Kami bertiga pun berjalan menyusuri lorong sepi tersebut. Ada perasaan was-was ketika posisi kami sudah dekat dengan laki-laki yang sedang menangis itu. Aku yang berjalan di sebelah kanan tentu nanti akan tepat berada di depan laki-laki itu saat kami bertiga melewatinya.
"Bismillahirrohmanirrohiiim ...," ucapku di dalam hati beberapa langkah sebelum kami bertiga melewati laki-laki tersebut. Terus terang saat itu aku sampai menahan napas karena khawatir laki-laki itu tiba-tiba berbuat tidak mengenakkan terhadap kami bertiga. Tapi, syukurlah kami dapat melewati laki-laki tersebut dengan selamat. Hanya hembusan angin hangat yang tiba-tiba menerpa mukaku saat melewatinya. Setelah tiga langkah melewati laki-laki itu, aku berinisiatif menoleh ke belakang untuk menengok laki-laki itu kembali. Dan aku dibuat terkejut karena dia sudah tidak ada di bangku itu.
"N-n-daaaan ... R-r-riiin ...," panggilku pada kedua temanku dengan pandangan tidak lepas dari kursi kosong di belakangku.
"Ada apa sih, Im? Kamu sampai gemetaran begitu?" tanya Bondan.
"Tau ah Imran ini bikin lambat perjalanan kita saja," protes Arini.
"I-i-itu, Ndan. Laki-Laki yang tadi duduk di kursi tiba-tiba menghilang," jawabku terbata-bata.
Mendengar jawabanku, Arini dan Bondan pun menoleh ke belakang ke arah kursi yang aku lihat.
"Ya Tuhan! K-k-kemana perginya laki-laki itu? P-p-padahal kursi itu agak jauh posisinya dari persimpangan lorong," pekik Bondan.
"I-i-tu dia, Ndan. Aku yakin dia itu bukan manusia seperti kita," jawabku masih gemetaran.
"Sssssstttt!!! Sebaiknya kita harus mengabaikan hal itu dulu, teman-teman!" ujar Arini.
"Apa maksudmu, Rin?" tanyaku bingung dengan sikapnya.
"Kalau kita terlalu menunjukkan rasa takut, hal itu dapat memicu munculnya penampakan-penampakan yang lain. Kata ayahku, di sekitar rumah sakit ini memang sering muncul makhluk tak kasat mata seperti itu," jawab Arini enteng.
"Apaaa???" pekik Bondan.
"Apa kalian tidak pernah dengar cerita seram dari mulut ke mulut tentang rumah sakit ini?" tanya Arini.
"Enggak, Rin," jawabku.
"Apalagi aku, Rin. Aku kan tinggalnya di kabupaten sebelah," jawab Bondan.
"Ntar saja aku ceritain. Sekarang kita fokus sama urusan kita di kamar jenazah," ucap Rini.
"Kamar jenazah?" pekikku dan Bondan.
"Lah iya, kita kan mau memastikan jenazah sopir angkot yang menjadi korban kecelakaan di depan sekolah, apa benar ayahku atau bukan? Tentunya kita harus melihatnya sendiri di kamar jenazah masa di warung pecel?" ujar Arini kesal.
"Maaf ya, Rin. Kami hanya agak ngerasa gimana gitu habis ketemu penampakan barusan," ujarku.
"Iya, Rin. Jangan marah, ya, ntar kamu cepat tua kalau suka marah-marah," ujar Bondan.
"Udah ah, berisik kalian berdua. Tau gitu tadi aku nggak usah ngajak kalian berdua, kalau tau begini," ujar Arini masih dengan nada kesal.
"Ampuuuun, Rin. Kami janji nggak akan rewel lagi," jawabku sambil melirik ke arah Bondan. Bondan mengangguk tanda setuju. Tak ada jawaban dari Arini. Sepertinya cewek tomboy ini sudah memaafkan kami berdua. Aku baru menyadari harusnya aku dan Bondan tidak menambah beban pikiran anak perempuan tersebut yang sedang kalut karena orang tuanya dikabarkan meninggal.
Akhirnya kami bertiga sudah sampai di depan pintu ruangan yang bertuliskan "KAMAR MAYAT". Di tempat itu suasananya benar-benar tidak mengenakkan. Aku menatap sejenak Arini yang berdiri di sebelahku. Wajahnya terlihat tegang dan tidak ada gurat-gurat ketakutan di wajahnya. Kalau dikalkulasi mungkin kadar ketakutannya ditelan oleh kadar kecemasannya. Sedangkan Bondan yang berdiri di sebelah kiri nampak wajahnya pias menahan takut. Kami berhenti melangkah dan berdiri di depan pintu ruangan yang sepertinya sengaja dibiarkan terbuka itu.
