Pukul tiga dini hari.
Chayra segera bangkit dan beranjak dari tempat tidurnya. Dia segera bersiap untuk ke Majelis Ta'lim untuk mengikuti kajian sebelum subuh. Tapi, ada keraguan yang terbersit di hatinya. Sudah pasti Ghibran yang akan mengisi materi di kelasnya.
"Kok aku jadi deg-degan gini ya. Biasanya juga tidak kayak gini." Lirihnya pelan. Dengan sedikit ragu-ragu, ia membuka pintu pelan, berjalan meninggalkan rumah Pak Ismail menuju Majelis Ta'lim.
Sambil menunggu guru pembimbing datang. Chayra membuka Al Qur'an dan membacanya dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti berbisik. Saras dan Tania hanya memperhatikan tanpa mau menegurnya terlebih dulu karena biasanya Chayra yang menyapa mereka duluan.
"Assalamualaikum.."
Suara salam yang terucap di depan mereka membuat aktivitas mereka terhenti seketika. Mereka menjawab salam serentak lalu kembali diam.
Jantung Chayra berdetak lebih cepat ketika bertukar pandang dengan orang yang mengucap salam. Dia tersenyum melihat kedatangan Ghibran. Tapi dia juga langsung menunduk tidak berani terlalu lama menatap pria yang berjarak sekitar dua meter di depannya.
Bagaimana dengan Ghibran?
Jangan tanya lagi tentang dirinya. Jantungnya terasa seperti mau loncat dari dadanya. Perasaannya campur aduk antara gerogi, bahagia, dan entah perasaan apa lagi yang dia rasakan. Yang penting dia bahagia melihat kembali senyuman seorang Chayra Azzahra.
Ghibran masih berdiri berusaha mengalihkan perhatiannya kepada adik bimbingannya yang lain. Walaupun hatinya tidak bisa diajak kompromi dan selalu ingin mengalihkan pandangannya pada gadis yang masih menunduk di depannya.
"Apa tidak ada yang ikhlas meminjamkan sajadahnya untukku?" Ghibran bertanya sambil mencoba memfokuskan pikirannya.
Tania menyentuh tangan Chayra. Yang disentuh langsung menoleh karena terkejut. "Ada apa, Nia?" Tanyanya lirih.
Tania mendekatkan kepalanya ke dekat telinga Chyara. "Pinjamkan sajadahmu untuk Ustadz Ghibran. Kasihan dia tidak punya alas duduk."
"Bukannya kamu yang biasanya meminjamkan sajadah kamu?" Masih dengan suara berbisik.
"Karena sekarang kamu sudah jadi orang yang sepesial bagi Ustadz Ghibran. Jadi, tugasmu harus mempersiapkan sajadah untuknya." Tania kembali duduk ke tempat semula.
Chayra menarik nafas dalam lalu bangkit dan mengangkat sajadahnya. Dia menggelar kembali sajadah itu di depan Ustadz Ghibran.
"Terimakasih, Zahra."
Chayra hanya mengangguk, pura-pura cuek agar kegugupannya tidak terlalu tampak.
Saras sedikit bergeser agar Chayra bisa numpang duduk di sajadahnya. "Kamu terlihat sangat gugup, Ayra." Bisiknya
Chayra menatap Saras. "Benarkah?" Ucapnya sambil menepuk-nepuk pipinya bergantian.
Saras mengangguk. "Wajahmu bersemu merah." Bisiknya lagi.
"Astagfirullahal'adzim," Chayra menutup wajahnya. "Aku malu sekali, Saras..."
Saras tersenyum lalu menarik tangan Chayra agar berhenti menutup wajahnya. "Malu sama siapa? Teman-teman nggak ada yang lihat kok. Kita kan berada di barisan paling depan."
"Tapi yang di depan lihat kita."
Tania yang hanya menjadi pendengar melongos mendengar kalimat terakhir Chayra.
Saras kembali berbisik di telinga Chayra. "Apa kamu sudah benar-benar jatuh hati padanya?"
Chayra terkejut mendengar pertanyaan Saras. "Ihh, Saras, apaan sih?" Chayra menepis tangan Saras.
" Hmm.. apa yang sedang kalian diskusikan? Apa kalian mendengarkan apa yang saya sampaikan?" Ghibran menautkan alisnya. Menatap Saras dan Chayra dengan tatapan tajam.
