Chapter 2

***

Delima telah sampai di lantai 15 menggunakan lift karyawan. Ia naik bersama Office Girl dan Office Boy yang lain. Sesuai instruksi dari Bu Viana, ia mengambil alat kebersihan di salah satu ruangan khusus di lantai tersebut. Setelah menemukan alat yang dibutuhkannya, ia berjalan menuju ruang pimpinan disana. Satu-satunya ruangan yang paling besar di lantai 15 tentunya.

“Permisi, Bu. Saya izin membersihkan ruangan.” Delima meminta izin kepada seorang perempuan yang sedang duduk di dalam ruangan itu.

“Oh, ya.” Wanita bernama Deby mengamati Delima. Ia belum pernah melihat anak ini. “Kau baru ya? Masuk saja ke ruangan disebelah sana. Ingat, tugasmu hanya membersihkannya saja.”

“Baik, Bu Deby.” Jawab Delima setelah membaca papan nama di meja Deby.

Delima masuk ke ruangan pimpinan dengan hati-hati. Ia takut jika  membuat masalah karena kecerobohannya. Ia mulaimengambil lap dan *****-bengeknya kemudian mulai mebersihkan ruangan itu.

“Padahal ruangannya sudah rapi sekali.”, gumamnya. Delima membaca papan nama yang ada di meja pimpinannya sambil membersihkan dan merapikan meja tersebut.

Devano Anderson Wijaya

“Oh, jadi namanya Pak Devano.”

Dua puluh menit kemudian Delima sudah selesai membersihkan seluruh ruangan. Ia menyeka peluh yang mengalir dari dahi mulusnya. Kemudian meregangkan tubuhnya. “Ruangan ini sangat luas.”

CKLEK

Seorang pria masuk ke dalam ruangannya. Pria itu menatap aneh seorang gadis berseragam Office Girl yang

sedang bergerak-gerak seperti sedang olahraga.

‘Sedang apa gadis ini?’, tatapan pria itu menjadi sangat tajam. Dia berdiri dibelakang Delima yang masih menggerakkan tubuhnya tanpa menyadari seseorang yang telah masuk ke ruangan itu.

“Ada apa, Bos?”, seorang pria lain masuk menyusul. “O..”, pria yang baru datang itu manggut-manggut.

“Sedang apa kau?”, pria itu berkata dengan suara beratnya.

Delima tersentak kaget, ia membalikkan badan dengan cepat. Dan kepalanya membentur dada seseorang.

“Aduh!”, Delima mengelus dahinya sambil meringis. Ia mendongakkan kepalanya dan terpana.

‘Duh Gusti. Siapa ini? Tampan sekali. Astaga apakah dia malaikat?’ Delima menggelengkan kepalanya.

Delima menatap dua pria tinggi didepannya. ‘Gawat. Jangan-jangan dia Pak Devano.’, kemudian Delima menundukkan kepalanya takut.

“Hei kau gadis kecil, kenapa kau tidak menjawab pertanyaan Tuan Devano?!”

“Ah! Ma-maafkan saya. Saya baru saja membersihkan ruangan anda, Pak. Maafkan saya.”

‘Apakah aku akan dipecat? Jangan tolong. Aku baru diterima disini.’

Devano masih menatap tajam gadis didepannya. Ia agak kesal karena biasanya ketika ia masuk ke ruangannya, Office Girl atau Office Boy perusahaannya sudah menyelesaikan tugasnya. Tapi ini? Gadis ini benar-benar merusak moodnya pagi itu.

“Biasanya si gendut yang naik ke lantai ini.”, ucap asistennya heran.

“Seharusnya, kau sudah pergi ketika aku datang.”, Devano mengatakannya dengan kesal. Tatapan tajamnya tak beralih dari gadis berambut hitam legam didepannya yang sedang menunduk dalam.

“Maaf, Pak. Maafkan saya. Tolong jangan pecat saya ya, Pak!”, Delima menangkupkan tangannya didepan dada. Memohon.

Devano menghela napasnya. Ia kesal, tapi ia harus menahannya. Hari ini ada banyak jadwal dan ia tidak mau memperburuk moodnya.

“Keluar sekarang.”

“B-baik, Pak. Terimakasih.”

Dengan tergesa-gesa Delima berjalan keluar ruangan Devano. Kemudian pamit kepada Deby.

