Bian dan Amara beriringan menuruni tangga. Tadi malam Amara menginap dan tidur bersama Bian di kamar yang biasanya ditempati Alea dan Bian. Tapi semenjak Bian membawa Amara tidur di kamar itu, Alea tak pernah lagi tidur di sana, apalagi saat Amara sudah mengklaim kalau kamar itu adalah miliknya dan Bian.
Amara bahkan dengan tidak tahu diri memindahkan semua barang-barang milik Alea dari sana. Semua baju, alat kosmetik dan segala hal yang menyangkut Alea sudah dikeluarkan semua oleh Amara, tentu saja dengan persetujuan Bian yang jelas-jelas mendukungnya.
Mereka berdua menuruni tangga dengan bergandengan tangan. Mbok Sumi yang melihat mereka dari dapur menggelengkan kepalanya.
'Istri sendiri dibiarkan sakit, tapi perempuan lain digandeng mesra.'
Kata-kata itu hanya mampu diucapkan Mbok Sumi dalam hatinya saja, merasa prihatin dengan nasib yang menimpa majikannya.
"Padahal Non Alea jauh lebih cantik dan juga baik, kenapa Den Bian justru memilih perempuan seperti Non Amara?" Mbok Sumi masih menggelengkan kepalanya sambil menyiapkan makanan untuk majikannya yang sudah ia sajikan di meja makan.
"Mana Alea Mbok, tumben Mbok Sum yang siapin?" Bian menatap Mbok Sumi. Biasanya asisten rumah tangganya ini hanya membersihkan rumah tanpa ikut campur dengan urusan memasak, karena yang memasak biasanya Alea tanpa di bantu siapapun termasuk Mbok Sumi.
"Non Alea sakit, Den, tadi pagi Non Alea menelepon menyuruh saya masak." Mbok Sumi menundukkan kepalanya.
"Alea sakit? Perasaan semalam dia baik-baik saja, Mbok." Bian jadi ingat pertengkarannya dengan Alea semalam, ia melihat kedua tangannya sendiri saat mengingat kedua tangannya kembali menyakiti perempuan itu. Semalam karena emosi, Bian kembali menampar wajah Alea.
Bian menghembuskan napas panjang saat terbersit rasa bersalah di sudut hatinya.
"Palingan cuma akting, Bian. Karena semalam kau memarahinya." Amara menatap Bian dan menyeruput kopi buatan Mbok Sumi.
Bian mengangguk kemudian mengaduk-aduk nasi goreng, menu sarapan pagi yang dibuat oleh Mbok Sumi, kemudian menyuapkannya ke dalam mulut.
'Rasanya tak seenak buatan Alea. Padahal semalam aku sengaja meminta dia memasak nasi goreng untuk sarapan pagi ini, karena aku ingin sekali makan nasi goreng buatannya.' Bian berucap dalam hati.
"Mbok!" teriak Amara.
"Ada apa, Non?"
"Kok rasanya nggak kayak bikinan Alea sih, Mbok, nggak enak." Wajah Amara terlihat kesal kemudian menyingkirkan piring berisi nasi goreng yang baru ia cicipi satu suapan.
"Maaf Non, masakan saya memang nggak seenak masakan Non Alea." Mbok Sumi melihat ke arah Amara dengan perasaan bersalah.
"Besok-besok Mbok Sumi nggak usah masak, biar Alea saja yang masak!" perintah Amara dengan kesal.
"Iya Non, maafkan saya." Mbok Sumi menundukkan wajahnya.
"Ya udah, aku nggak jadi makan. Nanti aku makan di kantor saja." Amara beranjak dari kursinya.
"Ayo, Sayang ... kita cari sarapan di luar saja." Amara menarik tangan Bian dengan manja.
"Kamu tunggu di luar, aku mau ngambil tas kerjaku dulu."
Amara mengangguk kemudian menuju keluar rumah.
"Maafin sikap Amara ya, Mbok, jangan di ambil hati." Bian menepuk bahu Mbok Sumi, merasa tidak enak dengan perempuan itu.
Bian melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tamu yang ditempati Alea.
"Biasanya semua udah disiapin sama Alea, aku tinggal berangkat saja ke kantor," gumam Bian saat dirinya masuk ke dalam ruang kerjanya.
Saat Bian keluar dari ruang kerjanya, Bian melirik pintu kamar di sebelahnya. Bian masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk pintu, ia ingin memastikan apa Alea benar-benar sakit atau hanya sekedar alasannya saja.
Bian sudah di dalam kamar Alea, ia melihat perempuan itu tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Bian mendekati Alea, menatap kedua mata Alea yang terpejam. Kedua mata itu terlihat membengkak, kedua pipinya memar dan sudut bibirnya pun membengkak.
Bian menarik napas panjang, menatap wajah Alea yang terlihat begitu menyedihkan.
Semalam, saking emosi, Bian menampar Alea dengan begitu keras hingga kedua pipinya terlihat memar.
"Dia pasti menangis semalaman." Bian menatap kedua mata Alea yang membengkak, kemudian meletakkan telapak tangannya di kening Alea. Bian terjengit kaget saat merasakan panas yang menyengat di kening Alea.
'Dia benar-benar sakit ternyata.'
Ia kembali menempelkan tangannya pada kening, pipi, dan leher Alea.
"Badannya panas sekali." Bian segera beranjak dari tempat tidur, kemudian melangkah meninggalkan kamar Alea.
"Mbok! Mbok Sumi ...!" Bian berteriak memanggil Mbok Sumi yang berada di dapur.
"Iya, Den. Ada apa?"
"Mbok Sumi cepat telepon Dokter Haris. Suruh dia ke sini secepatnya, Alea demam tinggi!" ucap Bian panik.
"Tapi, Den, Non Alea tidak mau diperiksa oleh dokter."
"Memangnya kenapa, Mbok?"
"I-i-itu, Den, Non Alea menolak di bawa ke dokter." Mbok Sumi menjawab dengan takut- takut.
"Kenapa dia tidak mau di bawa ke dokter?"
"Saya nggak tahu, Den." Mbok Sumi pura-pura tidak mengetahui alasan Alea tidak mau diajak ke dokter. Padahal, Mbok Sumi tahu persis, kenapa Alea tidak mau berobat. Majikannya itu ingin menutupi aib suaminya.
"Ya, sudah. Biar nanti aku saja yang telepon dokter ke sini," ucap Bian akhirnya.
"Jangan dulu, Den, sebaiknya Den Bian tanya dulu sama Non Alea."
"Aku tidak perlu persetujuan dia Mbok," ucap Bian keras kepala.
"Tapi, Den .... "
Bian sudah melangkahkan kakinya meninggalkan Mbok Sumi, ia kembali masuk ke kamar Alea. Saat Bian masuk, Alea sudah membuka matanya. Wajahnya terlihat pucat.
"Kenapa kau tidak mau ke dokter?" Bian menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa kau sengaja? Biar aku bersimpati padamu?" lanjut Bian.
Alea memalingkan wajahnya.Tak ingin melihat wajah pria yang berulangkali menyakitinya itu.
"Aku akan menelepon Dokter Haris, biar dia ke sini secepatnya." Bian mengambil ponsel dari dalam saku bajunya. Ingin menelepon dokter pribadinya.
"Kau ingin Dokter Haris melihat keadaanku?" Alea berucap dengan bibir bergetar.
"Kau demam, Alea. Kau harus berobat."
"Apa kau ingin Dokter Haris tahu, kalau kau sudah melakukan KDRT padaku?" Tubuh Alea menggigil, kepalanya terasa berat, dan badannya terasa panas. Mungkin ini efek dari menangis sambil berendam di bak mandi semalam.
Bian langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia menatap Alea yang langsung memalingkan wajahnya.
'Kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu?'
Alea menatap Bian yang langsung mematikan ponselnya.
"Bagaimana? Apa sekarang kau masih ingin memaksaku ke dokter?" Alea berkata dengan nada mencibir.
"Aku bisa saja pergi ke dokter dari pagi, tanpa kau suruh, tetapi aku memikirkanmu. Coba bayangkan, seandainya aku datang ke rumah sakit dalam keadaan lebam di seluruh wajahku, atau seandainya kau menyuruh Dokter Haris kesini, apa kira-kira tanggapan mereka melihat luka-luka lebam di wajahku?" Alea berucap tanpa memandang Bian sama sekali.
Bian melangkahkan kakinya mendekati Alea, ia ingin kembali menempelkan tangannya di kening Alea. Namun, belum sempat ia memegang kening Alea, ucapan yang keluar dari mulut Alea membuat ia menggantungkan tangannya.
"Tidak usah sok peduli padaku!" Alea menepis tangan Bian kasar, sambil menatap Bian.
"Sayang ...! " Terdengar suara teriakan Amara memanggil Bian. Namun, Bian masih belum beranjak. Ia masih menatap Alea yang terlihat berbeda. Tatapan mata Alea yang biasanya memelas, memuja, dan menghiba, kini terlihat dingin, hingga membuatnya terpaku untuk beberapa detik.
"Bian ...! Ayo cepat, Sayang, nanti kita terlambat." Kembali terdengar teriakan Amara dari luar.
"Aku akan menyuruh Mbok Sumi untuk membelikanmu obat." Bian kemudian beranjak keluar kamar meninggalkan Alea. Ia bergegas menuju mobil, di mana sang pujaan hati sedang menunggunya. Namun, sebelum pergi, Bian menyuruh Mbok Sumi untuk menjaga Alea dan membelikannya obat.
Sepeninggal Bian, Mbok Sumi masuk ke kamar Alea dengan membawa sarapan dan wadah berisi air juga handuk untuk mengompres Alea.
"Makan dulu, Non, setelah makan, baru minum obatnya." Mbok Sumi membantu Alea duduk bersandar di kepala ranjang. Mbok Sumi menangis melihat keadaan majikannya itu.
"Kenapa Mbok Sum menangis?"
"Saya nggak tega melihat Non Alea di siksa terus seperti ini, Non. Saya ikut sakit rasanya." Mbok Sumi kemudian memeluk Alea.
"Non Alea masih muda, cantik, juga baik. Non Alea harus bangkit, Non. Non Alea juga berhak bahagia."
"Kita ke dokter ya, Non, luka-luka Non Alea harus segera diobati."
"Tapi, Mbok?"
"Nanti kita suruh dokter merahasiakannya, atau nggak, sekalian saja Non Alea melakukan visum, buat jaga-jaga."
"Apa maksud, Mbok Sum?"
"Buat jaga-jaga seandainya suatu saat nanti, Non Alea ingin terlepas dari Den Bian." Mbok Sumi menatap wajah Alea dengan linangan air mata.
Bayangan wajah anaknya yang sedang tersenyum terlintas.
'Ibu tidak akan membiarkan orang lain mempunyai nasib yang sama seperti kamu, Anakku.'
Melihat Alea, Mbok Sumi jadi teringat anaknya yang meninggal bunuh diri, karena sering disiksa suaminya yang menikah lagi dengan perempuan lain.
.
.
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa like, koment, dan votenya, ya Kakak-kakak 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Siti Aisyah
aku jd sedih melihat keadaan alea..gemws banget sama si bian dan cecinguk binal nya
2022-08-21
0
Jeni Safitri
Ngemes lihat wanita bodoh
2022-07-03
0
Umi Abi
harus bangkit
2022-03-24
0