Arini menoleh ke kiri dan ke kanan. Wajahnya masih terlihat sangat serius. Kemudian ia berkata,
" Kalau kalian takut, biar aku yang akan masuk sendiri ke dalam," ucapnya datar.
"Tidak, Rin. Kami tidak takut-" ucap kami berdua hampir bersamaan.
Aku dan Bondan mematung karena kami kaget dengan jawaban kami yang secara kebetulan sama dan juga kami juga kaget karena sudah berkata 'tidak takut'. Melihat reaksi kami yang kelihatan menyesal berkata 'tidak takut', Arini bertambah kesal dan ia pun melangkah masuk ke dalam ruangan itu, kami berdua pun mengejar langkah anak perempuan itu.
Ruangan itu ternyata cukup luas dan tidak sama dengan perkiraanku. Kupikir yang namanya kamar mayat, begitu masuk sudah berjejer mayat-mayat di dalamnya. Ternyata tidak! Masuk ke dalam ruangan tersebut, kami masih harus melewati lorong sejauh kurang lebih sepuluh meter, barulah kami sampai di ruangan yang agak lebar. Arini menghentikan langkahnya sehingga kami berdua bisa menyusul dan berdiri tepat di sisi kiri dan kanan cewek berseragam SMP tersebut.
"Rin, apa tidak sebaiknya kita menghubungi petugas kamar mayatnya dulu?" bisikku perlahan karena takut anak perempuan tersebut marah lagi.
"Pasti ada petugas di dalam sini," jawab Arini datar.
Selama beberapa detik, kami bertiga mengamati ruangan ini. Di dalam sinj ternyata suasananya lebih mencekam daripada di lorong tadi. Bau cairan kimia agak menyengat di ruangan ini, dan pencahayaannya juga minim sehingga membuat darah kami mendesir.
Di depan kami ada dua pintu yang berada dalam keadaan tertutup. Kami melangkah ke salah satu pintu tersebut. Arini meraih gagang pintu dan memutarnya.
CEKLEK!
"Mau ke mana kalian?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang kami dengan suara berat sehingga mengejutkan kami bertiga.
"Eh, a-anu, Pak. K-k-kami m-m-mau melihat m-mayat," jawab Bondan dengan spontan.
"Melihat mayat?" tanya pria berpakain putih itu lagi.
"Maksudnya, kami ingin memastikan korban kecelakaan di depan SMA 14 tadi pagi, apakah keluarga kami atau bukan," jawab Arini sudah mulai dapat mengontrol dirinya yang juga sempat terkejut barusan.
"Ooo ... mayat sopir angkot itu?" ujar pria itu lagi dengan pelan.
"Iya, benar Pak. Bolehkah kami melihatnya? Ada di mana jenazahnya?" tanya Arini tak sabar.
"Oke, ikut saya dulu ke depan untuk mengisi buku kunjungan!" jawab pria itu sambil melangkah ke luar.
"Baiklah!" jawab Arini sambil berjalan mengikuti pria itu diikuti oleh kami berdua.
"Saya butuh dua orang saja. Sisanya tetap di sinj saja," ujar pria itu dengan tetap melangkah ke luar. Kami bertiga saking menatap kebingungan. Raut wajah Arini kembali terlihat tak bersahabat. Karena takut anak perempuan itu marah lagi, aku pun berkata.
"Biar aku yang menunggu di sini," ujarku.
"Kamu beneran nggak apa-apa, Im?" tanya Bondan.
"Aku nggak apa-apa, Ndan," jawabku lemah.
BERSAMBUNG
Buah blewah buah markisa
Buah semangka buah srikaya
Selamat menunaikan ibadah puasa
Semoga ibadah kita diterima oleh-Nya
Jangan lupa untuk membaca novelku yang lain.
KAMPUNG HANTU
MARANTI
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Tantina Wyvaldia
weeeh, makasih atas infonya tentang karya yg lain ya kak.
semangat terus berkarya, ya kakak, jangan bosan, karena bakat kakak berguna bagi pembaca.
siiiip
2024-04-21
0
Ani Juwitasari
tadi bukannya arini gak tau rumah sakit ya.. gak pernah kerumah sakit,kok hafal rumah sakit.
2024-04-21
0
Ciciajadeh Ciciajadeh
ini Arini masih hidup ngga sih..😭 atau hantu juga?
2023-12-16
1