"Ada apa, Im?" tanya Bondan kebingungan.
"I-i-itu cewek yang ada di foto korban kecelakaan tadi," pekikku.
"Kamu yakin, Im?" tanya Bondan lagi.
"Iya, aku yakin, Ndan. Tak salah lagi. Apalagi tahi lalat di atas dagunya itu loh sama persis," jawabku.
"Oh ya?" pekik Bondan.
"Iya, Ndan. Aku harus memberitahukan hal itu kepada cewek itu," jawabku.
CUUUUIIIIIIIIIT!!!
Tanpa kusuruh, remaja jangkung yang baru ku kenal itu dengan spontan memanggil anak cewek berseragam SMP itu dengan membuat cuitan menggunakan simpul antara telunjuk dan jempol yang dimasukkan ke dalam mulut.
"Hus ... Nggak sopan kamu, Ndan!" pekikku.
"Terpaksa, Im. Daripada anak cewek itu keburu kabur. Iya, kan?" protes Bondan.
"Dik ... kami berdua ada perlu sebentar!" teriakku pada anak cewek itu yang baru saja menoleh ke arah kami karena mendengar cuitan Bondan.
"Ayo segera kita samperin anak cewek itu, mumpung ia sedang menoleh ke arah kita?" ucap Bondan keoadaku.
"Oke ...," jawabku.
Kami berdua melangkah mendekati anak cewek berseragam SMP yang berdiri mematung menghadap aku dan Bondan yang sedang berjalan mendekatinya.
"Ada apa ya, Mas?" sapa anak cewek itu kebingungan.
"E-e-e sebelumnya kami mohon maaf ya, Dik. Karena tadi kami memanggil Diiiiik.......,"
"Arini," potong anak perempuan itu.
"Iya. Dik Arni, kami mohon maaf karena memanggil dengan cara yang tidak sopan," lanjut Bondan.
"Oke, tidak masalah. Ada perlu apa memanggilku?" jawab Arini dengan nada datar. Kami berdua saling menoleh karena heran saja ia bersikap seperti itu. Setahu kami, tidak ada perempuan yang suka dipanggil dengan cara seperti itu.
"Eeeee anu-," jawab Bondan.
"Anu-Anu apa? Buruan, Mas. Aku keburu telat nih!" ujar Arini lagi. Bonda makin mati kutu fan gelagapan menghadapi Arini yang cuek itu. Aku pun dengan sigap menggantikan posisi Bondan.
"Gini, Dik Rini," ucapku.
"Panggil Arini saja. Toh, usia kita nggak jauh-jauh amat, kan?" protes anak perempuan itu.
"Eh ... Iya. Begini Riiin, aku mau tanya sama kamu, apakah kamu memiliki kenalan seorang sopir angkot?" tanyaku dengan nada serius.
Arini menatap mataku dengan lekat. Dari caranya menatap, sepertinya ia sangat kaget dengan pertanyaanku. Keraguan mulai mengusik perasanku, apakah aku bertanya pada orang yang tepat? Atau, aku salah orang? Kalau memang aku salah orang, bisa-bisa aku diomeli gadis tomboy di depanku ini.
"Maksud kamu apa menanyakan hal itu kepadaku?" tanya Arini kemudian.
"Begini, Rin. Tadi di depan sekolah ini ada kejadian kecelakaan," jawabku sambil menunjuk ke arah tiang listrik yang ditabrak oleh angkot tadi. Angkotnya memang sudah diderek dengan mobio khusus, tapi bekas hantaman angkot itu masih membekas di tiang listrik.
"Lantas, apa hubungan kecelakaan tadi pagi dengan pertanyaanmu kepadaku barusan?" tanya Arini lagi.
"Tadi aku sempat nolongin korban dan aku melihat foto yang sangat mirip denganmu di dompet sopir angkot itu," jawabku memberanikan diri.
"Apa???? Dimana sopir angkot itu sekarang?" teriak Arini tiba-tiba. Dalam hitungan detik, wajahnya yang kaku menjadi terlihat lemah seketika. Air matanya mengalir dengan deras dari kelopak matanya mengalir ke pipinya.
"Polisi membawa jenazah sopir itu ke rumah sakit umum daerah," jawabku kebingungan.
"Je-na-zah?" tanya Arini terbata-bata sambil menahan isak tangisnya.
"Iya, Rin. Nyawa sopir angkot itu melayang sesaat setelah kendaraan yang ia kendarai menabrak tiang listrik itu. Apa kamu mengenal sopir angkot itu?" tanyaku dengan nada direndahkan karena takut membuat anak perempuan itu makin keras tangisannya.
"I-i-iya ... Dia itu ayahku ...," jawab Arini dengan makin sesenggukan.
"Ya Tuhan!!" pekik aku dan Bondan.
"Gimana ini, Ndan?" tanyaku pada teman baruku itu.
"Ya gimana, Im. Kita harus mengantar Arini ke rumah sakitlah," jawab Bondan tegas.
"Iya ... Tolong temani aku ke rumah sakit. Aku tidak pernah ke rumah sakit. Aku ingin melihat jenazah ayahku," ucap Arini memohon.
"Apa tidak sebaiknya kita berdua izin dulu ke guru dan juga ke gurunya Arini, Ndan?" tanyaku pada Bondan.
"Nggak usah, Im. Nanti malah jadi panjang urusannya. Bisa-Bisa kita nggak dibolehin mengantar Arini ke rumah sakit. Kamu tahu sendiri, kita berdua masih baru di sini. Lagipula kalau sampai Arini kelamaan menemui ayahnya, bisa-bisa jenazah ayahnya Arini dinyatakan sebagai orang hilang dan organ-organnya nanti dipreteli di rumah sakit oleh para dokter yang nakal," jawab Bondan dengan nada tinggi.
"Tidaaak!!! Jangan sampai hal itu terjadi. Ayo, buruan antar aku ke rumah sakit. Kalau kalian berdua tidak mau mengantar, biar aku berangkat sendiri," teriak Arini sambil ngeloyor pergi.
"T-t-tunggu, Rin!!!" teriak kami berdua.
Kami berdua pun mengejar Arini yang berjalan dengan tempo cepat menyebrangi jalan raya untuk mencari angkot yang akan mengantarnya ke rumah sakit.
Akhirnya kami berdua berhasil mengejar Arini. Tak lama kemudian Bondan menghentikan sebuah angkot bertuliskan huruf "C" di atasnya.Ternyata angkot tersebut memang akan turun di depan sekolah karena di dalamnya berisi banyak sekali siswa dan siswi badu di SMA 14. Setelah mereka semua turun dari dalam angkot, gantian kami bertiga yang masuk ke dalam angkot. Anak-Anak yang baru datang itu menatap kami bertiga dengan tatapan aneh. Mungkin pikir mereka, kami mau kemana, lah jam masuk sudah dekat. Kok, kami bertiga malah mau pergi.
Aku dan Bondan naik di bagian belakang mobil, sedangkan Arini naik di depan, sebelah sopir. Sopir sengaja membuka pintu depan untuk memberikan kesempatan kepada Arini untuk duduk di sebelah sopir.
"Mau kemana kalian bertiga, bukankah sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi?" tanya sopir angkot tersebut.
"Kami mau ke rumah sakit, Pak!" jawabku.
"Kenapa harus pagi-pagi? Kenapa tidak sepulangnya sekolah saja?" tanya Pak Sopir lagi.
Aku sudah bermaksud menjawab dengan jujur pertanyaan sopir angkot itu, tapi Arini buru-buru menjawab.
"Kami mau mengurusi surat keterangan sehat untuk digunakan sebagai persyaratan mengikuti lomba PMR di sekolah," jawab Arini berbohong.
"Oooo ...," suara yang keluar dari mulut Pak Sopir. Aku cukup kaget dengan jawaban bohong Arini. Cerdas juga anak itu mengarang cerita secara spontan.
Angkot pun melaju dengan kecepatan sedang membawa penumpang di dalamnya menuju tempat tujuan masing-masing. Aku melirik ke arah Bondan karena aku merasa ada yang janggal dengan keterangannya tadi.
"Ndan ...," panggilku pada teman baruku itu dengan berbisik.
"Apa?" jawab Bondan dengan berbisik juga.
"Emang beneran, ya, kalau jenazah sopir tadi tidak dikenali, organnya akan diambili oleh dokter?" tanyaku.
"Enggak, Im. Aku bohong saja tadi. Buat apa dokter melakukan tindak kriminal seperti itu," jawab Bondan.
"Mungkin untuk dijual ke orang kaya yang butuh organ itu misalnya?" tanyaku memastikan.
"Tidak semudah itu, Im. Untuk melakukan pendonoran organ membutuhkan alat yang canggih. Tidak semua rumah sakit memiliki alat canggih itu. Penerima dan pendonor organ harus diperiksa secara intensif terlebih dahulu berkali-kali. Dan harus ada pernyataan persetujuan dari pendonor dan masih banyak lagi serangkaian protokol yang harus dipenuhi, Im," jawab Bondan.
"Lantas, kenapa barusan kamu membohongi kami berdua, Ndan?" tanyaku makin penasaran.
Bondan hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum. Aku menjadi semakin penasaran.
Bersambung
Burung dara di dekat jendela
Burung langka di atas meja
Cukup segini episode kedua
Kalau suka monggo dikomen saja
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Reyxxyz
bikin tegang
2024-05-26
0
Tantina Wyvaldia
makin panjang makin penasaran karena banyak pertanyaan yang membingungkan
2024-04-21
0
Ciciajadeh Ciciajadeh
iya masih nyimak juga...😅 aku baru aja baca..agak bingung juga...ini mulai bacanya dari yg mana dulu ya kak...🙏🙏
2023-12-16
0