Ghibran benar-benar tidak masuk di kelas bimbingannya pagi ini. Dia masih malu karena kejadian kemarin. Dia juga sedang menyiapkan hati dan pikiran karena sore nanti adalah penentu nasib cintanya.
Usai melaksanakan shalat malam, Ghibran rebahan di atas sajadah. Pandangannya lurus ke atas, ke arah langit-langit Asramanya.
"Ghi, ayo kita ke Majelis Ta'lim. Ini sudah telat sepuluh menit." Rudi menarik kaki Ghibran.
"Aku nggak masuk pagi ini. Aku masih nggak enak sama adik-adik karena...." Ghibran terdiam. Masih ragu untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya untuk Rudi.
"Karena apa, Ghi?"
"Sudah, kamu berangkat aja sana, Rudi. Kalau ada yang tanya, katakan saja aku sedang kurang enak badan."
Rudi menyeringai heran. "Enteng sekali mulutmu menyuruh orang berbohong, Ghi?" Rudi menendang pelan betis Ghibran.
"Aku memang lagi kurang sehat, Rudi."
"Jangan bohong, Ghi!" Rudi menunduk, menempelkan punggung tangannya di dahi Ghibran.
"Nggak ada tanda-tanda kamu sakit. Demam juga nggak. Sakit apanya? Wajah kamu pucat juga tidak."
"Perasaanku yang sedang tidak sehat, Rud."
Rudi mendengus. "Perasaanmu yang tidak sehat, kenapa Santri yang harus jadi korban? Membimbing mereka kewajiban kita, Ghi. Jangan libatkan perasaan dalam hal ini."
Ghibran bangkit, Dia duduk di hadapan Rudi yang masih berdiri. Rudi tidak mau mengubah posisinya walaupun Ghibran mendongak menatapnya.
"Aku benar-benar nggak bisa fokus saat ini, Rud. Kemarin aja para santri habis-habisan ngeritik aku. Iya, gara-gara aku bersikeras mengatakan sudah menyampaikan materi sedangkan para Santri tidak mendengarkan apapun yang keluar dari mulutku."
"Hah?" Rudi melongo. Namun, tawanya tiba-tiba meledak. Ha..ha..ha. Ternyata gadis itu berhasil menjatuhkan harga dirimu. Cinta benar-benar membuatmu gila, Ghi. Sudah, aku mau pergi. Silahkan nikmati kegilaanmu pada wanita." Rudi langsung berlari usai mengatakan itu dengan tertawa terbahak-bahak. Dia tidak mau mendengarkan jawaban Ghibran.
Mendengar ucapan Rudi, Ghibran melototkan mata. Dia mengambil sandal di bawah kaki tempat tidur lalu berlari mengejar Rudi yang sudah berlari menjauh dari Asrama." Hei, Rudi! Sini kamu, kalau kamu benar-benar jantan!" Ghibran melempar sandal di tangannya sekuat tenaga.
Sekuat apapun dia melempar, tidak akan pernah sampai pada Rudi yang tawanya sudah terdengar samar di telinga Ghibran. Sedangkan Rudi masih cekikikan mengingat keberaniannya mengatakan itu kepada Ghibran. Mendengar teriakan Ghibran membuatnya kembali tertawa.
"Astagfirullahal'adzim.. " Ghibran mengusap mukanya kasar dan masuk kembali ke dalam Asrama.
Untung para santri sudah di Majelis Ta'lim. Kalau mereka masih di Asrama. Entah, apa yang akan terjadi jika mereka sampai menyaksikan kekonyolan dua orang tadi.
Ghibran duduk kembali di atas sajadahnya. Dia membuka sebuah kitab fiqih yang tadi sempat dia ambil dari rak di lemari kitabnya. Membolak balik lembar demi lembar. Tak satupun yang dia baca masuk ke dalam kepalanya.
"Astagfirullahal'adzim.." lirihnya pelan. Dia meletakkan kembali kitabnya. Dia mendekati ranjangnya mencoba memejamkan mata sebelum waktu subuh tiba. Tidak membuahkan hasil. Matanya merem, tapi tidak dengan pikirannya. Hatinya masih saja memikirkan seorang gadis yang selalu tersenyum tulus dan terlihat sangat manis di mata seorang Ghibran Abdullah. Gadis yang selalu melafalkan istighfar. Sehingga dia menjulukinya dengan julukan 'Gadis yang gemar beristighfar.'
Ghibran menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Pikirkannya benar-benar kacau. Beranjak bangun berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu'.
Ghibran mengibas-ngibaskan rambutnya yang sedikit basah karena air wudhu'. Dia sungguh terlihat sangat tampan. Andaikan ada wanita yang menatapnya saat itu. Pasti wanita itu akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sementara itu di Majelis Ta'lim..
Chayra terlihat gelisah karena tidak ada tanda-tanda kedatangan Ghibran. Sedangkan di kelas sebelah, Rudi sudah mulai menyampaikan materi.
"Ayra, apa Ghibran tidak memberi tahumu alasannya tidak hadir pagi ini?" Tania melontarkan pertanyaan secara tiba-tiba.
Chayra mengernyitkan alisnya."Apa alasanku berhak tau tentang urusannya. Aku juga tidak sedekat itu dengan dia, Nia. Jadi aku mohon, jangan berfikir terlalu jauh."
