I Heart You, Dr. Amaya
Tuhan telah menitipkan separuh hati kita pada diri seseorang, suatu saat nanti hati yang terpisah itu akan menyatu. Mempertemukan dua insan yang masing-masing membawa bagiannya. Menjadikan mereka utuh, dalam satu kesatuan bernama, "Jodoh".
Namun bagaimana, jika belum sempat bertemu dengan belahan lainnya itu. Hati kita malah membiru, mengeras, dan membusuk akibat penyakit.
Tubuh Nicholas Diovano Marcell terbaring lemah di sebuah tempat tidur rumah sakit. Kedua matanya tampak menguning, badannya kurus, serta perutnya sedikit membuncit.
Sudah beberapa bulan terakhir ini, anak laki-laki berusia 11 tahun keturunan Korea-Indonesia tersebut harus bolak-balik ke rumah sakit secara intens. Hanya demi mengharap datangnya kesembuhan.
Karena penyakit sirosis yang ia derita sejak kecil, telah sampai kepada tahap yang cukup parah. Membuat seluruh keceriaannya hilang, hari-harinya yang penuh bermain dan belajar pun akhirnya terampas.
Sudah segala cara dilakukan, bahkan kedua orang tuanya pun telah berusaha semaksimal mungkin. Mulai dari pengobatan medis sampai alternatif. Nicholas juga harus mengkonsumsi obat setiap hari, ia tak bisa seaktif teman sebayanya yang lain.
Namun hari ini dihadapan ruang operasi, Nicho begitu ia kerap disapa tampak sangat bahagia.
Semua doa dari orang-orang yang menyayanginya, mungkin akan segera terkabul. Meski tak dapat dipungkiri, wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan.
"Takut, Nic?"
Seorang gadis cantik yang terbaring disebelah tempat tidurnya, mencoba menggoda Nicholas. Dengan memberikan pertanyaan, yang semua orang juga sudah tau jawabannya. Gadis itu adalah teman akrab sekaligus pendonor, yang akan memberikan sebagian hatinya untuk Nicholas.
"Yeelah May, operasi doang. Apalah arti coba."
Nicholas menjawab dengan gaya sok santai, lalu berusaha nyengir lebar sampai kuping. Meskipun semua tau ia tengah menahan rasa sakit.
"Beneran nih, nggak bohong?. Demi apa?”
Gadis itu kembali menggodanya. Namun kali ini Nicholas balas memandang wajah gadis itu, dengan tatapan nakal.
"Biasanya yang banyak nanya itulah, yang penakut." ujar Nicholas kemudian.
"Yeee sa ae , pinggiran meja." ujar gadis itu sengit.
"Sa ae tutup knalpot." balas Nicholas tak kalah sengit.
"Biji duren."
"Kolak basi."
Gadis itu menoyor kepala Nicholas dan disambut tawa renyah, seraya menahan sakit oleh anak itu.
"Aku nggak takut koq." Amaya begitu namanya sering dipanggil, berusaha terlihat tegar.
"Beneran?. Demi apa?"
Kali ini Nicholas balas menggoda Amaya. Gadis itu refleks ingin kembali menoyor kepala Nicholas, namun anak laki-laki itu berusaha menghindarkan kepalanya dari tangan Amaya.
"Tuh kan noyor-noyor. Temen mu ini sakit May.” rengeknya Kemudian.
"Holoh-holo, utuk -utuk tayang Nicho. Nggak jadi deh di toyor, tayang-tayang acu."
Amaya mengusap-usap kepala Nicholas, lalu Nicholas pun memalingkan wajahnya kearah lain sambil tersenyum. Ada rasa damai yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.
"May, makasih ya." Ia berkata sambil kembali menoleh ke arah Amaya.
Gadis itu menghela nafas lalu mengangguk, tampak bulir-bulir bening merebak di pelupuk matanya. Namun gadis itu berusaha menahan agar tak segera jatuh ke pipi. Perlahan pikirannya pun melayang pada peristiwa 2 tahun yang lalu, saat itu dirinya masih kelas 3 SMP.
Hari itu, ia mengikuti les bahasa Inggris seperti biasa. Namun tiba-tiba sang tutor mengumumkan bahwa ada peserta kursus pindahan, yang akan ikut belajar dikelasnya.
"Anak-anak, ini teman baru kalian.”
Tampak dua orang anak perempuan sebaya Amaya masuk ke kelas.
"Mereka ini pindahan dari lembaga kursus First Word."
Amaya melihat ke arah dua anak tersebut, namun tiba-tiba tanpa sengaja ia menjatuhkan pulpen miliknya. Ia Ialu menunduk untuk mengambil pulpen itu, sementara sang tutor mulai memperkenalkan nama teman barunya tersebut.
"Ini Iska Permata Sari, ini Rania Salma, dan satu lagi mana?"
Sang tutor bertanya pada Iska dan Rania, keduanya tampak menoleh ke arah pintu. Tak lama kemudian seorang anak laki-laki masuk dengan tergesa-gesa, agaknya dia habis berlari menuju tempat ini.
"Ini Nicholas Diovano Marcell.”
Amaya yang baru saja berhasil mendapatkan kembali pulpennya tersebut, tampak terkejut melihat seseorang lagi yang baru saja masuk ke dalam kelasnya. Awalnya ia mengira hanya ada dua orang saja. Dan kali ini ia sempat tertegun beberapa saat, lalu tersenyum. Ia memandang wajah anak laki-laki yang polos dan manis itu, seolah melihat sesuatu yang menggemaskan.
"Nah kebetulan ada 3 lagi tempat duduk yang kosong, kalian bebas pilih yang mana.”
Ketiga anak tersebut pun memilih tempat duduk masing-masing. Iska dan Rania duduk persis di sebelah kanan Amaya, sementara Nicholas memilih duduk didepan kedua perempuan itu.
Amaya tersenyum pada Iska dan Rania, lalu ia pun memperhatikan Nicholas yang tampak fokus menatap ke arah tutor. Tak lama Amaya pun kembali tersenyum, lalu ia kembali memperhatikan tutornya yang sibuk menjelaskan.
"Amaya, kamu rumahnya di jalan Berlian nomor 149 kan." tanya Iska, setelah mereka selesai belajar dan duduk di taman sambil menikmati jajanan.
Awalnya Amaya hanya diam sendirian di taman, sambil makan es krim. Sampai kemudian Iska dan Rania menghampiri dan mengajaknya berkenalan.
"Koq kamu tau sih?" tanya Amaya heran.
"Aku sering liat kamu, kalau lagi ke tokonya tante Ani."
"Tante Ani yang orang Makassar itu kan?. Yang depan rumah aku?" tanya Amaya lagi.
"Iya, aku sering ke toko itu. Sering disuruh mamaku belanja dan aku sering banget ngeliat kamu. Tadinya aku pikir kamu sombong loh, orangnya. Soalnya kalau ketemu orang, muka kamu judes gitu."
Amaya pun tersenyum, dia tidak menyangka kalau Iska sering melihatnya.
"Aku nggak sombong koq. Cuma kalau ketemu orang yang nggak aku kenal, ya aku cuek aja. Lagian muka aku, emang udah cetakannya begini."
Mereka pun lalu sama-sama tertawa.
"Oh ya, besok boleh nggak kita main kerumah kamu?" tanya Iska lagi.
"Kalian mau main kerumah aku?" Amaya balik bertanya dengan penuh semangat
"Iya, boleh kan?"
"Iya boleh tapi, sama anak ini juga kan?"
Amaya memperhatikan Nicholas yang tampak cuek dan sedang memperhatikan anak anak lain, sambil mengemut permen berbentuk kaki.
"Iya, dia mah kemana aku sama Rania juga pasti ngintil. Iya kan Ran?"
"Iya, bener banget." Rania menimpali.
"Dia itu nggak punya temen di deket rumah, anak -anak cowok disitu masih pada bayi semua. Ada sih teman sekolahnya, tapi agak jauh. Kalau main jauh-jauh, mama dan papanya suka marah. Makanya kemana kakak-kakak sepupunya pergi, dia ngikut." tambah Rania kemudian.
"Oh, jadi kalian saudara seupupu gitu?" tanya Amaya.
"Iya."
Iska dan Rania serentak tersenyum, Amaya pun ikut terseyum.
"Nicholas kelas berapa?" tanya nya pada Nicholas.
"Kelas 4 SD.” jawab Nicholas.
Sesaat kemudian ia melangkah pergi ke dekat abang-abang yang kebetulan lewat, sambil membawa dagangan berupa ikan hias.
Amaya, Iska dan Rania hanya tertawa melihat Nicholas. Mereka kemudian melanjutkan perbincangan, menghabiskan makanan lalu pulang kerumah bersama-sama.
