Empat tahun sudah Ranum menjalani hari-harinya sebagai seorang janda muda setelah kepergian suami tercintanya, Vincent H. Pranata.
Pria yang berprofesi sebagai pilot pesawat itu, telah dinyatakan meninggal dunia akibat pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba hilang kontak dan diketahui jatuh di tengah laut.
Sedih dan terpukul, apa lagi Ranum baru menjalani biduk rumah tangganya selama kurang lebih satu tahun saja.
Ranum sempat mengalami depresi. Namun berkat dukungan dari seluruh keluarganya, maka ia dapat kembali pulih dan menjalani hari-harinya sebagaimana biasanya, meskipun ia tidak lagi seperti Ranum yang dulu.
Ranum, wanita berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah seorang wiraswasta. Kesehariannya ia habiskan sebagai seorang pengusaha butik dan salon, yang telah memiliki banyak pelanggan dari kalangan atas. Sedangkan kini, Ranum mulai melebarkan sayap kariernya dalam bidang kuliner. Ia membuka beberapa kedai makanan yang sudah memiliki sekitar 5 buah cabang, meskipun masih dalam satu kota.
Ada satu menu yang paling terkenal dari kedai makannya ialah, ikan bakar dengan sambal tomatnya yang khas.
Adalah resep dari sang ibu, Nurmaida.
Wanita berusia lebih dari setengah abad itu memang sangat suka memasak. Terlebih lagi, dahulu ia pernah bekerja di sebuah hotel bintang lima sebagai asisten koki.
Siang itu, Ranum berniat untuk pergi mengunjungi butiknya yang telah empat hari ia tinggalkan. Alasannya karena selama dua hari ke belakang ia merasa tidak enak badan, dan dua hari berikutnya ia harus mengurusi 'sambal tomat' yang baru.
Menuruni beberapa undakan anak tangga, tidaklah membuat Ranum merasa ketakutan meskipun ia memakai high heels setinggi 10 cm.
Penampilannya semakin cantik dengan dress one shoulder yang berwarna hitam. Dress dengan panjang selutut itu tampak sangat nyaman menempel di tubuh Ranum yang memiliki tinggi 168 cm.
Ranum juga membiarkan rambut layer panjangnya tergerai begitu saja. Sebagian dari mereka menjuntai indah di pundak sebelah kirinya, dan sebagian lagi masih tergerai menutupi leher hingga punggungnya.
Ranum memang memiliki rambut panjang yang indah dan sangat terawat, terlebih karena ia adalah pemilik salon kecantikan. Sudah sepantasnya ia harus selalu tampil maksimal dalam segala suasana.
Kali ini janda muda itu tidak memakai riasan yang terlalu mencolok. Ia hanya tampil dengan sapuan bedak tipis dan blush on, dengan polesan lisptick warna peach. Itu pun sudah membuat wajah cantiknya terlihat semakin cantik. Tidak lupa, sebuah hand bag kulit berwarna cokelat pun ikut mempercantik penampilannya kali ini.
Namun, satu hal yang selalu menjadi ciri khas Ranum setelah ia menjanda selama empat tahun, yakni ia tidak pernah lagi memakai pakaian dengan warna lain selain hitam. Ranum kini seperti sebuah pelangi yang telah kehilangan warnanya.
"Mau kemana, Ran?" Terdengar pertanyaan dari Nurmaida yang saat itu kebetulan tengah membaca, di kursi kayu khas Jepara yang berada di dekat tangga. Ia pun membetulkan posisi kaca matanya yang menggantung di atas batang hidungnya.
"Aku mau ke butik sebentar. Sudah beberapa hari ini aku tidak kesana," jawab Ranum seraya menghampiri ibunya kemudian mencium kening wanita itu dengan lembut.
"Memangnya kamu sudah benar-benar sehat?" Tanya Nurmaida lagi.
Ranum menoleh dan tersenyum. Ia pun mengangguk pelan. "Bukannya Ibu yang selalu mengatakan agar aku tidak sakit terlalu lama?" Jawab Ranum lagi tanpa melepas senyumannya.
Nurmaida menutup bukunya dan melepas kaca matanya. Ia meletakan kedua benda itu disebelahnya. "Ayo duduklah!" Ajaknya kepada Ranum. Ia beringsut sedikit dan menyisakan tempat untuk putri bungsunya itu.
Ranum menurut saja. Ia segera duduk di sebelah Nurmaida dan menatap lekat wanita yang sudah mulai beruban itu. "Ada apa, Bu?" Tanya Ranum dengan lembut.
Nurmaida menatap balik putrinya. Ada rasa iba bercampur bangga dalam hatinya. Iba, karena Ranum harus menjadi janda dalam usianya yang masih sangat muda. Bangga, karena Ranum berhasil bangkit dari keterpurukannya hingga kini dapat membangun kembali kehidupannya. Ia bahkan jauh lebih baik. Nurmaida sendiri tidak pernah menyangka jika Ranum dapat melangkah sejauh itu.
Semua pundi-pundi rupiah yang ia hasilkan selama ini sudah jauh lebih dari cukup. Ranum bahkan sudah berhasil memberangkatkannya untuk melaksanakan ibadah ke Tanah Suci meskipun Ranum tidak ikut serta waktu itu.
Perlahan Nurmaida memegang punggung tangan Ranum. "Jika ada waktu luang, Ibu ingin bicara denganmu," ucapnya lembut.
Ranum tertegun untuk sejenak. Sepertinya ia sudah dapat menebak tentang apa yang akan dibahas oleh Nurmaida dengannya. Namun saat ini, ia sedang tidak ingin berdebat.
"Iya," jawab Ranum sambil menarik sisa rambut yang menutupi punggungnya, sehingga kini seluruh rambutnya terkumpul sempurna di atas pundak sebelah kirinya.
"Aku berangkat dulu," Ranum kemudian menempelkan pipinya ke pipi Nurmaida. Setelah itu, ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan Nurmaida sendiri.
Melarikan diri, itulah yang Ranum lakukan ketika ia malas untuk meladeni ocehan Nurmaida tentang hal yang paling tidak ia sukai. Masalah apa lagi kalau bukan tentang pasangan hidup.
Bagi Nurmaida, Ranum masih sangat layak untuk kembali membina rumah tangga. Ia masih muda dan sangat cantik. Akan tetapi, jangankan memikirkan untuk menikah lagi, Ranum bahkan tidak pernah terlihat membawa seorang pria pun untuk dikenalkan kepadanya.
Setiap kali Nurmaida membahas masalah itu dengannya, maka itu hanya akan menjadi perdebatan antara dirinya dan Ranum.
Salah satu contohnya adalah dalam perbincangan beberapa hari yang lalu.
"Ibu hanya ingin agar kamu dapat melanjutkan kembali hidupmu. Memurut orang-orang kebanyakan namanya move on," ucap Nurmaida sambil terus memperhatikan putri bungsunya yang tengah asik memainkan layar ponselnya. Ia tahu bahwa Ranum tidak suka dengan topik pembicaraan yang satu ini. Karena itu, mungkin ia berpura-pura tidak menyimak semua yang ia katakan.
"Kamu masih muda, cantik, pasti banyak yang bersedia menjadi pasanganmu. Tidak mungkin kalau selama empat tahun ini tidak ada satu pun pria yang tidak tertarik padamu," lanjut Nurmaida berharap Ranum mendengarnya. Akan tetapi, nyatanya Ranum tidak menyahut sama sekali.
Nurmaida hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap Ranum. "Kamu tidak mendengar Ibu?" Tanyanya dengan nada sedikit jengkel. Mendengar nada bicara Nurmaida yang mulai berbeda, barulah Ranum menoleh.
"Yang mau mungkin ada. Akan tetapi ... aku tidak yakin apakah mereka akan cocok denganku atau tidak. Hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk hal seperti itu. Aku takut jika nantinya aku hanya akan melukai hati dan mengecewakan mereka," jawab Ranum. Ia yang paling mengtahui apa yang ada di dalam hatinya selama ini.
"Ya, bagaimana kamu bisa mengetahui jika mereka cocok atau tidak denganmu, jika kamu langsung menutup pintu hatimu untuk setiap pria yang mencoba mendekatimu. Ibu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiranmu sampai-sampai kamu bisa bersikap seperti itu. Ingat! Kamu sudah menjanda selama empat tahun. Ibu rasa Vincent pun tidak ada masalah jika seandainya kamu mencari pengganti dirinya."
Mendengar Nurmaida menyebut nama Vincent, seketika wajah Ranum berubah muram.
"Kenapa Ibu harus membawa-bawa nama Vincent? Dia suamiku, Bu! Aku sangat mencintainya!" Tegas Ranum.
"Akan tetapi, kamu harus ingat jika Vincent sudah meninggal. Mau kamu tunggu sampai kapanpun, dia tidak akan pernah kembali. Ibu mohon, Ranum! Kamu harus melanjutkan hidupmu! Perjalananmu masih panjang!" Nurmaida tetap pada keinginannya agar Ranum segera mencari pasangan baru. Ia sangat menyayangkan sikap Ranum yang seolah-olah tidak memikirkan masa depannya sendiri.
"Sudahlah, Bu! Aku lelah dengan pembicaraan seperti ini! Sama halnya seperti Ibu yang memilih untuk tidak menikah lagi setelah ayah tiada, maka aku pun berhak untuk melakukan hal yang sama seperti yang Ibu lakukan. Ini hidupku! Aku yang memilih serta menentukan jalan hidupku sendiri! Aku yang mengatur kemana arah hidupku!" Ranum mulai berkata dengan nada keras terhadap Nurmaida.
Sesaat kemudian ia lalu berdiri dan berlalu meninggalkan Nurmaida sendiri. Akan tetapi, Nurmaida segera mengikutinya dari belakang.
"Pastinya merupakan dua hal yang sangat berbeda antara Ibu dan kamu. Ibu menjadi janda pada usia empat puluh tujuh tahun, dan Ibu sudah memiliki kamu dan kakakmu Rania. Sementara kamu? Bagaimana mungkin kamu bisa menyamakan kedua hal itu," sanggah Nurmaida dengan tak kalah keras.
Ranum menghentikan langkahnya dan menoleh kepada sang ibu. "Aku tahu dan sangat paham dengan hal itu. Akan tetapi, setidaknya tolong hargai perasaanku. Aku masih sangat mencintai suamiku dan aku belum berniat untuk menggantikannya dengan siapapun!" Tegas Ranum yang kini sudah mulai merasa malas untuk meladeni perbincangannya dengan Nurmaida.
"Aku juga tahu jika Ibu berniat menjodohkanku dengan putranya bu Aisyah, kan?" Lanjut wanita dua puluh lima tahun itu. Ranum menatap tajam ibunya yang kini tampak sedikit kikuk, karena ternyata Ranum sudah mengetahui rencana yang telah ia buat bersama Aisyah. Aisyah merupakan temannya di pengajian.
"Dari mana kamu tahu tentang hal itu?" Nurmaida bertanya dengan penuh penasaran.
Mendengar Nurmaida bertanya seperti itu kepadanya, Ranum hanya menyunggingkan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya yang berwarna peach. "Jadi itu benar?" Tanyanya. Ia mencoba meyakinkan dirinya. Ia lalu manggut-manggut dan mulai memahami semuanya.
"Farhan pria yang baik. Dia juga kebetulan sedang mencari calon istri. Ibu rasa dia pria yang cocok untukmu," jawab Nurmaida dengan lebih tenang. Ia berharap agar Ranum dapat segera luluh.
Selamat datang di kisahnya Ranum dan Arya.
Semoga suka. Jangan lupa 👍❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
𝔦𝔳𝔞𝔫 𝔴𝔦𝔱𝔞𝔪𝔦
Sinta ranum sedalam Palung terdalam di lautan pada suaminya.
2021-06-05
2
Trhiia Wulandari
cinta mati
2021-06-05
1
⭐writer
ranum istri idaman yang sangat mencintai suaminya ya thor
2021-06-05
1