"Kamu kan orang yang spesial baginya." Ucap Tania sedikit berbisik. "Jangan marah, Ayra, aku cuma bercanda." Sambungnya sambil menarik mukenah Chayra agar mau menatapnya.
"Aku tau kamu suka bercanda, Nia. Makanya aku tidak mau terlalu meladeni semua omongan kamu."
"Sudah, jangan berdebat." Saras angkat bicara. "Lebih baik kita bahas yang lain atau mengulang pelajaran yang kemarin seperti teman-teman yang lain."
"Aku nggak mau. Aku mau Ayra menceritakan isi surat yang kemarin."
Saras membekap mulut Tania. "Pelankan suara kamu, Nia. Kita tidak sedang bertiga sekarang. Kamu sadarkan, kita sedang di kelas sekarang."
Tania menarik tangan Saras yang membekap mulutnya. "Aku tau, Saras. Aku kan tidak menyebutkan nama pengirimnya."
"Ssstt.. jangan berisik. Sini aku ceritakan." Chayra menarik tangan kedua temannya agar lebih mendekat padanya.
Wajah Saras dan Tania berbinar senang. Mereka langsung merapat pada Chayra.
"Dia mengajakku ketemuan." Chayra langsung pada poin pembicaraan tanpa basa-basi.
"Apa!" Saras dan Tania menganga tak percaya.
"Sejauh itu, Ayra? Terus kamu bilang apa?"
"Sebelum membalasnya kemarin, aku diskusikan dulu dengan Abah dan Ummi. Takut aku salah mengambil tindakan."
"Wah, kamu mengadukannya sama Abah Ismail? Pasti Abah Ismail langsung menolak. Iya kan, Ayra?" Saras mencoba menebak. Tania hanya mengangguk menyetujui pendapat Saras.
"Setelah mendengarkan penjelasanku, Abah menyetujui dan memintaku untuk menemuinya. Tapi, aku mendapatkan penentangan dari Ummi."
"Maksud kamu?"
"Ummi tidak menyetujui kalau aku menemuinya. Dia tidak mau ambil resiko kalau aku sampai berurusan dengan pengurus Pesantren. Ummi juga tidak setuju dengan rencana pertemuan ini."
"Aku masih belum percaya kalau Abah menyetujui kamu akan bertemu dengannya." Ucap Tania lagi.
"Mm..mm." Timpal Saras.
"Dia mendukung sejak awal. Bahkan Abah selalu membangga-banggakan Ustadz Ghibran di depanku. Kemarin aja, dia sempat berdebat panjang dengan Ummi karena keputusannya."
"Wah, keren." Tania mengacungkan jempolnya. "Terus kapan kamu akan bertemu dengannya?"
"Insya Allah, nanti sore ba'da shalat Ashar. Dan aku mau minta bantuan kalian berdua."
"Kami pasti siap membantumu." Ucap Tania lagi.
Chayra tersenyum. "Temani aku menemuinya."
"Masa iya kita nguping pembicaraan kamu nanti dengan Ustadz Ghibran."
"Ssstt... jangan menyebut namanya." Chayra meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya.
Tania langsung menutup mulutnya. Dia menatap sekitar. Semua terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Dia mengelus dada. "Aman, Ayra, nggak ada yang dengar ucapanmu kok."
Chayra melanjutkan kalimatnya. "Apa kalian mau ada setan di antara kami jika kami bicara berdua?"
"Tentu kami akan menemanimu,Ayra. Jangan dengarkan ucapan Tania."
Percakapan mereka terhenti ketika azan Subuh terdengar dikumandangkan dari Masjid Santri.
Para Santri langsung bangkit, meninggalkan Majelis Ta'lim menuju Masjid.
"Chayra Azzahra."
Suara panggilan di belakangnya membuat Chayra menoleh. Saras dan Tania juga ikut menoleh.
Saras menautkan alisnya melihat Rudi berjalan cepat ke arah mereka. "Kenapa Ustadz Rudi memanggil kamu, Ayra?" Tanya Saras.
Chayra hanya mengangkat bahu.
Rudi menatap sekeliling setelah sampai di hadapan tiga gadis itu. "Ghibran titip salam untukmu, dia tidak bisa mengisi kelas karena kurang sehat." Ucap Rudi, matanya tajam menatap Chayra.
Perasaan penasaran yang mereka pendam dalam hati mereka masing-masing langsung terjawab saat mendengar kalimat Rudi.
"Ustadz Ghibran sakit apa, Ustadz?" Tanya Chayra dengan raut wajah khawatir.
"Hah, ternyata kau mengkhawatirkannya juga."
Rudi tidak percaya dengan jawaban Chayra. "Kamu mau tau dia sakit apa?"
Bukan hanya Chayra yang mengangguk, dua gadis di samping kiri dan kanannya juga ikut mengangguk.
"Dia sedang kurang sehat hati dan perasaannya karena memikirkan seorang wanita yang bernama Chayra Azzahra." Ucap Rudi cepat.
Tiga gadis di depannya diam melongo.
"Ayo, kita shalat berjamaah dulu. Nanti keburu iqomah. Jangan pikirkan laki-laki yang sedang kurang waras itu, Ayra. Nanti kamu ikut kurang waras."
Tiga gadis di depan Rudi hanya menganga tanpa menimpali ucapan Rudi. Mereka baru sadar kembali saat Rudi menepuk tangannya di depan wajah mereka. Dan Rudi langsung pergi meninggalkan mereka yang belum pulih kesadarannya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments