Sebuah Kenyataan

Empat hari telah berlalu, namun Nicholas tak jua menampakkan batang hidungnya. Amaya mencoba menelpon kerumah anak itu, namun tak ada yang mengangkat. Akhirnya ia pun memberanikan diri untuk datang ke rumah Nicholas.

Saat itu keadaan rumah Nicholas sepi, lalu ia berlari kerumah Iska yang tak jauh dari sana. Di tempat itu pun sama, tak ada siapa-siapa. Mendadak ia menjadi bingung dan tak tau harus bagaimana, namun tak lama kemudian Iska pun muncul.

"Loh, May. Kamu disini?" tanya Iska heran.

"Iya, Is. Aku sebenarnya mau cari Nicho, udah empat hari ini dia ga masuk les. kamu dari mana?"

Iska duduk di samping Amaya, wajahnya tampak sedih dan bingung.

"Aku dari menjenguk Nicho, May.” ujar Iska.

"Menjenguk Nicho maksudnya?"

"Nicho sakit."

"Sakit?. Sakit apa?"

Amaya sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Pantas saja beberapa hari ini, ia tidak menemukan Nicholas.

"Nicho terkena sirosis."

"Sirosis?"

"Iya, hatinya nggak berfungsi dengan baik sejak lahir. Dan sekarang sudah dalam tahap yang parah, seperti itulah yang aku dengar dari mama."

"Degghh."

Hati Amaya terasa seperti dipukul benda keras.

"Lalu?" tanya nya khawatir.

"Kata mama, dokter bilang kalau Nicho harus mendapatkan donor hati dengan segera. Kalau nggak....” Kata-kata Iska tercekat di tenggorokan.

"Apa, Is?”

"Kalau nggak, Nicho." Iska menarik nafas.

"A, akan meninggal.”

Kali ini hati Amaya benar-benar seperti tersengat listrik jutaan Volt, keringat dingin dan gelisah kini bercampur jadi satu. Ia benar-benar tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.

Air mata gadis itu mengalir deras, ketika akhirnya ia pergi ke rumah sakit dan menatap Nicholas dari kaca ruang ICU. Sahabat kecilnya itu tampak terbaring lemah, dengan oksigen dan selang infus di tangannya. Hati Amaya mendadak hancur, ia merasa dirinya harus berbuat sesuatu.

Sepulang dari tempat itu, Amaya menyatakan keinginannya kepada sang ayah dan juga sang ibu. Bahwasannya ia ingin mendonorkan separuh organ hatinya untuk Nicholas. Tentu saja hal ini mendapatkan penolakan keras dari kedua orang tuanya.

Karena mereka khawatir akan terjadi apa-apa pada diri Amaya. Namun gadis itu tak berhenti sampai disitu, ia terus berjuang agar bisa menyelamatkan sahabatnya. Sampai kemudian kedua orang tua Amaya pun luluh, dan mengiyakan permintaan anak mereka tersebut.

Ketika menjalani serangkaian pemeriksaan, hati Amaya memang menjadi satu-satunya hati yang cocok dengan Nicholas. Dibandingkan dengan calon-calon pendonor lain. Lalu hari ini mereka berdua akan menjalani operasi pengangkatan, dan pencangkokan secara bersamaan. Ada dua tim dokter yang menangani mereka.

"May, Will You Marry Me?"

Nicholas memperlihatkan sebuah cincin pada Amaya. Ayah-ibu Nicholas, orang tua Amaya, dan kerabat dekat yang mengantar mereka ke ruang operasi tampak menyeka air mata.

Ini semua adalah permintaan terakhir Nicholas, ia ingin melakukan hal ini untuk berjaga-jaga. Seandainya ia tak selamat dalam operasi nanti, ia ingin merasakan bagaimana rasanya melamar seorang gadis. Seperti yang pernah ia lihat dalam film televisi.

Amaya pun lalu mengangguk sambil menyeka air matanya. Karena baginya Nicholas adalah teman sekaligus adik kecil, yang sangat ia sayangi. Amaya juga takut jika terjadi apa-apa terhadap anak itu.

"Kalau nanti operasinya berhasil, dan kita berdua bisa hidup normal. Kamu harus mau menikah beneran sama aku, kalau aku udah gede nanti."

Amaya kembali mengangguk lalu tersenyum, seraya masih menyeka air mata. Nicholas pun memasangkan cincin tersebut di jari Amaya. Suasana riuh sejenak, mereka semua memberikan tepuk tangan dan ekspresi yang bahagia.