Keesokan harinya sesaat setelah selesai kursus, Iska memenuhi janjinya untuk mampir kerumah Amaya. Tak lupa ia mengajak kedua sepupunya yakni Rania dan juga Nicholas.
Amaya sendiri tampak antusias, ia mengajak ketiga teman barunya itu untuk melihat sekeliling rumah. Di kediaman orang tuanya yang lumayan luas tersebut, terdapat sebuah danau kecil yang ditumbuhi teratai. Rumput hijau terhampar, beberapa ekor kelinci tampak berlarian kesana kemari.
Amaya, Iska dan Rania tampak bercengkrama dengan kelinci-kelinci tersebut. Namun tak lama kemudian, Nicholas menghampiri mereka. Dengan membawa ulat besar yang ia dapatkan dari sebatang pohon pisang, yang berada tak jauh dari mereka semua. Amaya, Iska, dan Rania berlari kocar-kacir. Sementara kini Nicholas tertawa terpingkal-pingkal melihat mereka ketakutan.
Namun tak lama kemudian seekor angsa milik Amaya yang memang sengaja di lepaskan, berlari kearah Nicholas dan mencoba mematuknya. Kali ini anak laki-laki jahil itu mendapat karma, dia pun berlari pontang-panting. Membuat Amaya, Iska dan Rania balas menertawakannya.
Hari-hari berikutnya, mereka jadi lebih sering bersama di setiap keadaan. Kadang Iska, Rania dan Nicholas bermain dirumah Amaya. Kadang pula Amaya sengaja main kerumah salah satu dari mereka. Begitulah semuanya terjadi, sampai suatu hari, Amaya, Rania dan Iska lulus dari sekolah menengah pertama masing-masing.
Amaya masuk ke sebuah SMA favorit, Iska dan Rania masuk ke SMA lain. Saat itu Amaya mendapatkan kelas pagi, sementara Iska dan Rania mendapat kelas siang. Dengan adanya perubahan jadwal tersebut, maka jadwal kursus mereka pun berubah.
Amaya pun lebih aktif di sekolah barunya. Karena sedang dalam masa peralihan dari remaja menjelang dewasa, maka ia pun lebih sering menghabiskan waktu disekolah ketimbang kursus. Amaya lebih memilih aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler atau les tambahan di sekolah, guna persiapan untuk ujian masuk ke universitas. Ia, Iska, Rania, dan Nicholas pun jadi semakin jarang bertemu.
Pernah sesekali ia masuk kursus, namun tak menemukan siapa pun dari mereka termasuk Nicholas. Lama kelamaan dirinya merasa rindu pada teman-temannya itu. Dan suatu hari di minggu pagi, tiba-tiba Amaya dikejutkan dengan kedatangan ketiga temannya tersebut. Amaya tampak kaget sekaligus senang, mendapati mereka kini ada dirumahnya.
"Ya ampun, kalian kemana aja sih?"
Amaya menginterogasi ketiga anak tersebut.
"Maaf, May. Aku sama Rania sekarang masuk siang sekolahnya."
"Oh gitu, kamu sama Rania masuk SMA mana?"
"SMA 35 , kalau kamu?"
"SMA 20."
"Widih SMA favorit nih." goda Rania.
Karena memang SMA 20 tempat dimana Amaya kini bersekolah, sudah terkenal sebagai SMA yang mampu melahirkan alumni-alumni hebat dan berkompeten dalam bidang apapun. Lulusan dari SMA ini selalu bisa tembus ke berbagai universitas bergengsi, baik di dalam maupun luar negri.
"Biasa aja sih, untung aja nilainya cukup. Kalau nggak mama sama papaku bisa marah besar, seandainya sampe aku nggak masuk ke situ. Aku sih sebenernya mau masuk SMA mana aja, yang penting sekolah. Tapi mama sama papa maunya aku kesitu.”
"Enak loh, SMA terkenal." ujar Iska memuji, dibarengi nada sedikit menggoda.
"Alah, biasa aja koq kalau kamu masuk kesana. Anak-anaknya juga biasa banget, adalah beberapa yang caper dan sok pinter gitu. Tapi ya kita mah cuek aja sama anak model begitu, nggak penting juga. Oh ya, Nicho naik kelas 5 dong ya?"
Kali ini Amaya bertanya pada Nicholas. Anak yang selalu setia mengemut permen berbentuk kaki tersebut, hanya mengangguk.
