Kedua temanku itu mengejarku yang masih syok setelah mengalami hal aneh di dalam angkot tadi.
"Kamu kenapa sih, Im?" tanya Arini setelah berhasil mengejarku.
"Rin, tadi itu aku jelas-jelas melihat anak cewek berseragam SMA di kursi pojok, tapi barusan anak cewek itu hilang entah ke mana," pekikku.
"Kamu salah lihat kali?" ucap Bondan.
"Enggak, Ndan. Aku jelas-jelas melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Anak cewek itu duduk merunduk di sana," jawabku.
"Tapi, aku kok tidak melihatnya, ya?" ucap Bondan.
"Gini deh, kamu ingat nggak waktu si bapak berkumis turun dari angkot?" tanyaku pada Bondan.
"Iya, aku ingat. Kenapa emangnya?" Bondan balik bertanya.
"Tadi pas bapak berkumis turun dari angkot. kita nyium bau busuk, kan?" tanyaku pada Bondan.
"Bau busuk?" tanya Arini menyela.
"Iya, Rin. Emang kamu nggak mencium bau busuk sewaktu angkot berhenti di dekat jembatan tadi?" tanyaku pada Arini yang terheran-heran.
"Enggak. Malah di jembatan itu aku sengaja menghirup udara kuat-kuat karena segar sekali udara di sana," jawab Arini.
"Apaaaaa?" pekikku dan Bondan secara bersamaan.
"Kenapa kalian menatapku aneh begini?" tanya Arini.
"Rin, kayaknya hidungmu perlu diperiksa deh habis ini di rumah sakit. Jelas-Jelas tadi kami berdua mencium bau busuk pas angkot berhenti di jembatan itu," ucap Bondan.
"Kayaknya tadi pas di jembatan itu, nggak ada yang bilang bau deh? Jangan-Jangan hidungmu yang perlu diperiksa, Ndan" protes Arini.
"Tidak, Rin. Tadi pas di jembatan itu, aku juga mencium bau busuk sama seperti Bondan," jawabku.
"Berarti hanya kalian berdua yang mencium bau busuk itu, kan?" tanya Arini.
"Aneh juga, ya. Tadi, memang aku sempat melirik penumpang yang lain saat mencium bau busuk itu. Kayaknya emang aku dan Bondan saja yang menciumnya. Aku sempat bertanya-tanya, kok bisa yang lain tidak mencium bau busuk itu, termasuk anak cewek berseragam SMA itu tetap saja menunduk di kursi belakang seolah-olah tidak terpengaruh oleh bau busuk itu," ujarku.
"Berarti emang ada yang tidak beres. Sepertinya ini bukan masalah indra penciuman kita," pekik Arini.
"Maksud kamu, Rin?" tanyaku penasaran dengan analisanya.
"Ayah pernah cerita padaku, kalau ia pernah mengalami hal seperti yang kalian alami barusan," jawab Arini.
"Oh, ya?" pekikku tidak percaya.
"Iya, Im. Ayah pernah bercerita kepadaku. Waktu itu ia membawa tiga orang penumpang saja. Kemudian, sampai di dekat jembatan ada seorang penumpang turun, dan bau busuk tercium oleh ayahku. Tapi ayahku tidak begitu memikirkan hal itu, ia mengira itu karena ada sampah atau bangkai hewan di sekitar situ. Tapi, ayah baru kaget ketika salah satu penumpangnya tiba-tiba menghilang. Pas Magrib pula, akhirnya ayah tidak tenang menyetir angkot karena suasana tiba-tiba tidak bersahabat," tutur Arini.
"Berarti bener, ya, anak cewek tadi itu bukan manusia biasa, melainkan hantu?" tanyaku.
"Sepertinya begitu, Im. Buktinya aku tidak melihat anak cewek berseragam SMA di angkot tadi," jawab Arini.
"Yang penting angkot itu sudah jauh dari kita, Im," ujar Bondan.
"Iya sih, tapi aku masih penasaran kenapa hanya aku yang ditampakkan oleh hantu itu, sedangkan kalian enggak, ya kan?" ujarku.
"Iya juga, Im. Semoga dia sekedar menyapa kamu saja dan tidak mengikutimu terus," ucap Bondan.
"Tau nggak Ndan, kamu ngomong gitu malah bikin aku tambah was-was?" ujarku.
"Eh, maaf kalau begitu, Im. Oh ya, sepertinya kita sudah sampai di depan rumah sakit. Ayo kita fokus pada urusan Arini dulu. Semoga saja yang kecelakaan tadi pagi bukan ayahnya Arini," ucap Bondan.
"Aamiiiin ...," jawab kami berdua.
Kami bertiga berjalan menuju pintu utama rumah sakit ini. Banyak sekali orang di rumah sakit ini. Maklum, ini kan rumah sakit umum daerah, jadi pasti banyak sekali pasiennya. Sistem pengelolaan di rumah sakit ini masih belum begitu teratur. Mungkin tenaga bagian administrasi jumlahnya kurang, sehingga orang-orang menumpuk di bagian pelayanan administrasi. Satpam kelihatan sesekali mengingatkan kepada orang-orang untuk tidak berebut dan tetap bersabar. Arini mengajak kami berdua untuk tidak masuk melalui pintu utama, melainkan melalui pintu UGD.
"Lah kok lewat sini, Rin, ini kan pintu khusus UGD?" protes Bondan.
"Ikuti saja langkahku. Kalau lewat pintu utama kelamaan. Kita lewat pintu ini saja. Ada satu pintu di ruang UGD yang menuju bagian belakang rumah sakit ini, yaitu kamar jenazah," jawab Arini dengan tegas.
"Okelah kalau begitu," jawab Bondan.
Kami pun dengan sigap mengikuti langkah Arini. Ternyata benar kata Arini, masuk ke rumah sakit melalui ruang UGD lebih mudah dan tidak perlu antri. Aku tidak habis pikir, kenapa pintu penghubung antara ruang UGD dengan bagian dalam rumah sakit ini tidak dijaga.
"Rin, dari mana kamu tahu jalan ini? Kalau orang-orang di depan tahu jalan ini, mereka pasti berebut melewati jalan ini," tanyaku pada Arini.
"Aku dikasih tahu oleh ayahku. Ayah kan sering membawa pasien ke rumah sakit ini menggunakan angkotnya. Selain itu, ayah juga sering membawa rombongan yang akan menjenguk kerabatnya yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Jadi, ayahku punha trik untuk mempercepat orang-orang yang ia bawa supaya lekas sampai di dalam. Kalau mereka cepat sampai ke dalam, bukankah itu akan mengurangi waktu tunggu ayahku?" tutur Arini.
"Iya sih. Tapi, miris juga ya? Masa pelayanan di rumah sakit ini kurang tertib begitu," jawabku.
"Ya, semoga saja ke depannya akan lebih tertib lagi, Im," jawab Arini.
Kami bertiga pun berjalan dengan agak cepat menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Selama berjalan, kami beberapa kali berpapasan dengan dokter atau perawat yang menatap aneh kepada kami. Mungkin mereka heran kenapa ada anak SMA diperbolehkan masuk ke rumah sakit pada saat jam sekolah. Tapi, mereka tidak punya waktu untuk menginterogasi kami bertiga karena mereka sednag menjalankan tugas yang lebih penting, yaitu merawat pasien. Akhirnya kami bertiga pun sampai pada lorong rumah sakit yang sepi. Tidak ada orang yang lewat di lorong ini sama sekali. Bahkan, di lorong ini kami hanya mendengar suara langkah kami sendiri. Suara deru napas kami sendiri pun jelas kami dengar. Aku merasa ada yang aneh dengan lorong rumah sakit ini. Saat kami bertiga sudah berjalan beberapa langkah di lorong tersebut. Tiba-Tiba ada pemandangan aneh di depan kami. Kami melihat ada seorang laki-laki sedang duduk sendirian di sebuah kursi. Laki-Laki itu sedang menangis tersedu-sedu. Posisi kursi yang diduduki oleh laki-laki tersebut tepat di pinggir lorong yang akan kita lalui.
Dalam hati aku bertanya, mengapa ia menangis sendirian di tempat sepi tersebut? Apakah ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya? Atau ...
BERSAMBUNG
Sakit kepala sakit sendi
Sakit batuk sakit flu
Mohon maaf give awaynya belum diundi
Karena masih mau rekapan dulu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Tantina Wyvaldia
jalan datar yg dilalui tiba2 berganti dengan kondisi yang menakutkan
2024-04-21
0
Susi Hidayati Yukky
atau apa..?
2023-02-20
0
Ganuwa Gunawan
iya thor mng lgi pada batuk pilek alias em flu..
2022-12-27
0