Lalu tak lama kemudian, pintu ruang operasi pun terbuka. Nicholas dan Amaya dibawa masuk ke ruangan tersebut, diiringi air mata serta doa dari seluruh keluarga yang ikut mendampingi hari itu.

***

Beberapa jam telah berlalu, akhirnya pintu ruangan operasi tersebut kembali dibuka. Dokter keluar dengan membawa kabar bahagia. Keduanya selamat, operasinya berjalan lancar. Seluruh keluarga tampak bersuka cita dan tak henti-hentinya berucap syukur.

Hari demi hari pun berlalu, separuh hati Amaya yang ada di dalam diri Nicholas tumbuh dan berkembang dengan baik. Begitu juga dengan Amaya, hatinya kembali tumbuh dan berkembang dengan baik. Hingga beberapa minggu kemudian, dokter mengatakan bahwa mereka sudah boleh pulang dan beraktivitas seperti biasa. Walaupun agak sedikit dibatasi, mengingat kondisi mereka yang belum pulih total.

"Seneng ya, Nic. Akhirnya kita boleh pulang sekarang.” ujar Amaya, ketika mereka semua sudah ada di lobi rumah sakit.

Beberapa orang anggota keluarga berkumpul untuk menjemput mereka. Dan tim dokter serta perawat yang menangani mereka selama ini pun, turut melepas kepergian mereka.

"Nah Nicho, Amaya. Kalian jaga kesehatan dan banyak beristirahat ya?" ujar salah seorang dokter yang ada di sana sambil tersenyum.

"Iya, om dokter." ujar Nicho dan Amaya di waktu yang hampir bersamaan.

Semua yang ada disitu pun ikut tersenyum, namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karena secara tiba-tiba, seorang lelaki datang menghampiri dan langsung menyeret Amaya dengan kasar.

"Sini kamu...!"

"Hei..!”

Edward ayah Amaya yang menyaksikan kejadian tersebut kaget, dan secara spontan langsung menarik kembali puterinya. Ia lalu  mendorong laki-laki itu. Laki-laki itu balas mendorong tubuh Edward, namun ditengahi oleh Marcell ayah Nicholas.

"Siapa kamu?" tanya Edward penuh kemarahan.

Namun lelaki itu kini malah menarik Nicholas dan menjatuhkannya ke arah tangga lobi. Beruntung salah seorang perawat, menangkap Nicholas hingga anak tersebut selamat.

Melihat kejadian itu, tanpa basa-basi lagi Marcell langsung menghajarnya. Ketika laki-laki itu hendak membalas kepada Marcell, Edward memberikan pukulan ke wajah laki-laki itu. Suasana seketika riuh, para dokter berusaha memisahkan. Begitupun dengan security yang tengah berjaga.

"Pak Edward, pak Marcell, sabar."

Salah seorang dokter mencoba menenangkan mereka. Sementara Amaya dan Nicholas tampak ketakutan dan memeluk ibu mereka masing-masing, yang berdiri di sisi para perawat.

"Apa maksud kamu berlaku kasar kepada anak-anak kami?. Kamu siapa?" tanya Marcell masih dengan emosi yang memuncak.

"Saya akan bunuh Amaya. Dan kalau tidak bisa, saya akan bunuh anak laki-laki ini.”

Semua orang yang ada disana terkejut mendengar perkataan pria tersebut, namun mereka sendiri bingung apa maksudnya. Security pun mengamankan pria tersebut. Namun pria itu terus berteriak, meski dirinya telah dipaksa pergi.

"Saya akan bunuh kamu Amaya, karena kamu anak saya mati. Saya berjanji kamu akan jadi teman anak saya di alam sana, kamu ingat itu...!"

Amaya memeluk ibunya, ia syok sekali dengan semua kejadian ini. Detak jantungnya masih tak teratur.

"Dokter, apa kalian tau ini sebenarnya ada apa. Dia itu tadi siapa?" tanya Edward dengan cemas.

"Itu tadi pak Raymond, beberapa minggu yang lalu dia kehilangan anaknya. Anaknya menderita sakit yang sama seperti Nicholas.

Suasana mendadak hening.

"Kami sudah berusaha mencarikan donor hati untuk anaknya. Namun dari sekian banyak calon pendonor, tidak satupun yang memenuhi kriteria dan cocok dengan anaknya tersebut. Hanya satu orang lagi yang belum kami cocokkan dengan anaknya, yakni hati Amaya."

Kedua orang tua Amaya dan orang tua Nicholas saling beradu tatap.

"Pak Raymond memaksa kami mencocokkannya, saat dia tau kalau kami sudah menemukan hati yang cocok untuk Nicholas. Tapi Amaya sudah sepakat untuk mendonorkan hatinya untuk Nicholas, dan hal tersebut tidak bisa kami ganti untuk orang lain secara sepihak. Maka dari itu pak Raymond menjadi sangat marah sekali. Apalagi puterinya itu akhirnya meninggal dunia dan Nicho sendiri selamat. Pak Raymond merasa gagal menyelamatkan puteri semata wayangnya. Padahal almarhumah istrinya sudah berpesan agar pak Raymond menjaga anak mereka.”

Marcell dan Edward terdiam, begitupun dengan semua orang yang ada disitu. Air mata Amaya menetes. Biar bagaimanapun kasarnya orang itu tadi, namun orang tua tetaplah orang tua. Mereka selalu ingin melakukan hal terbaik untuk anak-anak mereka. Namun apalah daya, separuh hati Amaya kini telah ada ditubuh Nicholas. Ia tak bisa menggembirakan pria itu tadi. Ia tak bisa menyelamatkan nyawa anaknya, yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.

Edward mengusap bahu Amaya dan menenangkannya. Acara perpisahan yang seharusnya penuh kegembiraan itu malah sedikit ternodai. Usai mengucapkan terima kasih serta salam perpisahan kepada tim dokter dan perawat, Nicho dan Amaya pun pulang kerumah masing-masing.

Tak sampai disitu saja kesedihan Amaya. Ketika dirinya mulai masuk sekolah kembali, ia mendapati salah satu sahabatnya tidak ada dikelas. Mereka berteman bertiga, dirinya, Marsha dan juga Diana. Mereka bersahabat sejak masih SMP dan masuk di SMA yang sama serta kelas yang sama pula. Ia tidak tau mengapa sikap Marsha jadi berubah dingin dan kasar padanya.

Saat ia menanyakan perihal Diana, Marsha malah menunjukkan wajah yang benci pada Amaya. Usut punya usut ternyata Diana meninggal dunia, dan orang tua yang marah padanya dirumah sakit tempo hari adalah ayah Diana.

Selama ini Amaya memang tidak pernah bertemu dengan orang tua Diana secara langsung. Karena Diana mengatakan kalau ayahnya itu bekerja diluar kota, sedangkan ibunya telah lama meninggal dunia.

Hati Amaya hancur, ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun ia terjebak dalam keadaan yang memaksanya untuk merasa sangat bersalah. Cukup lama ia menyesali itu, namun semua sudah terjadi. Ia benar-benar tidak tau jika Diana selama ini menderita penyakit yang sama dengan Nicholas. Karena dalam kesehariannya, gadis itu tampak seperti gadis yang sehat pada umumnya.

Hari demi hari pun kembali berlalu, Amaya mulai bangkit. Ia dan Nicholas pun kembali ceria seperti sediakala, namun mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman mereka masing-masing. Apalagi kini Amaya sudah menginjak kelas 3 SMA dan Nicholas sendiri sudah masuk SMP.

Meski mereka berada dalam satu yayasan yang sama, hanya saat pergi dan pulang sekolah saja mereka selalu bersama. Selebihnya, mereka lebih banyak melakukan kegiatan dengan teman sebaya masing-masing.

Namun meski begitu, kerapkali Nicholas menyambangi kelas Amaya. Sekedar untuk memberinya sebatang coklat atau sebungkus gorengan. Begitupula Amaya, ketika Nicholas sedang sibuk bermain bersama temannya atau menggoda anak-anak perempuan seusianya. Maka Amaya akan sengaja lewat dan memukul kepala anak itu dengan buku.

Amaya selalu mengawasi gerak-gerik Nicholas dan mengingatkan anak itu ketika ia bermain terlalu lelah. Ia selalu mengingatkan Nicholas untuk tidak lupa beristirahat.

Nicholas pun selalu menjaga Amaya. Meski masih tergolong muda, namun keberaniannya sangat tinggi. Pernah suatu kali Amaya diganggu dan dilecehkan secara verbal oleh kakak kelasnya hingga Amaya menangis. Nicholas tampil sebagai pelindung, bahkan ia mengajak si pengganggu itu berkelahi one by one.

Kadang Nicholas kerumah Amaya, sekedar untuk dibuatkan PR oleh gadis itu. Kadang Amaya yang kerumah Nicholas, menyuruh anak itu untuk mencatat pelajaran yang malas ia kerjakan.

