Chayra menganga tak percaya. "Wah, ternyata Abah juga bisa bilang Sayang?"
Pak Ismail cengengesan mendengar pertanyaan Chayra. Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
"Abah sih, tau ada anak di depan, malah gombal." Bu Ainun salah tingkah.
"Ayra sudah dewasa, Ummi. Dia bukan anak-anak lagi." Timpal Pak Ismail.
"Waktu kecil Ayra juga sering mendengar Almarhum Bapak memanggil Ibu dengan Sayang."
Bu Ainun dan Pak Ismail tertegun beberapa saat mendengar ucapan Chayra. Bu Ainun menepuk-nepuk pundak Chayra setelah itu. "Ternyata kamu masih ingat sama Bapak kamu, Nak?"
"Tentu saja, Ummi. Siapa yang akan bisa melupakan sosok ayah sebaik Bapaknya Ayra."
"Ah, iya. Ummi sampai lupa kalau adiknya Ummi itu sangat posesif pada keluarga kecilnya." Bu Ainun kembali menatap suaminya.
"Apa?" Ucap Pak Ismail karena tidak nyaman dengan tatapan mata istrinya.
"Ayra memang bukan anak kecil, Abah. Tapi, itu..." Bu Ainun menunjuk ke arah Amrina yang sedang asyik nonton animasi anak di televisi. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan karena tidak mau larut dalam kesedihan. Mengingat Almarhum Arianto akan membuka luka lama lagi.
"Dia sedang sibuk nonton, mana ada dia dengar ucapan Abah tadi." Pak Ismail langsung peka dengan tingkah istrinya. Sudah bisa membaca perubahan raut wajah istrinya.
Chayra hanya menonton perdebatan dua orang tua di depannya.
"Abah nggak pernah mau kalah kalau debat sama Ummi. Padahal, Abah kan salah."
"Abah nggak salah kok, Ummi. Masa manggil istrinya sayang saja nggak boleh?"
Bu Ainun mendengus kesal. "Tau gini nyesel deh, Ummi ngeluarin suara tadi."
"Udah terlanjur, Ummi. Mau nyesel juga nggak ada gunanya."
"Abah!"
"Iya, Sayang..."
"Abah!" Bu Ainun semakin mengencangkan suaranya karena kesal.
"Iya, Sayang..."
Bu Ainun semakin kesal, dia berdiri lalu mencubit kedua pipi suaminya dengan gemas.
"Ampun, Ummi, ampun. Abah khilaf, janji nggak akan menggoda Ummi lagi." Pak Ismail mencoba melepaskan tangan Bu Ainun sambil terus minta ampun.
Amrina yang terganggu karena keributan yang di buat oleh kedua orang tuanya menoleh. Dia membelalakkan matanya. Terkejut melihat Abahnya sedang di siksa oleh Umminya. Dia berlari mendekat dan mencoba melerai.
"Ummi, kenapa mencubit Abah? Kasihan Abah, pasti nanti pipinya bengkak." Ucap gadis itu dengan polos.
Bu Ainun menghentikan aktivitasnya. Menatap putrinya lalu menarik Amrina duduk di atas pangkuannya. "Amrina tau kenapa Ummi mencubit Abah?"
Gadis kecil itu menggeleng.
"Abah nakal sama Ummi, Nak. Abah ganggu Ummi terus dari tadi.
"Apa?!" Amrina turun dari pangkuan Umminya. Berjalan mendekati Pak Ismail lalu duduk di atas pangkuannya. "Abah kenapa nakal?" Tanyanya dengan polos sambil mengusap-usap pipi Abahnya yang tadi di cubit dengan keras oleh Bu Ainun.
Pak Ismail tersenyum menatap putrinya. "Abah kan cuma bercanda sama Ummi, Nak."
"Tapi, Ummi kesal sama Abah. Itu..coba Abah tengok, Ummi cemberut." Amrina menunjuk ke arah Bu Ainun yang memang masih cemberut. Amrina kembali mengusap pipi Abahnya. Tiba-tiba dia mencubit dengan keras kedua pipi Abahnya.
Pak Ismail memekik kesakitan. "Aww, kenapa cubit Abah, Nak?"
Bu Ainun dan Chayra juga terkejut dengan tindakan sepontan Amrina.
