya jadi cerita dan menyambut hari baru dengan harapan baru.
Aku masih di sini, di dalam kostum badut karakter winnie the pooh yang sedari siang tadi aku kenakan. Rasa panas dan gerah sudah menjadi kawan dan tidak lagi berarti apa-apa saat aku melihat kebahagiaan mereka. Anak-anak kecil berlarian mengelilingiku dan tertawa dengan ceria. Sesekali mereka mengajakku berfoto, sesekali mereka menciumku dan sesekali pula mereka jahil mendorongku. Semuanya sudah terlalu biasa untukku mendapat perlakuan seperti ini.
Bukan tanpa alasan aku ikut merasa senang pada hari ini. Jika dilihat dalam kalender masehi, hari ini tepat usiaku 20 tahun. Kata mendiang ayah dulu, aku terlahir saat detikan jam dari puncak tertingi bergeser sepuluh detakan ke kanan mereka menyambut kelahiranku dengan tangis haru dan ucapan syukur.
Aku selalu merasa, orang-orang ikut merayakan kelahiranku. Dalam imajinasiku, aku adalah seorang tuan putri dengan gaun indah yang tengah mengadakan pesta. Bukan sebagai cinderela tapi aku adik pangeran Henry. Lucu bukan, aku bahkan menciptakan karakter imajinasiku sendiri untuk menyenangkan hatiku.
Sayangnya, rasa bahagia itu begitu mudah hilang. Imajinasi itu begitu mudah terhapus. Seperti halnya percikan kembang api yang menyala indah di langit gelap, kebahagiaan itu pun begitu mudah hilang tanpa bekas seiring padamnya percikan indah itu.
Bagiku semuanya semu dan bagiku semuanya hanya sesaat. Mereka menghilang bersamaan dengan tawa yang mulai meredup dan kembali meninggalkanku sendirian. Seperti halnya nyala Chrysanthemum yang mulai padam. Ibu pun pergi di detakan ke 60 setelah kelahiranku. Tanpa sempat memelukku tanpaa sempat mengecupku atau sekedar berkata, "Hay bayiku,.."
“Tuhan, engkau mengambil semua milikku. Tapi lihat, aku masih bisa berdiri dan tersenyum. Tidakkah engkau merasa kesal karena aku terlalu kuat?”
Kalimat itu yang aku ucapkan setiap malam kelahiranku. Ya, tuhan telah mengambil semuanya tapi aku tidak akan meratap. Bahkan, aku tidak pernah meminta apapun di hari ulang tahunku. Bisa berdiri tegak melewati setiap masalah yang memberi warna dalam hidupku, sudah karunia terbesar yang tuhan berikan. Lantas, apa lagi yang harus aku minta?
******
“Wah pendapatanku cukup banyak…” seru Disa dalam hati. Begitu biasa gadis manis itu di panggil.
Ia mulai menghitung lembaran rupiah yang ia keluarkan dari saku depan kostumnya. Rambutnya masih sangat berantakan selepas ia melepas kepala Winnie the pooh yang menutupi kepalanya seharian. Hembusan angin malam ikut menerbangkan bau asam keringat dari helaian rambutnya yang tebal.
“Enam, tujuh, delapan, tambah ini receh tujuh ribu lima ratus. Yes! Enam ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah!” seru Disa seraya mengepalkan tangannya ke udara dengan senyum terkembang.
Hal paling menyenangkan saat bekerja seperti ini adalah bisa mendapatkan banyak uang tips. Dikepalanya sudah mulai tersusun rencana apa saja yang akan ia lakukan dengan uang tersebut. Disa melipat uangnya dan mencengkramnya kuat-kuat. Sesekali ia menciuminya dengan gemas.
“A pooh, terima kasih sudah menemaniku. Aku akan mencucimu dan menghilangkan semua noda eskrim di wajahmu. Lihat, kamu semakin menggemaskan!” Disa mencubit dan menciumi pipi Winnie the pooh yang ia peluk di depan perutnya.
Ia tersenyum sendiri dengan rasa syukur dalam hatinya saat mengingat hari yang cukup menyenangkan ia lewati bersama Winnie the pooh yang di pakainya. Ia selalu tersenyum, seperti halnya Disa dengan lengkungan bibir tipisnya yang tidak pernah pudar. Sesulit apapun hari yang ia hadapi, nyatanya terasa lebih ringan saat ia masih bisa tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri.
“Dengan uang ini aku akan mengirimi nenek dan sebagian buat tante meri. Lalu sebagian lagi aku tabung buat bayar kuliah. Ya, bayar kuliah.” Gumam Disa seraya menengadahkan wajahnya memandangi langit malam.
Selesai dengan rencananya, Disa segera beranjak pergi menemui teman-temannya sesama badut. Suasana arena permainan yang mulai sepi, membuat Disa merasakan perubahan drastis dari banyaknya tawa menjadi sangat hening. Fairy horse pun sudah berhenti berputar dan lampunya sudah seluruhnya padam.
“Astaga!!” langkah Disa terhenti dan terperanjat di tempatnya saat mendapati sosok laki-laki yang sedang berdiri menghadang jalannya.
“Mana bagian gue?” tanya laki-laki yang saat ini menengadahkan tangannya pada Disa.
Disa segera menyembunyikan uang dalam genggamannya di belakang tubuhnya.
“Jangan sekarang ya kak, aku cuma dapet dikit.” sahut Disa dengan gugup.
Sepertinya wajah memelas Disa tidak menyurutkan langkah laki-laki yang kini justru malah mendekat. Ia berdiri tepat 2 langkah di depan Disa dan menatapnya dengan tajam.
“Lo tau kan, selain gue bisa minta baik-baik gue juga bisa ngambil secara paksa?” Damar berbisik di telinga Disa, membuat nyali gadis itu menciut. Terang saja, ia sudah bisa mengira apa yang bisa dilakukan Damar kalau ia menolaknya.
Disa hanya bisa mengerjapkan matanya dan menelan salivanya kasar. Dengan tangan gemetar ia menunjukkan uang yang ada di tangannya.
“Sret!” Damar mengambil lembaran uang utuh dari tangan Disa.
“Wuihhh, banyak juga!” seru Damar dengan seringai tipis dan tatapan tajamnya. Ia menghitung jumlah rupiah di tangannya sedang senang hati. “Buat lo, segitu cukup kan buat beli telor sama kerupuk?” imbuh Damar dengan puas.
Disa menatap uang receh di tangannya. Ya lumayan cukup untuk 3 butir telur dan sebungkus kerupuk, makanan favoritnya. Bukan, menu putus asanya.
“Tapi kak, aku harus..”
“Sssttt!!!!” Damar menempatkan telunjuknya di bibir. “Inget, adik yang baik akan selalu nurutin perintah kakaknya.” Lagi, tatapan Damar begitu mengintimidasi.
Disa yang semula menengadahkan wajahnya menatap wajah Damar yang berada di atasnya, hanya bisa terangguk kemudian menunduk. Matanya mulai memerah dengan jemari saling memilin. Damar hanya berdecak sebal melihat ekspresi adik sepupu tirinya. Ia memalingkan wajahnya karena enggan melihat wajah sendu itu lagi.
Dalam beberapa saat Damar beranjak pergi meninggalkan Disa tanpa rasa bersalah. Bukankah ini memang bukan pertama kalinya Damar melakukan hal ini? Tentu saja ia sudah sangat terbiasa.
Kembali terlintas di pikiran Disa bayangan wajah sang nenek yang sudah lebih dari sebulan tidak ia kirimi uang. Disa segera menyadarkan dirinya dan menghampiri Damar.
“Kak, jangan di ambil semua, aku butuh buat nenek.” Disa meraih tangan Damar namun Damar mengibaskannya dengan kasar. “Kak, aku mohon....” kali ini Disa terisak.
“Pergi sebelum gue ngelakuin hal gila!” gertak Damar tanpa menoleh Disa sedikitpun.
“Aku gag akan pergi, aku butuh,”
“PERGI!!!!!” teriak Damar membuat Disa terpaku di tempatnya. Bibirnya mengatup kuat dan sedikit bergetar menahan tangis.
Rasanya kakinya mulai lemas mendengar teriakan Damar padanya. Jantungnya berloncatan dan berdebar sangat kencang. Teriakan Damar tidak hanya mengagetkannya, lebih dari itu telah menyakiti hatinya.
Disa tidak lagi bergeming, ia membiarkan saja Damar pergi membawa semua uangnya.
“ARGH SHIT!!!” hanya suara dengusan itu yang Disa dengar sebelum Damar berlalu dari hadapannya.
Dalam beberapa saat pikiran Disa kosong. Ia melangkahkan kakinya tidak tentu arah. Malam semakin kelam dengan buliran air mata yang menutupi korneanya dan bisa menetes kapan saja.
