Arini histeris begitu mengetahui bahwa jenazah itu memang benar adalah jenazah ayahnya. Arini langsung memeluk dengan erat tubuh kaku ayahnya itu. Berkali-kali ia memanggil nama ayahnya seolah ia tidak ikhlas ayahnya sudah pergi untuk selama-lamanya. Kami bertiga berbagi tugas untuk menenangkan kondisi Arini saat itu. Bapak penjaga bertugas merapikan kembali kain putih yang menutupi jasad ayahnya Arini, Bondan menahan lengan Arini agar tidak terus-terusan mendekap jasad ayahnya, sedangkan aku yang menasehati Arini untuk tidak menjatuhkan air matanya ke jasad orang yang sangat Arini sayangi.
"Lepas, Ndan. Biarkan aku bersama ayah!" teriak histeris anak perempuan itu.
"Jangan begitu, Rin. Ikhlaskan kepergian ayahmu. Beliau pasti ingin kamu kuat menghadapi ujian ini, Rin!" ujarku berusaha menenangkan anak kelas dua SMP 16 itu.
Setelah bermenit-menit menangis sesegukan akhirnya anak perempuan yang tomboy itu pun mulai tenang dan dapat menguasai dirinya.
"Nak, apa ada keluarga lain yang sudah dewasa untuk kmai hubungi?" tanya bapak penjaga kamar mayat pafa Arini.
"T-t-idak, Pak. Ayah tinggal sendirian," jawab Arini.
Jujur aku dan Bondan bingung dengan jawaban Arini tersebut. Tapi, bapak petugas seperti mengerti dengan jawaban teman perempuan kami tersebut.
"Baiklah, kalau begitu. Ayo kita persiapkan kepulangan jenazah ayahmu ini. Biar nanti pak polisi yang akan membantu menghubungi kepala lingkungan di sekitar rumahmu untuk persiapan pemakaman ayahmu. Ayahmu akan dimandikan di rumah atau di sini?" tanya bapak penjaga.
"Dimandikan dan dikafani di sini saja, Pak. Biar nanti di rumah tinggal mensholatkan dan memakamkan saja," jawab Arini.
"Baiklah, kalau begitu, ayo kita segera mempersiapkan segala sesuatunya!" ujar bapak penjaga.
Setelah itu kami pun memandikan jenazah sopir angkot itu dipandu oleh bapak penjaga. Arini masih saja tak bisa menghentikan tangisnya saat membantu untuk memandikan jenazah ayahnya. Akhirnya, ia hanya membantu sebentar saja. Aku dan Bondanlah yang ikut memandikan jenazah ayahnya sampai selesai. Setelah memandikan jenazah, kami juga diajari dan dibantu untuk mengkafani jenazah ayahnya Arini. Sedangkan Arini mengurusi surat-surat yang diperlukan untuk kepulangan jenazah ayahnya. Setelah kami selesai mengkafani jenazah ayahnya Arini dan mobil ambulan yang akan membawa jenazah tersebut datang, kami pun membawa jenazah laki-laki itu keluar dari ruangan tersebut dengan menggunakan brankar. Saat Bondan dan bapak penjaga kamar mayat akan mendorong brankar, tanpa sengaja mataku tertuju pada celana ayahnya Arini yang terkulai di pojokan. Bagian saku depannya terbuka dan aku melihat ada sebuah benda mencungul di sana. Karena penasaran aku pun menunduk dan mengambil benda itu dari saku celana tersebut. Ternyata benda yang kuambil barusan adalah secarik kertas yang dilipat empat. Aku berhenti sejenak untuk membuka lipatan kertas tersebut. Ternyata itu adalah sebuah undangan dari seseorang untuk ayahnya Arini. Tanggal undangannya adalah hari ini jam 5 pagi. Di sana tercetak dengan jelas alamat yang harus didatangi oleh ayahnya Arini. Aku teringat dengan perkataan hantu yang menyerupai penjaga kamar mayat tersebut bahwa kecelakaan yang menimpa ayahnya Arini adalah faktor kesengajaan. Maka, aku pun menyimpan kertas tersebut di saku celanaku. Setelahnya aku pun kembali melanjutkan jalanku. Aku baru sadar kalau Bondan dan bapak penjaga kamar mayat sudah berjalan jauh di depan dan aku kembali berdiri sendirian di ruangan ini. Aku menoleh ke belakang. Ternyata di sana masih ada beberapa jenazah yang terbaring kaku dan belum diambil oleh keluarganya. Rasa kengerianku kembali muncul dan aku pun mempercepat langkahku mengejar Bondan yang sedang mendorong brankar keluar kamar mayat.