“Astaga. Kau bodoh sekali Delima. Untung saja kau tidak dipecat. Hampir saja. Dia sangat menakutkan.”, Delima bergumam sambil berjalan menuju ruangan khusus untuk meletakkan alat kebersihannya.

**

Devano duduk di kursi kebesarannya. Moodnya sedikit buruk pagi itu. Untung saja dia bisa menahannya.

“Sepertinya tadi Office Girl baru. Aku baru melihatnya.” Wira, asisten sekaligus sahabatnya itu berujar. Sebenarnya Wira hanyalah seorang asisten Devano, namun Devano sudah menganggap Wira sebagai sahabatnya sendiri karena dia dulu berteman dengan Wira sejak SMA.

“Hem. Jangan buat moodku makin buruk bodoh!”

“Baiklah-baiklah selesaikan saja pekerjaanmu, Tuan Muda. Jadwal rapat pertama hari ini dimulai pukul sembilan.” Wira memberitahukan jadwal pertamanya pada Devano.

“Siapkan semuanya.”

***

“Del, bisakah kau membantuku?”, seorang gadis bernama Via bertanya.

“Ya? Apa yang harus aku lakukan, Vi?”

“Bantu aku membawakan kopi-kopi ini ke ruang rapat. Ikuti saja aku ya. Kau pasti belum tahu ruangannya.”

Via mengambil salah satu dari dua nampan didepannya. Delima ikut mengambil nampan yang satunya kemudian berjalan menuju ruang rapat.

Setelah sampai ke ruang rapat, ternyata rapat belum dimulai. Ada Devano, Wira dan cukup banyak orang berjas di dalam ruangan itu. Jika dihitung kemungkinan ada sepuluh orang. Delima masih merasa takut dan malu pada Devano hanya berjalan sambil menunduk. Delima meletakkan gelas berisi kopi dengan sopan didepan orang-orang yang mengelilingi meja bundar tersebut. Tak menyadari jika ada sepasang mata yang menatapnya intens.

“Selamat menikmati kopinya, Pak.” Delima berujar sambil tersenyum sopan setiap ia meletakkan kopi didepan pria-pria yang  jauh lebih tua dari Devano.

“Apa-apaan gadis itu?”, Devano berguman. Selama ini tidak pernah ada Office Girl yang melakukan hal itu ketika menghidangkan kopi didepan peserta rapatnya. Menawarkan sambil tersenyum.

“Itu salah satu bentuk kesopanan, Dev. Wah, baru kali ini aku melihat yang seperti itu.”, Wira berujar dengan takjub.

“Diamlah, Wir!”

“Namaku Wira, bukan War Wir seperti itu!”, Wira berujar kesal sambil memutar bola matanya.

‘Dasar bule curut! Seandainya kau bukan bos dan sahabatku sudah kujemur sampai jadi ikan asin!’

Setelah Delima dan Via selesai menghidangkan kopinya, mereka berdua keluar dari ruang rapat.

Delima berjalan kembali menuju ke ruangannya membawa nampan tadi. Via tadi izin ke toilet. Katanya kebelet pipis sehingga Delima kembali sendirian. Dari kejauhan ada seorang pria yang berjalan terburu-buru dan tak sengaja menabrak bahu Delima.

“Aduhh!!” Delima terjatuh dengan tidak elitnya.

Pantatnya sakit!

“Ah, maaf nona. Apakah kau baik-baik saja?”, Ujar pria itu. Delima mendongak menatap pria tampan didepannya.

“Ti-tidak apa-apa, Pak.”, Delima bangkit dari jatuhnya.

“Sekali lagi maaf nona. Saya sedang terburu-buru.”

Kemudian pria itu berjalan tergesa-gesa masuk ke ruang rapat tadi.

‘Aduh sial banget sih hari ini. Bisa-bisa pantatku makin tepos.’

**

Jam istirahat datang. Seluruh karyawan turun ke kantin perusahaan untuk makan siang. Tak terkecuali Delima. Setelah mengambil makanannya, ia duduk bersama temannya barunya yang lain dan makan sambil mengobrol.

“Delima asalnya dari mana?”, Via bertanya.

“Aku dari daerah XXX. Aku diajak Nina bekerja disini.”

“Hah? Beneran? Bukan dari luar negeri, gitu?”, Lea bertanya

terheran-heran.

“Iya. Haha mana mungkin aku dari luar negeri, Le.”

“Tapi kamu kayak bukan orang Indonesia loh, Del.”

“Kemarin Nina juga berkata seperti itu. Tetangga di kampung juga bilang aku aneh. Hehe.”

“Rahasia skincare dong, Del. Aku juga pengen punya wajah mulus kinclong tanpa jerawat dan komedo kayak kamu. Hiks.” Lea berujar sedih. “Iya, Del. Skincaremu apa? Aku juga ingin ngilangin bopengku. Huhuhu.” Via melanjutkan

“Hanya sabun dan air sumur. Di kampung mana ada skinker.”, Delima menjawab santai kemudian menyuapak sesendok nasi ke mulutnya.

“HAH?”

***

“Wira Sentana!”

“Bisakah kau tidak berteriak, Dev! Aku disini selalu bersamamu!”

Devano bergidig. “Bersamamu. Bersamamu. Aku bukan pacarmu bodoh! Dan aku masih normal!”

“Normal katamu? Sungguh aku begitu meragukanmu.”

“Ck. Sialan kau.”

Wira menjatuhkan bokong seksinya di atas sofa ruangan. Sedangkan Devano duduk di kursi kebesarannya. Baru saja ia menyelesaikan seluruh jadwal meetingnya. Tubuhnya lumayan lelah. Dan otaknya sangat panas.

“Suruh Deby membelikanku Ice Coffee Late di depan kantor.”, Ujar Devano.

“Dia tidak ada di ruangannya.”, Jawab Wira.

“Ck. Kemana wanita itu. Kenapa suka sekali keluyuran tidak jelas! Padahal aku belum pulang!”

“Aku akan menyuruh OB atau OG.”

“Hemm..” Devano menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan matanya. Sambil menunggu Ice Coffe Lattenya datang.

**

Delima merapikan tasnya. Ia sudah mengganti pakaian kerjanya dengan kaos yang sedikit kebesaran di tubuh mungilnya.

Saat ia akan keluar ruangan, Viana datang menghampiri Delima. Satu-satunya karyawan yang ada di ruangan itu.

“Delima. Tolong belikan dua Ice Coffee Latte di café depan kantor. Dan bawa ke ruangan pimpinan. Hanya tinggal kamu saja disini. Aku harus pulang segera karena anakku sudah menangis di rumah.”

“Ais cofe let. Apa tadi bu? Delima tidak paham.”, Delima

bertanya dengan polosnya.

“I-C-E C-O-F-F-E-E L-A-T-T-E. Bilang saja seperti itu. Mereka pasti paham. Setelah kau mengantar itu, kau boleh pulang.”

“Aaaaa.. Iya bu, baik.”

Delima menerima uang seratus ribuan dari Viana dan meluncur ke café.

Sesampaianya di café, Delima memesan es pesanan bosnya. Ia membaca harga minuman dan makanan disana.

“Astaga mahal sekali padahal cuma es kopi. Seratus ribu cuma dapat dua. Padahal di kampung kalau  beli pecel bisa untuk makan 15 orang.” Delima menggelengkan kepalanya. Ia jadi teringat neneknya. Dulu neneknya juga berjualan pecel.

***

CKLEK

Delima masuk ke ruangan Devano dengan kepala tertunduk. Ia masih malu dengan kejadian tadi pagi. Ia sudah menubruk dada bosnya dengan jidat batunya.

“Em. Pak. Saya mengantar pesanan kopi.”

“Taruh di meja sana.”, Devano berkata tanpa membuka matanya.

“Apa masih ada yang bisa dibantu, Pak?”

Devano membuka matanya. Manik kebiruannya menangkap seorang gadis yang memakai jeans dan kaos hijau yang kebesaran. Gadis yang tadi pagi menubruk dadanya dengan jidatnya. Devano mengeryit dengan style gadis itu yang menurutnya aneh. Kemudian matanya beralih ke rambut gadis itu yang berwarna hitam legam. Rambutnya dikuncir kuda. Sangat cocok dengan gadis itu -menurut Devano-. Kemudian matanya kembali mengamati wajahnya yang polos. Devano mengeryit. Gadis ini seperti bukan orang Indonesia.

“Kau tetap disitu sampai aku pulang.”, Devano berkata sambil menyeringai. Kemudian mengambil salah satu Ice Coffee Lattenya dan menyedot isinya. Sang asisten tadi izin pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan dengan keluarganya.

Delima hanya melongo. Ia harus berdiri disini sampai bosnya pulang? Ia kesal. Seharusnya tadi dia langsung pamit saja. Tangannya ia angkat untuk mengetuk-ngetuk kepalanya.

‘Padahal aku mau belanja!’

‘Sial sekali!’  Delima terus mengumpat dalam hati.

**

Delima berbelanja di supermarket sambil menggerutu kesal. Bibirnya manyun sejak ia keluar dari kantornya. Ia dikerjai oleh bosnya. Berdiri selama dua jam di ruangan dan menunggu bosnya yang meminum kopi dan bermain ponselnya.

Delima keluar dari supermarket itu. Ia berjalan menuju tempat duduk yang ada didepan supermarket. Meletakkan belanjaannya di bawah, mengambil air putih botol dari sana dan meminumnya.

“Hah.. Baru hari pertama bekerja kenapa aku sudah sial begini sih. Padahal yang lain kulihat-lihat biasa saja. Tidak ada yang sesial diriku.”

“Halo, Nona..” Seorang pria tiba-tiba datang dan duduk di bangku sebelah Delima.

“Eh?”, Delima terperanjat kaget.

“Kita bertemu lagi, Nona.”

Delima menatap pria tampan didepannya. Wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Sangat tampan sekaligus cute.

“Ah, ya?” Delima masih bingung.

“Aku minta maaf karena tadi pagi menabrakmu.”

Delima ingat. Pria yang menabraknya sampai membuat bokongnya menangis terbentur lantai.

“Iya tidak apa-apa, Pak.”, Delima menjawab pria itu kaku. Dia pasti teman Pak Devano. Ia harus bersikap sopan. Pikirnya.

“Aku Marvel. Siapa namamu, nona?”

“Ah? Anu.. itu... Nama saya Delima.”

Pria bernama Marvel tersenyum geli dengan gelagat gadis didepannya. Ia mengamati wajah Delima dan membuat Delima merasa tidak nyaman. Akhirnya Delima menundukkan kepalanya karena risih dan malu.

“Nama yang bagus. Apakah Delima baru saja belanja?”

“Iya, Pak. Saya baru saja belanja.”

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Ah. Aku merasa tua sekali.” Marvel mengusap usap dagunya pelan.

‘Lalu aku harus memanggilnya apa? Mas Marvel? Om Marvel?’  Delima membatin aneh.

“Panggil aku Kak Marvel saja.” Marvel berkata sambil tersebyum lebar menatap Delima.

Delima hanya tersenyum kaku.

Marvel mengambil ponselnya, mengetik sesuatu disana.

“Aku harus pergi nona Delima. Sampai bertemu lain waktu.” Marvel tersenyum kemudian pergi dari hadapan Delima.

“Sepertinya, kak Marvel orang baik ya. Tapi sepertinya dia orang kaya.” Delima menghela napasnya. Ia hanyalah seorang Office Girl. Ia tidak boleh bergaul dengan orang kaya seperti Marvel. Ia merasa tidak pantas. Delima menyadi posisinya.

***

Devano masuk ke kamarnya dan duduk di sofa yang ada disana kemudian berpikir sesuatu sambil menatap jendela kamarnya.

Gadis itu…

Devano mengambil ponsel di saku jasnya kemudian memanggil seseorang.

“Wir, cari tahu tentang gadis yang menabrakku tadi pagi! Besok kau harus memberikan informasinya padaku!”

“Apa? Apa maksudmu, Dev? Kau…….”

Devano mematikan ponselnya. Ia berani yakin Wira pasti sedang mengumpatnya diseberang sana.

Devano kembali menyandarkan kepalanya di sofa. Memejamkan matanya dan tersenyum. Senyum yang aneh dan tidak dapat dideskripsikan apa maksudnya.

Terpopuler

Comments

Ary Prasetyo

Ary Prasetyo

thor maaf aku bingung. jadi yang nabrak Delima itu Marvel apa Devano yah.

2021-08-21

0

Supatmi Ari

Supatmi Ari

semanggat thor,,,,,,,

2021-05-25

1

Naida

Naida

lanjut..

2021-05-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!