Dari kejauhan ia melihat bangku kosong. Tujuannya saat ini ia hanya ingin sampai di sana agar ia tidak terjatuh karena tubuhnya yang terasa lemas. Ia butuh sandaran.
Disa mendudukkan tubuhnya di bangku berwarna coklat. Ia mulai terisak dengan bahu yang bergerak naik turun. Walau Damar tidak pernah benar-benar melakukan kontak fisik tapi dari gertakannya Disa bisa membayangkan apa yang akan dilakukan kakak sepupu tirinya yang kerap mabuk-mabukan. Mungkin Damar akan benar-benar menghajarnya.
Disa hanya bisa menangis, usahanya seharian tidak berarti apa-apa.
“Aaaaahahhahaha... Kak damar, kamu jahat kak....” tangis Disa kali ini benar-benar pecah, ia menangis sejadinya mengupati sang kakak. Kedua tangannya menutup wajahnya yang tengah menangis.
“Kamu tau aku udah cape-cape, gag makan seharian, dehidrasi dan tubuhku bau matahari. Tapi gampang banget kamu ngambil uang dari aku. aku salah apa hah, aku salah apa?!” teriak Disa memaki laki-laki yang ada di pikirannya.
“WOY!!! BERISIK!!!” seru sebuah suara di belakangnya. Disa terdiam seketika dengan mulut yang mengatup rapat. Segukan tangisnya pun ia coba tahan.
Ini kali kedua ia mendapat bentakan dan lebih keras dari yang dilakukan Damar. Bayangkan saja, rasanya jantungnya akan jatuh melorot ke dasar perutnya yang mulai terasa mual. Entah mengapa orang-orang begitu suka membentaknya.
Rupanya, tanpa ia sadari, bangku di belakangnya di tempati oleh seseorang yang tengah berbaring dan harus terbangun karena mendengar tangisan dan umpatan Disa. Disa tidak berani menoleh sedikitpun tapi dari suaranya yang berat dan dalam, ia yakin itu adalah suara seorang laki-laki.
Dalam pikirannya, laki-laki itu bertubuh tegap dan berotot tebal. Mungkin alisnyapun menukik seperti angry bird. Tidak terbayang betapa tajam tatapan mata yang mungkin tertuju padanya dan kesepuluh jarinya memiliki cakar yang bisa mencabik-cabik tubuhnya menjadi tidak berbentuk.
Disa bergidik sendiri, ia segera mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak bisa terlarut dalam imajinasinya yang terkadang menyiksa dirinya sendiri.
“Maaf om kalau saya mengganggu.” Lirih Disa dengan suara bergetar.
“Om kamu bilang?! Sejak kapan saya menikah dengan tante kamu?!” gertak laki-laki tersebut yang mulai beranjak dari tempat tidurnya.
Nyali Disa semakin menciut. Ia semakin tidak berani untuk menoleh ke belakang. Mungkin saja laki-laki itu sedang mengangkat pedang atau mengarahkan pistol ke kepalanya dan bersiap menembak Disa kapan saja kalau dia kembali salah bicara.
Disa segera memakai kepala Winnie the pooh yang ada di pelukannya. Nafasnya memburu dan tubuhnya gemetaran, ia ingin bersembunyi dan menyelamatkan dirinya.
“Maaf, saya tidak akan menganggu lagi.” Ucapnya seraya beranjak pergi dengan langkah cepatnya.
“Woyy!! Saya belum selesai bicara!!! Kamu menganggu tidur saya dan malah kabur. Woooyy tanggung jawab lo!!!!” teriak laki-laki itu.
Disa semakin mempercepat langkahnya walau kepayahan karena kostum yang di pakainya, ia memilih terus berjalan menjauh dengan tergesa-gesa. Beberapa kali ini hampir terjatuh tapi rasa takutnya membuat Disa berusaha bertahan.
Ia membayangkan mungkin laki-laki itu tengah mabuk dan bisa menyerangnya kapan saja. Astaga, imajinasinya kali ini benar-benar menyiksanya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Anfit Annisa Fitri Tangka
Minyakk pdg 1
2023-09-16
0
Ikha Ranni
hai Thor,..ini novel ketiga dr rumus cap cip cup. baru baca aja ku suka cara penulisannya..👍💝
2023-09-01
1
Khaanza
👍👍👍👍👍
2023-04-21
2