Suasana di meja makan tak begitu hening karena obrolan kedua wanita paruh baya itu. Tetapi Haleth begitu enggan untuk ikut membuka suara, sampai akhirnya dia hanya meminum wine di gelasnya hingga tinggal sedikit. Tak hanya itu, Haleth juga berusaha menjaga pandangannya, karena ia sadar, Adam sedari tadi menatapnya.
"Jadi, Haleth? Bagaimana pekerjaanmu? Kamu menikmatinya?" suara Jessica tiba-tiba membuatnya mengangkat wajahnya.
Wanita itu meletakkan gelasnya. "Ya, seperti itu. Aku menikmatinya setiap detik." jawabnya dengan senyum canggung.
"Aku dengar kau menjadi wakil direktur?"
"Ya. Direktur Hideki bilang kinerja ku bagus. Beliau tidak menyesal memilihku untuk menjadi wakilnya."
Jessica melebarkan senyumnya lantas mengangguk. "Itu bagus sekali, Haleth. Aku akan mengunjungimu saat aku senggang. Okay?!"
"Aku akan senang menyambut mu Jessica,"
Jessica menyangga dagu dengan kedua punggung tangannya, menatap Haleth dalam-dalam. "Haleth. Aku benar-benar menyayangimu. Kamu sudah seperti anakku sendiri meski kau dulu hanya sebentar menjadi menantuku. Apa, tidak terbesit sama sekali pikiran mu, untuk memperbaiki semuanya dengan Adam?"
"Iya Haleth. Selain itu, aku dan Jessica ingin menimang cucu lagi selain Tasha." sambung Emery setelah menyudahi makan malamnya.
Haleth menelan saliva nya, kembali menyesap wine nya sedikit. Ia tak langsung menjawab, lantaran sibuk menyusun kata-kata yang akan ia gunakan untuk membalas ucapan kedua wanita paruh baya itu.
"Masalah itu lebih baik aku bicarakan dengan Haleth secara empat mata saja. Lagipula, dia pasti butuh waktu untuk menerimaku lagi." Adam membuka suara, mewakili Haleth yang membuka bibir saja tak mampu.
"Memang sepertinya harus begitu. Pikirkan baik-baik, Haleth."
Haleth membersihkan bibirnya, dan berdiri. "Aku ingin menemui Tasha. Dimana dia tidur?"
"Di kamarku. Kamar kita dulu, kau ingat kan? Perlu ku antar?" pria itu hendak berdiri, namun di dahului oleh Haleth.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin melihatnya lalu akan segera pergi. Aku permisi sebentar,"
Haleth berjalan meninggalkan ruang makan dan menaiki tangga untuk sampai ke kamar yang sudah ia hapal letaknya. Dengan hati-hati Haleth mendorong pintu jati bewarna coklat itu hingga terbuka, dan melangkah masuk. Namun sejenak ia terdiam, menatap sekeliling dengan tatapan datar.
Sebuah bingkai berisi foto pernikahannya 6 tahun yang lalu terpajang dengan rapi di dinding kamar itu. Tak hanya satu. Ada beberapa yang lainnya dengan ukuran yang lebih kecil terpajang di nakas, dan juga meja kerja yang ia yakini adalah milik Adam.
"Hei? Aku mencetaknya beberapa untuk ku simpan. Kau mau bawa?" tiba-tiba suara Adam yang berdiri di ambang pintu sukses mengalihkan perhatian Haleth.
"Konyol. Kita sudah bercerai. Untuk apa aku bawa foto itu?" wanita itu mendengus, lalu duduk di tepi ranjang untuk mengusap kepala Tasha yang tengah tertidur pulas.
"Aku sudah bilang tidak perlu diantar."
"Yang kita butuhkan hanya bicara berdua Haleth," Adam menutup pintu, lalu melangkah menuju meja kerjanya dan bersandar di sana. "Mari makan malam jika kau senggang. Aku akan menebus semua kesalahanku."
"Daripada menebus kesalahan mu, bukankah lebih baik kau menikah lagi?"
"Tidak bisa. Tasha, dia ingin adik. Sepanjang hari dia selalu mendesak ku untuk menjawab, apakah aku dan kau bisa memberinya adik laki-laki."
Terdengar dengusan Haleth yang begitu sarkastik. "Bukankah itu keinginanmu?" wanita itu menoleh sebentar pada Adam, dan memasang wajah datar. "Mintalah pada Iris jika kau ingin seorang anak laki-laki untuk menjadi pewaris mu."
Adam spontan mengernyitkan dahinya. "Bahkan kau berpikir keinginan anak kita adalah kebohongan?"
"Tasha tidak pernah menyinggung tentang adik denganku. Kau yang berbohong di sini."
"Itu karena kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu!"
"Aku tidak seperti kau, Adam! Aku mengantarnya sekolah, menjemputnya, membawanya makan siang, bahkan aku selalu pulang cepat agar bisa makan malam dengannya. Sedangkan kau?"
