Bondan tidak memberikan jawaban memuaskan untukku. Aku tidak mau ambil pusing. Kalau dipikir-pikir Bondan dan Arini ini sama saja yaitu pandai membohongi orang dan paling demen bikin orang penasaran. Angkot yang kami naiki berjalan secara dengan kecepatan rendah. Hal itu dilakukan oleh sang sopir karena sambil mencari calon penumpang lain yang mungkin sedang menunggu di pinggir jalan. Ibu-Ibu berkonde yang sedang duduk di sebelahku terlihat tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuannya. Ia kelihatan sangat gelisah sekali karena angkot berjalan seperti keong. Di dalam angkot tersebut, selain kami bertiga masih ada tiga penumpang lain di dalamnya, ibu berkonde yang duduk di sebelahku, seorang bapak berkumis tebal yang duduk di depanku, dan seseorang berseragam SMA yang duduk di pojok belakang.
"Pak Sopir ... bisa lebih cepat, nggak?" tegur ibu berkonde di sebelahku.
"Iya ... iya, Bu," jawab Pak Sopir menenangkan ibu berkonde itu.
Anehnya, meskipun sudah ditegur, tapi angkot yang kami tumpangi ini masih berjalan pelan.
"Duh, kok masih pelan saja sih jalannya," gerutu ibu berkonde.
Angkot yang kami naiki tiba-tiba minggir dan berhenti. Ternyata ada seorang nenek-nenek tua sedang melambaikan tangan untuk memberi tanda akan menaiki angkot. Pak Sopir nampak sumringah mendapatkan penumpang baru.
"Pelan-Pelan naiknya, Nek!" teriak Pak Sopir sambio menoleh ke arah pintu samping. Nenek tersebut naik ke atas angkot dan bermaksud untuk duduk di salah satu kursi. Kami yang berada di belakang, menggeser tempat duduk untuk memberikan cukup ruang kepada si nenek untuk lewat dan duduk di salah satu tempat yang kosong.
"Nenek mau turun di mana?" teriak Pak Sopir sambil mengegas kembali angkotnya.
"Saya mau turun di Jembatan Renta, Nak," jawabnya.
"Oooo ...," Pak Sopir mengangguk tanda mengerti.
Jembatan Renta adalah salah satu ikon kota ini. Jembatan itu sudah cukup tua dan berfungsi untuk menyebrang dari sebuah deretan Ruko menuju pasar tradisional.
Setelah mendapatkan penumpang baru, angkot bergerak dengan kecepatan cukup tinggi. Kebetulan jalanan yang dilewati agak sepi. Ketika angkot sampai di sebuah jembatan, bapak berkumis tebal mengetok atap kendaraan yang dilapisi triplek.
"Kiri, Mas!" teriak bapak berkumis tebal tersebut dengan suara berat.
"Iya, Pak. Saya paskan di depan gang, ya?" teriak Pak Sopir.
"Iya, Nak," jawab bapak tersebut.
Setelah itu, bapak berkumis tersebut turun dari mobil dan menyodorkan uang ongkosnya ke sopir melalui jendela yang terbuka di pintu depan. Bau busuk tiba-tiba menyeruak dari arah luar mobil yang aku naiki. Aku menutup lubang hidungku untuk mengurangi efek bau menyengat itu. Aku melirik ke arah Bondan yang juga menutup hidungnya.
"Bau banget ya, Ndan?" tanyaku.
"Iya, Im. Mungkin ini bau dari tempat sampah di sekitar sini," jawab Bondan.
"Emang di sini ada tempat pembuangan sampah, Ndan?" tanyaku dengan berbisik.
"Enggak tahu juga," jawab Bondan.
Akhirnya Pak Sopir selesai bertransaksi dengan Pak Kumis. Angkotpun mulai merangkak meninggalkan tempat tersebut. Aku melihat punggung Pak Kumis yang sedang memasuki mulut gang yang terlihat sepi. Aku juga menoleh ke arah penumpang yang lain. Ternyata mereka tidak ada yang menutup hidungnya. Aneh, masa mereka kuat mencium bau busuk seperti itu.
Beberapa menit kemudian, kami sudah sampai di Jembatan Renta. Si nenek tua turun dari kendaraan. Berarti tinggal dua penumpang lain di angkot ini selain kami bertiga, yaitu ibu berkonde dan anak berseragam SMA yang duduk di pojok belakang. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan dua penumpang itu masih duduk di tempatnya semula.
Aku melihat si ibu berkonde masih gelisah saja duduk di sebelahku. Pikirku, si anak SMA itu pasti sedang duduk di pojok belakang tapi karena badannya kecil, makanya tertutupi oleh ibu berkonde yang makin terlihat gelisah ini.
"Ibu mau ke mana, kok sepertinya keburu-buru?" tanyaku pada orang tersebut.
"Ini, saya mau menghadiri wisuda anak saya," jawabnya dengan keras.
"Jam berapa undangannya, Bu?" tanyaku lagi.
"Jam delapan, Dik," jawabnya.
"Mepet sekali ya, Bu?" tanyaku.
"Iya, Dik. Makanya ibu bingung nih karena angkotnya pelan banget," jawab si ibu.
"Iya ... iya, Bu. Nih, saya naikin kecepatannya," sela Pak Sopir tiba-tiba.
Kami semua menoleh ke arah Pak Sopir. Wajahnya nampak tidak bersahabat, tapi ia memang benar-benar menaikkan laju angkot yang ia kendalikan.
"Alhamdulillah ... makasih banyak ya, Pak," jawab ibu berkonde dengan polosnya seolah tidak membaca kekesalan si sopir.
Setelah melewati Jembatan Renta, tidak ada penumpang yang turun atau naik dari mobil Carry ini. Beberapa menit selanjutnya tiba-tiba Pak Sopir meminggirkan angkotnya.
"Loh, kok minggir, Pak?" protesku.
"Loh, kalian bertiga bukannya mau ke rumah sakit? Mbak ini tadi ngomong mau turun di rumah sakit," jawab Pak Sopir.
"Kita turun di sini, Rin?" tanyaku pada teman baruku itu.
"Iya, Im. Rumah sakitnya sekitar dua ratua meter dari sini," jawab Arini sambil mengeluarkan uang dari sakunya.
"Oalah ...," jawabku.
"Makanya, jadi anak jangan di rumah saja. Biar tahu wilayah kota ini," sela Bondan.
"Sialan kamu, Ndan. Malulah aku kamu sindir di depan orang-orang ini," protesku.
"He he he," Bondan tertawa renyah.
Pak Sopir dan ibu berkonde nampak senyum-senyum sendiri.
"Berapa ongkosnya, Pak?" tanyaku pada Pak Sopir.
"Sudah aku bayari, Im," jawab Arini.
"Makasih banyak, Rin," jawabku sambil turun dari atas angkot.
Aku masih berdiri mematung di sebelah angkot tersebut, ketika Bondan menarik lenganku.
"Ayo, kita jalan kaki sekarang. Kok malah melamun?" ucap Bondan.
"Eh, iya. Kita jalan kaki sekarang, nih?" tanyaku.
"Iya, Im. Uang saku saya nggak cukup kalau harus naik becak," jawab Arini.
"Tunggu sebentar, ya!" pekikku.
"Tunggu apa, Im?" tanya Arini dan Bondan secara bersamaan.
"Sepertinya ada yang janggal," jawabku.
"Janggal apaan, Im?" tanya Arini.
"Kok, barusan pas turun, aku tidak melihat anak itu, ya?" gumamku.
"Anak siapa, Im?" tanya Bondan penasaran.
"Tadi pas naik ke angkot ini, aku melihat ada anak berseragam SMA sedang duduk di kursi belakang. Tapi barusan kayaknya nggak ada, ya?" gumamku.
"Halah, kamu ini ada-ada saja, Im!" ucap Bondan.
"Tunggu, Ndan. Aku mau cek lagi," jawabku sambil memasukkan kepala ke dalam kendaraan itu.
"Apa ada yang tertinggal, Mas?" tanya Pak Sopir.
"I-i-iya, Pak. Buku saya ketinggakan di dalam," jawabku berbohong.
"Buruan cari! Kasian ibu ini sudah terlambat," perintah Pak Sopir.
Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku mebgedarkan pandangan ke seluruh penjuru angkot itu Dan benar saja dugaanku. Aku tidak melihat anak SMA itu di dalam angkot. Badanku langsung gemetar.
"Ketemu, Mas?" tanya Pak Sopir.
"T-t-tidak, Pak. T-t-terima kasih!" teriakku sambil buru-buru meninggalkan angkot tersebut diikuti oleh Bondan dan Arini.
BERSAMBUNG
Tahu isi tahu rasa
Kita biasa karena terbiasa
Selamat menunaikan ibadah puasa
Maaf, pengundiannya nunggu waktu leluasa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Tantina Wyvaldia
wuiiiii sereeeeem jg cerita nya, padahal masih di awal
2024-04-21
0
Ciciajadeh Ciciajadeh
sabar Buuu....
2023-12-16
0
Ciciajadeh Ciciajadeh
mungkin karena harus hati2 dengan orang baru..jadi ngga bisa langsung percaya gitu
2023-12-16
0