"Kemana saja kamu, Im?" sapa Bondan setelah aku berhasil mengejarnya.
"Aku mengambil sesuatu barusan, Ndan," jawabku sambil berbisik.
"Sesuatu apa? Nggak kapok kamu dikurung di kamar mayat oleh arwah?" tanya Bondan.
"Takut sih, Ndan. Tapi, mau gimana lagi. Aku harus mengambil sesuatu yang sepertinya sangat penting ini. Nanti kita bahas setelah kita selesai memakamkan jenazah ayahnya Arini," jawabku masih dengan berbisik.
"Oke, deh!" jawab Bondan.
Petugas mengarahkan kita untuk membawa brankar berisi jenazah ayahnya Arini tersebut ke sebuah ambulan yang sudah terparkir rapi di belakang. Ternyata di samping kamar mayat ini, ada lorong khusus ke luar rumah sakit ini melalui pintu belakang. Di sana Arini sudah menunggu kedatangan kami.
"Nak, saya tidak ikut mengantar jenazah ayahmu pulang, ya? Karena saya harua menjaga jenazah-jenazah yang lain," ucap bapak penjaga.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya berterima kasih kepada bapak karena sudah membantu menjaga dan merawat jenazah ayahku. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak dengan pahala yang melimpah," jawab Arini sambil bersalaman dengan bapak penjaga. Kami berdua pun ikut bersalaman dengan petugas tersebut. Salah satu petugas menaikkan dan memasukkan jenazah ayahnya Arini ke dalam mobil ambulan.
"Nak, kamu jangan terlalu takut dengan arwah yang mungkin datang padamu, ya? Mereka tidak akan datang kalau tidak butuh pertolonganmu," ucap bapak penjaga saat bersalaman denganku.
"I-i-iya, Pak," jawabku terbata-bata karena ucapan laki-laki tersebut yang menurutku aneh.
"Nak, Tuhan itu pasti punya rencana yang indah mengapa kita dipertemukan dengan seseorang," ucap bapak penjaga pada Bondan.
"Iya, Pak. Terima kasih," jawab Bondan cuek.
"Mas, titip adik-adik ini, ya?" teriak bapak penjaga pada kedua petugas yang membawa ambulan tersebut.
"Tenang, Bos!" jawab salah satu petugas yang bertugas sebagai sopir ambulan.
"Ayo, Adik-Adik segera naik ke ambulan. Kita akan berangkat sekarang!" ucap petugas yang bertugas menaikkan dan menurunkan jenazah ke dalam mobil ambulan.
Kami bertiga pun masuk ke dalam ambulan. Kami duduk berhadap-hadapan di dalam ambulan. Sedangkan jenazah ayahnya Arini terbaring di tengah-tengah kami. Mobil ambulan pun melaju meninggalkan rumah sakit tersebut. Ternyata di depan mobil ambulan ini ada sebuah mobil polisi yang mengawal jalannya mobil ambulan yang kami naiki. Mungkin polisi itu yang sengaja dihubungi oleh pihak rumah sakit untuk mengawal jenazah ayahnya Arini dan membantu berkomunikasi dengan kepala lingkungan di sekitar rumah ayahnya Arini.
"Rumah ayahnya Arini? Loh, kenapa aku merasa ada yang aneh dengan kalimat itu? Bukankah Arini adalah anak dari sopir angkot yang tewas kecelakaan ini? Mengapa tadi Arini bilang kalau ayahnya tinggal sendirian? Terus, Arini tinggal sama siapa kalau bukan dengan ayahnya? Ah, apa akau yang salah dengar atau memang ada rahasia yang disembunyikan oleh temanku ini yang tidak kuketahui," Aku bertanya-tanya di dalam hati.
Aku menoleh ke arah Arini untuk menelisik raut wajahnya. Apakah ia memang menyembunyikan sesuatu yang tidak kuketahui.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Susi Hidayati Yukky
arini itu ankkandungnya bukan..?
2023-02-20
0
Ganuwa Gunawan
mungki s Arini tinggal ama emak nya Imran
2022-12-28
0
Ganuwa Gunawan
ooh knpa tuh benda harus mangcungul sih ...aaah jdi keppo kn s imran
2022-12-28
0