"Apa kau pernah mendengar Tasha mengeluh?"
Haleth terbungkam.
"Kau pernah bertanya padanya, bagaimana harinya di sekolah?"
"Shut up," Haleth mendesis.
"Tidak pernah? Karena Tasha bilang padaku, Momy tidak akan ada waktu untuk mendengar apa yang terjadi padaku," Adam menghela nafasnya. "Haleth, Tasha ingin adik."
"Jangan seolah-olah kau paling tau apa yang Tasha mau! Aku yang bersamanya selama ini. Aku yang paling mengerti Tasha!"
"Cobalah untuk tidak egois seperti ini. Cobalah untuk mendengarkan keinginan Tasha, bahkan untuk sekali, dan sesibuk apapun kau. Jika kau memperbolehkan, aku akan membawa Tasha untuk tinggal bersamaku di Abu Dhabi,"
"Tidak!" Haleth memotong ucapan Adam dengan cepat. "Jangan lancang membawa anakku pergi dari dariku!"
Adam mengulas senyum tipis, dan berjalan mendekati Haleth. "Pikirkan tentang makan malam. Aku akan meninggalkanmu disini bersama Tasha."
"Tidak perlu. Aku akan segera pergi." Haleth menghela nafasnya, kembali menatap Tasha yang tampak tak terganggu dengan adu mulut orang tuanya.
Mengusap sebentar rambut putrinya, Tasha justru terbangun ketika Haleth sudah berada di ambang pintu.
"Momy?" panggilnya dengan suara lirih.
Mau tak mau, Haleth kembali masuk ke dalam dan duduk di samping putrinya. "Tasha? Apa Momy membangunkan mu?"
"No, Momy. Tasha terbangun sendiri. Kenapa Momy ada di sini?" tanya Tasha sambil mengucek matanya.
"Ah, karena Oma Jessica mengundang Momy untuk makan malam di sini. Sekaligus, Momy ingin bertemu dengan Tasha."
"Hm, begitu. Momy, Tasha mau bobok di sini sama Daddy. Boleh kan?" gadis kecil itu meminta izin.
"Iya, boleh kok," angguk Haleth tersenyum. "Jangan merepotkan Daddy ya!"
"Mhm, iya Momy. Momy mau bobok sini juga sama Daddy."
Haleth tertegun, bersamaan dengan Adam yang terkekeh kecil.
"Kamu pikir Momy mau, Princess?" Adam menyeletuk.
"Pasti mau, Daddy! Momy mau kan?"
Haleth bisa melihat tatapan penuh harap Tasha dalam diamnya. Tapi untuk kali ini, dia tidak bisa menuruti apa yang Tasha mau.
"Maaf Tasha. Momy, besok harus bekerja, dan Momy bersama Oma juga kesini. Jadi, Momy tidak bisa tidur di sini."
Terlihat jelas raut kecewa Tasha usai mendengar penjelasan sang Ibu. Tetapi tak lama, gadis kecil itu melebarkan senyumannya, lalu memeluk Haleth.
"Okay, Momy. Lagipula, ada Daddy yang menemaniku. Kalau begitu, Tasha ingin kita bertiga makan siang bersama besok! Ya!"
"Sure, Princess. Besok, Momy akan ikut kita makan siang. Iya kan Momy?" Haleth tersentak untuk beberapa detik saat merasakan tangan Adam mengusap bahunya.
Tetapi Haleth menepis tangan itu, dan menangkup kedua pipi Tasha. "Good night. Telepon Momy jika Tasha ingin pulang. Okay!"
Tanpa menunggu Tasha menjawab, Haleth terlebih dahulu keluar dari ruangan itu. Iya berjalan dengan cepat kembali menemui Emery, dan melihat sang Ibu tengah berbincang dengan Jessica.
"Ma?" panggilnya. Emery dan Jessica reflek menoleh, melihat Haleth yang berjalan menghampiri keduanya.
"Hei, kau sudah bertemu Tasha?" Emery berdiri menghampiri putrinya.
"Ya, aku sudah bertemu dengannya. Dan, aku ingin berjalan-jalan sebentar mencari angin. Mama tidak keberatan pulang membawa mobilnya?"
"Mau kemana kamu?!"
Haleth menghela nafas. "Kemana saja. Aku, butuh menyegarkan pikiran," katanya lantas menyerahkan kunci mobil pada Emery. "Aku pergi dulu Ma." lalu ia berlaku begitu saja tanpa pamit pada Jessica yang tidak menahu sama sekali apa yang sedang terjadi.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
🌺ZAHRA🌺
gila seru banget bikin penasaran
2021-06-18
0
🌺ZAHRA🌺
thor upnya jng lama
2021-06-18
0
🌺ZAHRA🌺
thor seru banget
2021-06-17
0