"Astagfirullahal'adzim, maafkan ketidak sopanan kami, Ustadz." Ucap Chayra sambil menunduk karena merasa bersalah.
"Ustadz kan belum menyampaikan apa-apa dari tadi. Ustadz cuma diam dan kami tidak tau entah apa yang sedang Ustadz pikirkan." Celetuk seorang Santri yang duduk tepat di belakang Chayra. "Sepertinya dari tadi Ustadz sibuk memperhatikan seseorang. Atau mungkin Ustadz yang menghayal sedang mengajar kami."
Mendengar ucapan santri itu. Ghibran menautkan alisnya tidak suka. Dia langsung memperjelas dengan menanyakan pada Santri yang lain." Apa benar yang dikatakannya?"
Tania yang berada di barisan paling depan memberikan jawaban pada Ghibran dengan anggukan kepala.
"Maaf, Ustadz." Saras mengacungkan tangannya. "Saya juga menyadari kalau Ustadz belum menjelaskan apapun. Itulah mengapa saya berani mengajak Ayra ngobrol tadi."
Ghibran melongo tak percaya. Apa iya dia belum menjelaskan apapun.
"Ustadz sering menghayal akhir-akhir ini." Kata salah satu Santri lagi.
Ghibran benar-benar mati kutu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu mengusap-usap tengkuknya. Sungguh memalukan. Batinnya
Akhirnya kajian sebelum subuh tidak diisi dengan materi. Melainkan keluhan para Santri atas sikap Ghibran yang menurut mereka berubah. Berbanding terbalik dengan Ghibran yang mereka kenal dulu.
Ghibran minta maaf berulang kali. Dia benar-benar salah tingkah pagi ini. Sepertinya, besok dia akan libur dulu mengisi kelas sampai dia bisa fokus.
* * *
Usai mendirikan shalat Dzuhur, Ghibran tidak langsung kembali ke Asramanya. Dia rebahan di Masjid. Tidur terlentang, satu tangannya Ia letakkan di atas dada dan sebelahnya lagi dia gunakan sebagai penyangga kepala. Hal itu terjadi tentunya setelah para Santri kembali ke Asrama. Dia mengingat kembali kejadian tadi pagi di kelas bimbingannya. Dia menghelai nafas berat. Apakah benar kata para adik bimbingannya kalau dia telah berubah. Memikirkan hal ini membuat kepalanya jadi pusing.
Rudi yang melihat temannya sedang merenung sambil rebahan, berjalan lebih mendekat. "Tumben nggak langsung balik. Biasanya habis shalat nggak ada acara kayak gini."
Ghibran hanya melirik Rudi. "Aku lagi sibuk, Rudi. Jangan ganggu aku kalau kamu tidak mau ngambek lagi kayak kemarin."
"Dasar kamu, Ghi. Nanti kalau sudah pada tingkat andilau, hanya Rudi yang selalu setia menemanimu. Mentang-mentang sedang jatuh cinta. Kamu sekarang nggak pernah mikirin teman kamu."
Ghibran menatap Rudi. Menghela nafas berat. Bangkit lalu duduk bersila di hadapan Rudi. "Eh, Rud. Menurut kamu, apa benar aku berubah?" Tanyanya sambil menepuk paha Rudi yang juga duduk bersila.
"Menurutmu?" Rudi malah balik bertanya.
"Ck! Aku serius, Rudi."
"Tanyakan pada dirimu. Kalau kamu merasa ada yang berbeda dalam dirimu. Jawabannya akan kamu temukan sendiri."
Ghibran menarik nafas panjang. Menundukkan kepalanya berpikir keras. "Aku merasa dalam pikiranku penuh dengan nama Zahra, Rud."
"Itukan, kamu sudah menemukan jawabannya."
"Apakah sangat jelas terlihat kalau aku mencintainya?"
"Mmm.." Rudi mengangguk. "Bahkan sangat sangat jelas." Rudi balik menepuk paha Ghibran. "Aku hanya mau mengingatkan kamu, Ghi.."
"Apa?"
"Jangan terlalu mencintainya. Tidak ada orang yang bisa melarang orang untuk jatuh cinta. Akan tetapi, jatuh cintalah sewajarnya."
"Maksud kamu?"
"Aku takut kalau kamu tidak berjodoh deng..."
"Jangan katakan itu, Rud!" Gibran langsung membekap mulut Rudi.
