“Masalahmu di mana, Ma?” tanya Pram setelah memastikan Kailla benar-benar menghilang dari pandangan. Tertinggal ia berdua dengan mamanya, saling berhadapan di ruang keluarga.
Ibu Citra terdiam.
“Masalahnya karena selama ini Mama menjadikan diri sendiri tolak ukur untuk orang lain. Menjadikan pikiran mama itu standar kebenaran untuk menilai orang lain!” todong Pram, melempar jas kerjanya ke atas sofa. Wajahnya terlihat kaku, berusaha menahan kesal.
“Pram ....” Terdengar suara Ibu Citra setelah lama terdiam.
“Benar, kan? Karena istriku tidak mengikuti apa yang Mama inginkan, jadi istriku salah. Karena sifat istriku berbeda dari gambaran menantu ideal yang ada di pikiranmu, jadi istriku kekanak-kanakan, bodoh, berlebihan dan tidak bisa apa-apa. Kailla bukan istri yang baik menurutmu. Karena Kailla tidak sepertimu, jadi dia selalu salah. Bukankah standar itu kamu sendiri yang membuatnya, Ma?"
Ibu Citra lagi-lagi terdiam dan hanya sanggup menelan saliva.
“Stop berpikir seperti itu! Kalau mau menilai kekurangannya, tolong pertimbangkan kelebihannya juga. Itu baru adil. Jangan hanya mempermasalahkan kekurangannya, tetapi Mama menutup mata untuk semua kelebihannya. Mama sepertinya lupa, tidak ada seorang pun yang terlahir sempurna, termasuk Mama sendiri.”
“Pram maksud Mama bukan begitu,” ucap Ibu Citra berusaha menenangkan Pram yang mulai terpancing emosi.
“Orang-orang yang seperti Mama ini sudah terlalu banyak memenuhi dunia. Setidaknya Mama bisa menguranginya sedikit dengan mulai berubah dan belajar introspeksi diri! Sikap Mama itu yang memancing perselisihan, bukan apa yang dilakukan istriku.” Pram masih belum mau selesai.
Tampak pria dengan wajah lelah itu menggulung lengan kemejanya. “Kalau Mama merasa masih memiliki kekurangan, berhenti menilai kekurangan istriku. Satu hal lagi, jangan mencampuri urusan rumah tanggaku. Aku mau mengirim istriku kuliah ke bulan, kuliah ke planet lain. Itu urusanku. Aku sudah siap dengan risikonya.” Pram menghela napas setelah berbicara panjang lebar.
“Maafkan aku, Ma. Aku tahu, aku sedikit keras pada Mama. Hanya saja aku tidak suka Mama menjatuhkan istriku tepat di depannya. Karena di dalam rumah tangga kami, akulah yang mengatur semuanya. Aku yang memutuskan semuanya. Kalau mau komplain dan menyatakan keberatan, cukup datang padaku dan katakan alasannya. Aku akan mempertimbangkannya.” Pram sedikit melunak saat melihat mata indah mamanya berkaca-kaca.
“Pram, Mama hanya tidak suka Kailla kuliah dan menelantarkan anak-anak. Cucuku masih membutuhkan sentuhan ibunya.”
“Sampai kapan pun, anak-anak tidak akan pernah siap ditinggal ibunya. Aku hanya ingin pernikahan dan anak-anak tidak membatasi ruang gerak Kailla. Tidak membatasi kesempatannya belajar. Kailla masih bisa menyentuh anak-anak sepulang kuliah. Masih bisa bersama anak-anak di saat hari libur. Bahkan dia masih memberikan ASI sampai sekarang, masih menyusui. Dia baru sebulan kuliah, saat anak-anak sudah mulai diajarkan mengonsumsi makanan pendamping ASI. Bukannya saat masih bayi merah.”
Pram meremas rambutnya, kemudian berjalan mendekat ke arah Ibu Citra. “Aku tidak mau berdebat. Cintaku pada istriku dan cintaku pada Mama itu sama. Aku hanya ingin kalian bisa berdiri di perahu yang sama tanpa saling menjatuhkan. Karena saat Mama berusaha menjatuhkan Kailla, bukan tidak mungkin mama juga akan ikut terjatuh. Bukankah kalian di perahu yang sama?” Sebuah kecupan mendarat di pipi keriput Ibu Citra.
Dibisikannya kata-kata yang membuat Ibu Citra terbelalak. “Besok siang Kailla akan menemani Mama ke mal. Mama bisa belanja sepuasnya, Kailla akan membelikan semua yang Mama inginkan.”
“Hah!” Mata Ibu Citra membulat sempurna.
“Ya, aku serius. Bawa si kembar bersama kalian. Bawa juga asisten si kembar dan Donny.
“Ya Tuhan, ini jalan-jalan atau parade?” keluh Ibu Citra, membayangkan berapa banyak asisten yang harus mereka bawa saat ke mal. Ada Donny, ada Ricko, ada si gila Sam dan yang tak kalah gila adalah asisten baru yang mengawal si kembar, Tom.
“Nikmati saja!” Pram tergelak sembari memeluk mamanya. “Apa Mama menyukainya?” tanya Pram, berbisik.
“Ya, kamu putra terbaikku,” ungkap Ibu Citra dengan kebahagiaan berlipat ganda. Terbayang, besok dia dan menantunya akan menikmati acara belanja mereka.
“Hahaha! Mama tahu ... putramu ini tetap menjadi yang terbaik untukmu selama masih memiliki istri seorang Kailla. Mama bayangkan andaikan aku menikah dengan perempuan lain.”
“Kailla tidak pernah mempermasalahkan, aku mau memberi uang seberapa banyak pada Mama. Tidak pernah iri pada Mama. Tidak pernah mempermasalahkan cinta yang kuberikan padamu, Ma. Mama harus tahu ... kalau aku menikah dengan perempuan lain, bisa saja istriku meminta untuk mengirim Mama ke panti jompo.” Pram menakuti Ibu Citra.
“Mama tidak mau tinggal di panti jompo.” Ibu Citra bergidik.
“Hahaha ... aku harus menemani si kembar dulu,” pamit Pram mengulum senyuman.
“Oh ya, Mama makan malam di sini, kan?” tanya Pram berbalik badan.
Ibu Citra mengangguk.
***
Kailla sedang duduk di depan meja rias saat Pram masuk ke kamar. Jemari tangannya dengan lincah memoles tipis bedak wajah telanjang tanpa make up setelah selesai mandi sore.
“Sudah mandi?” tanya Pram sambil membungkuk dan menjatuhkan dagunya di pundak Kailla.
“Kenapa? Biasanya kalau wajahmu sudah seperti ini pasti ada yang mau disampaikan.”
“Maafkan Mama,” bisik Pram dengan kedua tangan membelit pinggang Kailla yang mulai ramping kembali. Bentuk tubuh ibu si kembar sudah kembali seperti semula. Yang tersisa hanya bekas guratan pisau di perut bawah, yang mulai tumbuh keloid di beberapa titik.
“Aku sudah melupakannya.” Kailla menjawab dengan santai.
“Yang benar ... kamu sudah melupakannya?” tanya Pram memastikan.
“Hmm.” Kailla mengangguk sembari memoles bedak di ujung hidungnya.
“Besok siang, sepulang kuliah temani Mama berbelanja,” pinta Pram.
"Harus?" tanya Kailla.
"Ya, bawa si kembar juga." Pram menjelaskan.
"Bersenang-senanglah. Lupakan ucapan Mama. Dia hanya ingin yang terbaik untuk cucunya, bukan tidak menyukaimu. Namanya juga orang tua, pasti yang diprioritaskannya sekarang adalah cucu. Mama hanya tidak ingin Bentley dan Kentley terlantar. Kalau kamu merasa ucapan Mama salah, cukup buktikan dengan tindakan, tidak perlu meladeninya dan memperkeruh suasana. Saat Mama melihat kenyataan tidak seperti ketakutannya, ia akan mengerti dengan sendirinya." Pram menjelaskan, ditutup dengan sebuah kecupan hangat di pipi istrinya.
"Anak-anak di mana?" tanya Pram mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar.
"Sewaktu mandi, kutitipkan pada pengasuh."
"Aku rindu kenakalan Kentley dan kemanjaan Bentley. Mereka persis sepertimu. Hidupku sudah terlalu teratur dan lurus, terkadang aku merasa perlu keluar dari kotak dan mengikuti hal-hal di luar kewajaran." Pram tergelak menatap Kailla dari pantulan cermin.
"Kegilaan dan kenakalanmu membuat hidupku lebih berwarna. Kemanjaan dan kekanak-kanakanmu menyempurnakan hidupku. Dan sisi dewasamu yang tersembunyi itu, membuatku merasa beruntung memilikimu."
Kailla segera berbalik dan memeluk erat suaminya. Ia sudah melupakan kekesalan pada mama mertuanya.
"Apa yang kamu rencanakan pada Mama?" tanya Pram. Ia bisa menikmati aroma tubuh Kailla yang baru selesai mandi.
"Hahaha ... aku berencana membuat pagar pembatas di antara rumah kita dan rumah Mama. Supaya nanti Mama tidak bisa berkunjung lagi ke rumah kita." Kailla tergelak membayangkan sang mama mertua berteriak di depan gerbang karena tidak dibukakan pintu.
"Anak nakal!" Pram mencubit ujung hidung lancip istrinya.
***
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mak sulis
Pram cucok meong..ngerti cara mempersatukan dua wanita beda usia beda karakter dengan nge Mall
2025-01-31
0
Nur Lizza
pram emng pintar klu merayu mamah dngn belanja di mall
2022-10-29
1
Erna Riyanto
Om Pram....benar" bijaksana......suami dan ank yg hebat....
2022-07-12
0