Begitulah seterusnya, sampai pada suatu pagi yang dingin, tiba-tiba saja Amaya sudah berada di depan pintu rumah Nicholas. Dengan wajah lusuh, tanpa gairah, dan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Nicholas sendiri heran, tak biasanya pagi buta Amaya sudah kemari. Kalaupun untuk pergi ke sekolah, Nicholas lah yang biasa menjemput ke rumahnya.

"May, koq pagi banget udah disini. Kamu kan kebo, koq udah bangun." canda Nicholas dengan nada heran.

Gadis itu menunduk, tak ada sedikitpun senyum di bibirnya. Nicholas sendiri menjadi bertambah heran sekaligus takut.

"Kamu dimarahin mama sama papa kamu?" tanya nya kemudian, Amaya menggeleng.

"Kita berangkat sekarang." ujarnya lirih.

"May, aku tau kamu lagi sedih. Kamu kenapa, ada masalah apa?" tanya Nicholas lagi.

"Kita pergi sekarang." ujarnya setengah terisak.

"Ok, ok. Aku ambil tas sama sepatu dulu, tunggu disini...!"

Sesaat kemudian, mereka pun berjalan bersama. Disepanjang jalan menuju sekolah, Amaya terus diam. Tak seperti biasanya gadis itu kini tampak murung.

"May, kamu kenapa sih hari ini?" tanya Nicholas masih dengan nada heran, Amaya tetap tak menjawab.

"Aku ada salah sama kamu?. Gara-gara tempo hari aku pulang sekolah nggak bareng kamu dan malah bareng sama Tiara, temen sekelas aku?"

"Bukan itu, Nic."

"Tenang aja, kamu masih pake cincin itu kan? Itu artinya, aku tetap akan nikahin kamu kalau aku udah gede nanti.”

"Bukan itu, Nic."

"Terus apa?. Kamu kenapa diem begini?. Atau jangan-jangan.?” Nicholas menghentikan langkahnya.

"Kamu lagi jatuh cinta ya, May?" goda Nicholas kemudian.

"Bukan Nic, aku nggak lagi jatuh cinta sama siapapun."

"Alah bohong, di sekolah kamu kan banyak yang cakep. Kamu juga kayaknya dekat sama beberapa orang. Aku nggak apa-apa koq, kalau saat ini kamu jatuh cinta sama orang lain. Yang penting nanti nikahnya sama aku."

"Nggak ada Nic, nggak ada satu pun dari mereka yang aku suka."

"Kak Rian si ketua osis kalian?" tanya Nicholas lagi.

"Nggak."

"Kak Benny kapten tim basket?"

"Nggak juga."

"Primus yang jago matematika?" Amaya menghela nafas.

"Primus perasaan guru deh, bukan siswa.” ujar Amaya sewot, sementara Nicholas terkekeh. Trik nya untuk membuat Amaya bicara tampaknya berhasil.

"Kalau Dino yang jago puisi?"

"Itu mah temen kamu." Amaya makin sewot.

"Ya kali aja seorang Sasi Kirana Amaya, menyukai dedek gemes dari SMP semacam Dino. Kalau aku kan, kamu udah liat tiap hari. Kali aja muak, hehe."

"Nggak usah ngaco deh, aku juga liat Dino tiap hari. Orang dia maennya sama kamu.”

Nicholas nyengir.

"Apalagi kalau bukan masalah kayak gitu?"

"Nicho...."

Kali ini Amaya menghentikan langkahnya dan menatap dalam ke wajah Nicholas. Remaja itu tak bergeming, ia menangkap suatu kekhawatiran dan kecemasan di mata Amaya.

"Oke, May. Aku nggak akan bercanda lagi."

"Aku, aku mau pindah Nic."

Dunia Nicholas seakan runtuh. Tiba-tiba saja kata-kata itu melumpuhkan seluruh persendiannya, hingga tubuhnya kini terasa lemas. Namun ia berusaha menetralkan perasaannya.

"May, aku belum ulang tahun deh perasaan. Jangan bikin aku kena saerangan jantung mendadak, nggak usah nge-prank murahan."

"Aku serius, Nic. Aku nggak sedang ngerjain kamu."

Nicholas menatap mata Amaya, dan gadis itu memang tidak sedang bercanda seperti yang sering ia lihat selama ini.

"Ke, kenapa harus pindah?" suara Nicholas mulai gemetar.

"Orang tuaku akan pindah tugas, dan aku harus ikut." suara Amaya terbata-bata, bercampur isak tangis yang tertahan.

"Kemana?"

"Ke..., Belanda." jawabnya lirih.

"Kapan?"

"7 hari lagi."

Tubuh Nicholas seakan tak memiliki tenaga lagi, pikirannya seketika kacau. Ia melangkah gontai tanpa berbicara sepatah pun. Hari itu tak ada matahari, langit mendung seharian. Seolah mewakili perasaan keduanya yang diliputi kegalauan. Dari kelasnya Nicholas bisa memperhatikan Amaya, yang duduk dibawah sebuah pohon dengan wajah lusuh dan sedih.

Ia membiarkan rintik hujan membasahi tubuhnya, sejak hari itu keduanya tak lagi berkomunikasi. Nicholas memilih pergi dan pulang bersama teman-temannya yang lain, bahkan ia terkesan tak peduli. Amaya pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali merelakan semua, yang telah dan akan terjadi nanti.

Sampai hari perpisahan itu tiba, semua teman dekat Amaya hadir mengucapkan salam perpisahan dan saling memberikan kenang-kenangan. Begitupula dengan Iska dan Rania, hanya Nicholas yang tak tampak batang hidungnya sejak tadi. Amaya terus melihat ke suatu arah, berharap Nicholas akan datang.

Karena di hubungi via telpon pun, anak itu tak mengangkat.

***

"Nicho, papa sama mama mau ke rumah Amaya. Kamu beneran nggak mau ikut?" tanya ibunya. Sementara Nicholas hanya diam dan terus bermain play station.

"Iya, Nicho. Papa malu sama orang tua Amaya kalau sampai kamu nggak ikut, dia sudah sangat baik sama kita. Kamu bisa sehat seperti sekarang ini juga, berkat bantuan dari Amaya."

Nicholas masih diam dan terus bermain.

"Ya sudah, mama akan bilang kalau kamu sakit. Kami pergi dulu."

Kedua orang tua Nicholas pun pergi. Dan ketika mendengar suara pintu depan yang tertutup, Nicholas melempar stick play stationnya dengan keras. Ia kemudian membenamkan wajah pada kedua kaki dan mengusap kepalanya sambil menarik nafas dalam. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa sedihnya.

Sementara tak lama setelah itu, Amaya telah bersiap masuk ke mobil. Namun ia masih terus menoleh ke belakang. Berharap melihat seseorang yang sangat ia sayangi untuk terakhir kalinya.

"Amaya, tadi Nicho titip salam." ujar ibu Nicholas menghibur. Amaya menunduk, ia mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil. Namun tiba-tiba,

"May..."

Nicholas datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa basa basi Amaya pun menghampiri dan memeluk anak itu sambil menangis.

"Jangan nangis May, this isn't goodbye."

Keduanya berpelukan dengan erat, Amaya lalu mengusap air matanya dan menatap Nicholas. Ia lalu memegang dada anak itu dan berkata,

"Jaga hatiku ya, Nic. Kamu harus selalu sehat. Kalau kamu sudah besar nanti, usahakan jangan merokok. Aku akan sering telpon atau kirim email buat kamu."

Nicholas mengangguk lalu tersenyum, sesaat kemudian Amaya masuk ke mobil. Dan mobil itu bergerak menjauh seiring menghilangnya lambaian tangan Amaya, itulah terakhir kalinya Nicholas melihat Amaya. Sejak saat itu mereka lebih banyak berkomunikasi lewat telpon, chat dan email.

Bulan-bulan pertama berlalu penuh cerita. Meski tinggal berjauhan, namun mereka merasa sangat dekat. Tapi itu hanya berlangsung selama beberapa bulan saja, selanjutnya tak ada kabar lagi dari Amaya. Bahkan setiap chat dan email yang Nicholas kirimkan tak ada jawaban sama sekali. Sampai akhirnya Nicholas memutuskan untuk menulis email dan chat terakhirnya, dengan isi yang sama.

"May, aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu. Aku harap kamu baik-baik aja disana. Sampai hari ini aku masih menunggu balasan surat dari kamu, dan sepertinya akan selalu menunggu. Mungkin waktu menyimpan jawabannya. Dan aku akan selalu menunggu, sampai waktu itu tiba. - Nicholas."

Lalu orang tua Nicholas pun dipindah tugaskan ke kota lain. Mereka pindah sebelum Nicholas menyelesaikan semester terakhirnya di kelas 1.

Dan waktu pun terus berjalan, hingga tanpa terasa 5 tahun telah berlalu.

Terpopuler

Comments

Damayanti Amir

Damayanti Amir

sedihhhhh

2022-04-06

1

Fitriyani

Fitriyani

baper😭

2021-12-01

1

"lazygirl"

"lazygirl"

karyamu thor bkin baper bgt..

2021-11-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!