Rudi menarik tangan Ghibran yang membekap mulutnya. "Kamu takut kan?"
Ghibran menganggukkan kepala.
"Makanya jangan jatuh terlalu dalam, nanti kamu tidak bisa bangkit. Jangan melewati batasan melebihi cintamu pada Tuhanmu."
"Aku tidak sebodoh itu, Rudi."
"Tapi kamu terlihat bodoh sekarang, Ghi. Kalau memang kamu sangat mencintainya, kenapa kamu tidak memintanya pada walinya. Katakan pada orang tuanya kalau kamu mau menghalalkannya."
"Ayahnya sudah meninggal."
Rudi terkejut. "Ja.. jadi, Ayra itu anak yatim?"
Ghibran mengangguk. "Dia juga baru kemarin lulus dari Sekolah Menengah. Dia belum cukup umur." Sambungnya.
"Tapi kamu kelihatan seperti orang ngebet mau kawin."
"Kamu berlebihan, Rudi. Nggak segitu juga. Aku sudah mengundangnya untuk bicara secara langsung kemarin."
"Terus.."
Ghibran menghelai nafas. "Dia tidak berani janji untuk menemuiku. Dia cuma bilang akan mengusahakan untuk datang."
"Kamu mengajaknya ketemuan empat mata?"
"Aku tidak segila itu, Rudi. Aku menyuruhnya datang bersama dua teman yang sering bersamanya."
"Baguslah kalau kamu tau batasan."
"Aku benar-benar ingin mengajaknya ta'aruf, Rud."
"Itu lebih baik. Tapi aku harap, mulai sekarang kamu harus belajar untuk bisa mengontrol keadaan hati kamu. Kamu sudah terlalu banyak dosa, Ghi.."
"Aku tidak pernah menyentuhnya walaupun hanya sebatas bersentuhan kulit."
Plak!
Rudi menampar pipi Ghibran. Tidak keras. Namun, hal itu cukup membuat Ghibran terkejut.
"Kenapa kamu kurang ajar sekali sama aku, Rud?"
"Baru segitu kamu sudah bilang aku kurang ajar. Lha, kamu ingat perbuatan kamu yang kemarin menyeretku tanpa rasa bersalah."
"Jangan bahas itu. Aku mau tau apa alasan kamu menamparku tadi."
"Kamu tidak menyentuhnya. Tapi ini dan ini." Rudi menunjuk mata dan dada Ghibran. "Selalu mengalirkan dosa untukmu. Kamu masih ingat kan, yang namanya zina mata dan zina hati?"
"Astagfirullahal'adzim, ampuni hamba ya Allah.." Ghibran mengusap mukanya dengan telapak tangan.
"Kamu sadar sekarang, Ghi?"
Ghibran mengangguk. "Terimakasih nasihatnya."
Rudi melongos. "Sekarang kamu bilang terimakasih. Tadi kamu bilang sedang sibuk dan tidak mau diganggu aku."
"Kamu kan tau aku senang bercanda padamu."
"Terserah kamu deh, Ghi, mau bilang apa. Ayo kita balik, aku belum makan siang."
"Aku nggak mau makan." Ucap Ghibran.
"Kenapa?"
"Aku malas masak dan sepertinya, kalau melihat Zahra sekarang. Aku berani jamin kalau aku pasti langsung kenyang." Ghibran menaik turunkan alisnya menatap Rudi.
"Dih, dasar kamu. Ayo, aku sudah masak tadi."
Wah, si Rudi Abdiansyah sekarang sudah benar-benar tidak belok lagi di perempatan jalan. Dia sudah benar-benar tobat dan nggak banyak tingkah."
"Jangan mulai lagi deh, Ghi. Kamu mau aku membatalkan traktiran makan siangnya?"
"Jangan gitu dong!"
"Makanya jangan banyak cakap. Kalau lapar, balik sekarang ke Asrama sebelum aku berubah pikiran."
"Ya Allah, Rudi, ucapanmu benar-benar sadis."
Rudi menyeringai lalu bangkit mendahului Ghibran keluar dari Masjid. "Dasar Ghibran. Dia yang jatuh cinta, kok aku yang ikut pusing." Rudi mengomel sambil berjalan meninggalkan Masjid. Ghibran yang mendengarnya hanya cekikikan seraya mengekori Rudi dari belakang.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments