Kami bertiga masuk ke kelas masing-masing untuk mengikuti materi MOS yang terakhir. Kebetulan hari itu materinya adalah tentang organisasi. Yang mengisi materi adalah kakak-kakak pengurus OSIS. Semua siswa baru merasa enjoy ketika diisi oleh kakak kelas karena materinya ringan dan siswa tidak terlalu menjaga sikap selama pembelajaran. Menjelang salat Asar, kegiatan MOS hari itu pun selesai. Aku dan kedua temanku pun langsung menjalankan aksi. Aku masuk ke ruang perpustakaan, Indah berjalan menuju kamar mandi, dan Bondan duduk di depan kelas untuk mengawasi pergerakan orang lain yang berisiko memergoki upaya Indah.
Di dalam ruang perpustakaan suasananya sangat hening saat itu. Mungkin karena ini sudah jam pulang, jadi tidak ada siswa maupun siswi yang mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Yang kulihat hanya Bu Iis yang sedang mengembalikan buku-buku di atas meja baca ke raknya masing-masing sama seperti yang dilakukan olehku dan Bondan kemarin. Karena tidak tega melihat Bu Iis melakukannya sendirian, aku pun bergegas menghampiri petugas penjaga perpustakaan tersebut.
"Bolehkah saya membantu pekerjaan Bu Iis?" tanyaku pada salah satu karyawan di sekolahku itu.
"Boleh banget, Mas," jawab Bu Iis.
"Oke," jawabku pendek.
Aku pun segera membantu beliau mengambalikan buku-buku itu ke dalam raknya masing-masing. Hari itu aku bisa bekerja lebih cepat, mungkin karena sudah pernah sekali melakukannya. Aku dan Bu Iis berbagi meja baca yang ada di ruangan tersebut.
"Nama kamu siapa, Mas?" tanya Bu Iis sopan.
"Imran, Bu. Saya siswa
" Kamu siswa baru di sini, kan? Asal SMP-mu dari mana?" tanya Bu Iis.
"Iya, Bu. Saya adalah siswa baru di sekolah ini. Saya berasal dari SMP Negeri 1 Karangjati," jawabku renyah.
"Wah, cukup jauh dari sini, ya?" tanya guruku lagi.
"Iya, Bu. Saya ke sekolah tiap hari naik Angkot," jawabku lagi.
"Oh ya, Apakah Pak Irfan tetap mengajar di situ?" tanya Bu Iis lagi.
"I-i-iya, Bu. Pak Irfan masih aktif mengajar sebagi guru IPA dan ekskul karate di sana. Kenapa, Bu? Ibu kenal Pak Irfan?" Giliran aku yang saat ini bertanya.
"Dia itu teman SMP saya. Kebetulan saya juga berasal dari SMP Negeri 01 Karangjati," jawab Bu Iis.
"Wah, berarti kita satu almamater?" pekikku keheranan.
"Alhandulillah," jawab Bu Iis.
Ternyata bertemu dengan orang yang satu almamater itu rasanya sangat menyenangkan meskipun beda angkatan.
"Ibu kok bisa sekolah di SMP Negeri 1 Karang jati?" cetusku sambil menatap wajah Bu Iis.
"Iya. Saya ini kan anaknya Camat. Ketika aku lulus SD ayahku kebetulan ditugaskan di Karangjati, saya pun melanjutkan di SMPN 1 Karangjati. Di sanalah saya mengenal Pak Irfan," jawab Bu Iis kalem.
"Ooo, begitu ceritanya," sahutku.
"Hm ... apakah Pak Irfan sudah menikah?" tanya Bu Iis lagi.
"Alhamdulillah sudah, Bu," jawabku.
"Oh ya? Dapat orang mana dia?" seloroh Bu Iis seolah tidak percaya.
"Beliau menikah dengan Bu Ratih setahun yang lalu," jawabku.
"Ya Allah ... Bu Ratih itu juga teman saya, loh. Syukurlah kalau Pak Irfan akhirnya mau menikah karena dia itu pernah patah hati dan banyak yang mengira bahwa dia tidak akan menikah selamanya. Sedangkan Ratih mungkin satu-satunya teman seangkatan saya yang masih bujang. Syukurlah, kalau keduanya menikah. Saya sangat bahagia mendengarnya," ujar Bu Iis panjang lebar.
"Iya, Bu. Memang semenjak kematian Tari, Pak Rengga eh Pak Irfan seperti menutup pintu hatinya hingga akhirnya kasus kematian Tari terungkap dan ia pun mulai membuka hatinya dan menikah dengan Bu Ratih," jawabku sambil tersenyum kepada Bu Iis.
"Loh, kok kamu tahu tentang Tari? Apa Pak Irfan dan Bu Ratih menceritakan semuanya?" tanya Bu Iis keheranan.
"Bukan. Saya mendengar ceritanya dari ayah dan ibu saya sendiri," jawabku dengan senyum semakin lebar.
"Oh ya? Bagaimana kedua orang tuamu bisa tahu tentang hal itu?" selidik Bu Iis.
"Karena ayah dan ibu saya juga teman satu sekolah dengan Pak Irfan dan Bu Ratih," jawabku sambil tersenyum lebar.
"Hah! Siapa nama ayah dan ibumu, Mas?" tanya Bu Iis dengan kening berkerut seperti tak percaya bahwa siswa yang ada di depannya saat ini adalah anak teman SMP-nya dulu.
"Ayah saya bernama Hasan dan ibu saya bernama Ningrum, Bu," jawabku kalem.
"Allahuakbar .... Le... Dadi kowe iki anake Hasan karo Ningrum to? (Jadi, kamu ini anaknya Hasan dan Ningrum, to? Subhanallah ... Pantas saja mukamu ini ganteng kayak bapakmu," pekik Bu Iis sambil menguyel-uyel rambutku yang tertata rapi.
Aku nyengir ketika guruku ini terkejut dengan fakta bahwa aku adalah anak salah satu temannya. Uyelan itu tidak hanya dilakukan sekali, tapi tidak kurang dari tiga kali sehingga rambutku menjadi awut-awutan karena perlakuan itu.
"Gimana kabar ayah dan ibumu, Le? Kalau ibumu sih, aku pernah ketemu. Ningrum kerja di gudang tembakau di sebelah sekolah ini kan?" tanya Bu Iis bertubi-tubi.
"Alhamdulillah, bapak dan ibu sehat. Iya, benar. Ibu memang bekerja di gudang tembakau di sebelah sekolah ini, tapi saat ini masih libur belum ada panggilan kerja," jawabku.
"Kapan-Kapan saya mau main ke rumahmu, Le. Saya sudah kangen dengan ayah dan ibumu. Saya nggak nyangka banget Ningrum kok bisa nikah sama Hasan. Lah wong waktu sekolah, mereka berdua nggak saling suka. Eh, kok saya malah jadi bahas itu, ya?" cetus Bu Iis mengalir begitu saja.
"Monggo, Bu. Bapak dan ibu pasti akan senang kalau Bu Iis mau main ke rumah," jawabku.
"Ya sudah. Ini sudah sore, kamu nggak mau pulang tah? Biar saya yang menyelesaikan ini semuanya, Le. Oh, ya, nama kamu siapa wes, saya sampai lupa menanyakan hal itu?" ujar Bu Iis.
"Nama saya Imran, Bu," jawabku sambil tetap membantu Bu Iis.
"Oke. Sampaikan salam saya untuk ayah dan ibumu, ya?" ucap Bu Iis.
"Iya, Bu. Salam Bu Iis akan saya sampaikan kepada mereka," jawabku.
"Sudah sana wes pulang saja! Biar ayah ibumu nggak bingung," perintah guruku itu.
"Iya, Bu. Tapi sebelum saya pulanglah, bolehkah saya menanyakan sesuatu pada Bu Iis?" ujarku.
"Mau tanya apa? Monggo, kalau saya bisa akan saya jawab," ujar Bu Iis
"Bu Iis sudah lama menjadi petugas perpustakaan ini?" Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.
"Sudah sekitar lima tahunan, Im. Awalnya saya diperbantukan di bagian TU, tapi karena petugas perpustakaan ini mutasi ke wilayah lain, maka saya dipindahtugaskan ke sini. Emangnya kenapa, Im?" Bu Iis menatap mataku keheranan.
"Apa selama bertugas di sini, Bu Iis mengalami hal aneh?" tanyaku memberanikan diri.
Bu Iis terkejut dengan pertanyaanku.
"Apa, Im?" Ia bertanya.
"Selama Bu Iis menjadi petugas di sini, apakah Bu Iis pernah melihat atau mengalami keanehan di sini?" Aku mengulangi pertanyaanku.
Bu Iis terbelalak mendengar pertanyaan itu. Matanya menatap tajam ke arahku seolah-olah ia tidak percaya pertanyaan itu keluar dari mulutku.
BERSAMBUNG
Lebaran sebentar lagi
Upatenya cuma sekali
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Irma Tjondroharto
wah si ganteng imran ketemu temen ortu nya lagi...mau ngomong ndak ya bu Lis ...mari lanjut
2022-03-12
1
chandra harp
465
2022-02-03
1
V3
makin penasaran nih
2022-01-27
0