"Oh ya, kalian mau minum apa?" tanya Amaya kemudian.
"Apa aja , May." jawab Iska dan Rania diwaktu yang nyaris bersamaan.
"Ya udah, aku ambilkan dulu ya."
Amaya membuatkan minuman dingin untuk ketiga temannya tersebut. Dan ketika ia akhirnya kembali keruang tamu dengan membawa minuman itu, tiba-tiba ia mendapati ketiga temannya tersebut tampak tengah berbisik-bisik sambil tersenyum.
"Loh kalian kenapa?" tanya Amaya heran.
"Koq senyum-senyum gitu sih?" lanjutnya lagi.
Iska dan Rania saling menatap lalu kembali tersenyum. Sementara Nicholas tampak memalingkan wajah ke arah lain, sambil menginjak kaki Iska beberapa kali. Seolah tengah memberikan kode.
"Ih, pasti ada rahasia deh. Ngomongin apa sih?" tanya Amaya ingin tau.
"Kata Nicho, kamu itu cantik."
Amaya terperangah dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Iska. Ia refleks memperhatikan Nicholas, yang tampak membuang muka ke arah lain sambil tersenyum. Seketika dirinya merasa malu, kikuk dan tak tau harus berkata apa.
Sampai ketika teman-temannya itu sudah pulang, dirinya pun terus mematut diri di depan kaca sambil tak henti-hentinya tersenyum.
"Jadi, aku ini cantik ya?" gumamnya dalam hati.
"Pantes, dulu pas awal aku masuk SMP. Waktu pembagian kelas, banyak banget yang ngeliatin aku. Terus dalam beberapa hari, banyak coklat gaib di laci meja kelasku. Dan tiba-tiba aja banyak anak-anak cowok yang suka banget bikin aku kesel. Gangguin aku terus tiap hari dan, di SMA ini terulang lagi seperti itu. Ternyata aku ini cantik ya?"
Amaya kembali tersenyum dan sejak saat itu dirinya jadi lebih percaya diri saat pergi ke sekolah. Dia mulai sering berganti gaya ikatan rambut, menggunakan skincare dan makeup minimalis. Mulai berjalan dengan langkah yang tegak, menebar senyum kesana kemari. Terkadang sedikit angkuh seperti adegan tokoh antagonis dalam sinetron. Namun dari semua itu, satu hal yang terus terngiang ditelinga dan ingatannya. Yakni orang yang pertama kali mengatakan bahwa dirinya cantik.
Ya, Nicholas. Meskipun disampaikan oleh Iska, namun ucapannya tersebut sangat membekas di hati Amaya. Sejak hari itu pula, dirinya kembali aktif mengikuti kelas kursus bahasa Inggris. Meski tanpa Iska dan Rania, namun dirinya sangat antusias. Karena Nicholas masih ada bersamanya.
Hari itu, di suatu pagi minggu yang cerah. Amaya, Nicholas, dan beberapa peserta kursus bahasa inggris lainya tiba di sebuah stasiun radio, yang cukup terkenal dikalangan anak-anak dan remaja. Stasiun radio tersebut merupakan stasiun radio yang banyak menyajikan lagu-lagu dan informasi masa kini.
Namun tak hanya itu, stasiun radio tersebut juga memiliki berbagai macam acara yang sifatnya mengedukasi. Salah satunya adalah pelajaran bahasa inggris dasar atau yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kebetulan hari itu adalah giliran tempat kursus Amaya dan Nicholas yang mengisi acaranya. Banyak kakak tingkat mereka yang juga mengisi acara tersebut. Amaya dan Nicholas sendiri mendapat tugas untuk mengartikan beberapa kata yang disebutkan dalam bahasa inggris, kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia.
Pagi itu semua acaranya berjalan lancar. Hingga ketika siaran sudah selesai, tiba-tiba Nicholas terduduk lemas di sebuah kursi. Wajah anak itu mendadak pucat. Amaya yang saat itu berada tak jauh darinya pun akhirnya bertanya, perihal apa yang dialami anak laki-laki itu.
"Nic, kamu koq pucat gitu?" tanya Amaya penuh rasa khawatir.
"Sakit?" tanyanya lagi.
"Nggak apa-apa, May.” jawab Nicholas.
"Tadi kamu makan nggak sebelum kesini?"
Nicholas mengangguk lalu memegang dadanya, tampaknya ia tengah merasakan sesuatu.
"Kamu beneran nggak apa-apa?" kekhawatiran Amaya mulai bertambah.
"Tadi itu diruang siaran, dingin banget May."
"Iya sih, aku juga ngerasa gitu. AC empat semua menyala. Ruangannya aja kecil, gimana nggak dingin.”
Nicholas terus menunduk sambil memegang dadanya. Sementara Amaya terus memperhatikan anak itu dan, tiba-tiba saja ia melihat tetes demi tetes darah mulai jatuh kelantai. Amaya yang terkejut sontak memegang wajah Nicholas dan berusaha menengadahkannya. Tampak darah tersebut menetes dari hidung anak itu.
"Nic, kamu kenapa?" Amaya mengambil tissue dari dalam tasnya dan mencoba membersihkan darah tersebut.
"Aku panggilkan pak Toni ya?" ujarnya kemudian
"Jangan May, please jangan..!”
Nicholas menarik lengan Amaya yang berusaha memberitahu tutor mereka, tentang apa yang terjadi pada Nicholas.
"Loh kenapa?. Kamu kan sakit, jadi pak Toni mesti dikasih tau. Kalau kamu pingsan gimana?"
"May, aku cuma mimisan. Aku nggak tahan dingin. Kalau kamu kasih tau pak Toni, nanti kalau dia bilang ke orang tua aku gimana?"
"Ya bagus dong, biar orang tua kamu tau kondisi kesehatan kamu. Kan bisa bawa kamu ke dokter. Aku kasih tau pak Toni sekarang ya, biar ada tindakan.”
"May, May. Jangan, jangan...!" Lagi-lagi Nicholas menahannya
"Aku pernah lebih parah dari ini, May. Aku mimisan di depan kak Iska, dia ngadu ke papa dan mama. Akibatnya sekarang aku dilarang main jauh-jauh atau terlalu lama main sama temen. Pasti disuruh pulang dan dimarahin, kemana-mana aku harus diawasin kak Iska atau Rania. Kamu pikir aku sengaja ngintilin mereka kesana-sini, itu karena aku nggak boleh main kalau nggak sama mereka."
Amaya terdiam.
"Aku anak laki-laki, May. Aku nggak mau diperlakukan seperti itu terus."
Melihat wajah Nicholas yang begitu serius meminta pertolongannya untuk tidak mengadu pada pak Toni, Amaya pun akhirnya luluh.
"Ya udah. kalau ada apa-apa atau misalkan kamu merasakan apa, kamu bilang ke aku."
"Oke."
Amaya berjalan ke luar. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa air mineral, lalu memberikannya pada Nicholas. Sejak saat itu entah mengapa Amaya jadi merasa selalu khawatir pada anak itu. Setiap kali ia melihat Nicholas bermain bersama teman-teman sebayanya ditempat kursus, maka ia akan senantiasa memperhatikan anak itu dan berusaha mengingatkannya agar tidak kelelahan.
Beberapa kali ia mendapati Nicholas mimisan. Setelah anak itu bermain sepak bola atau sekedar bercanda dan berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Dan setiap kali itu pula, dirinya menjadi semakin khawatir dan semakin ingin melindungi anak itu.
Sementara itu, melihat perubahan sikap Amaya yang seolah memproteksi dirinya. Nicholas menjadi sedikit risih. Namun meski begitu, anak laki-laki tersebut tak pernah menghalangi Amaya untuk bertindak sesuai keinginannya. Bahkan terkadang ia balas menjaga Amaya. Ketika gadis itu di ganggu oleh anak laki-laki hingga menangis, maka Nicholas akan tampil untuk memberinya perlindungan. Meski kadang lawannya adalah anak yang usianya jauh diatasnya.
Begitulah persahabatan mereka terjalin. Hingga suatu ketika, Saat Amaya telah naik ke kelas 2 SMA. Serta Nicholas yang sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Saat itu Amaya terlambat mengikuti kursus. Ia tiba 10 menit setelah pelajaran dimulai. Dan ketika ia masuk ke kelas tersebut, tak ada Nicholas disana. Ia bertanya pada seisi kelas tapi tidak ada yang tau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
mamo
lanjutannya mana nih Thor udh lama jg ya ada 7 BLN nih
2022-06-12
0
Fitriyani
aku mampir sini kak
2021-12-01
1
May mayarni
mampir thor sambil nunggu lea sama mas dan up
2021-11-26
1