Amrina turun dari pangkuan Pak Ismail dan kembali ke pangkuan Umminya. "Itu hukuman buat Abah karena sudah mengganggu Ummi."
Dia memeluk Umminya, tidak mau menatap Abahnya.
Chayra yang dari tadi hanya diam, akhirnya tidak tahan untuk tidak tertawa. "Kasihan sekali Abah. Cup, cup, cup.. jangan nangis, Abah." Chayra beralih menatap Amrina yang terlihat melirik-lirik ke arahnya. "Amrina, balas dendam yang sempurna. Ha..ha.ha.." Ucap Chayra sambil mengacungkan jempol pada Amrina.
Gadis itu ikut mengacungkan jempol. Tapi dia masih nemplok dalam pelukan Umminya.
"Ummi jangan kesal lagi ya sama Abah. Amrina sudah menghukumnya tadi." Sambil mendongak menatap Umminya.
Bu Ainun tersenyum gemas mencium pipi gembul anaknya. "Makasih, Nak. Kamu memang anak berbakti." Bu Ainun cekikikan.
Pak Ismail melongo. "Ummi, siapa yang ajarin Amrina seperti itu?"
"Makanya, Abah jangan coba-coba nakal sama Ummi. Karena pendukungnya Ummi itu banyak. Termasuk Ayra.."
Pak Ismail hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
* * *
Atas saran dari Pak Ismail malam itu. Akhirnya Chayra membalas surat Ghibran. Sudah berapa
kertas yang dia habiskan. Namun, ujung-ujungnya dia akan meremas kertas itu karena merasa isinya belum cocok.
Chayra menarik nafas dalam. Ini sudah lembar keenam. Apakah dia akan meremasnya lagi. Dia menatap kertas putih bergaris yang masih bersih itu. Belum ada goresan tinta yang mewarnai kertas itu.
Ia kembali menarik nafas dalam. Mengucap basmalah sebelum akhirnya pena di tangannya mulai menggoreskan kata-kata di kertas itu.
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokaatuh..
Maaf, kalau Ayra membuat Ustadz menunggu..
Ustadz menanyakan kabar Ayra..
Alhamdulillah, Ayra selalu dalam lindungan yang Maha Mengetahui isi hati hambanya..
Sebelumnya Ayra minta maaf..
Untuk permintaan Ustadz yang kemarin, Ayra tidak berani janji untuk menemui Ustadz..
Tapi, Insya Allah, Ayra akan usahakan untuk bisa datang..
Ayra tidak janji..
Oh, iya, Ayra hampir lupa..
Ustadz Ghibran dapat titipan salam dari Abah..
Chayra Azzahra
_ _ _ _ _
Chayra menatap secarik kertas yang sudah dia lipat sedemikian rupa.Dia sampai mencari tutorialnya di youcube. Dia beberapa kali melipat lalu membongkarnya lagi. Beberapa kali dia gagal, sampai akhirnya mendapatkan hasil yang dia inginkan.
Usai shalat subuh besok, dia berniat akan menitipkan balasannya itu lewat Saras dan Tania. Karena dia tidak akan ke Majelis Ta'lim lagi.
Subuh itu, Chayra celingukan di Masjid Santri. Dia mencari tau keberadaan dua sahabatnya. Tiba-tiba, seorang Santriwati menyapanya dan mengatakan kalau Saras dan Tania menunggunya dan menyiapkan tempat untuknya di barisan paling depan. Chayra tersenyum lalu mengucapkan terimakasih kepada santri itu.
* * *
Jantung Ghibran berdetak kencang. Dia masih menggenggam erat kertas yang diberikan oleh Saras dan Tania tadi. Padahal tadi dia sangat berharap akan berjumpa dengan Zahranya. Dia menatap kertas itu. Memutar-mutar kertas itu di telapak tangannya. Masih ada rasa ragu untuk membukanya. Dia takut, isi surat itu tidak sesuai dengan harapannya. Kembali merenung, menatap kembali kertas itu..
"Bismillahirrahmanirrahim.." Ucapnya sambil membuka dengan hati-hati. Takut tangannya salah, dan kertasnya robek sebelum dibaca isinya. Setelah berhasil membukanya dengan sempurna. Mata Ghibran tertegun. Tangannya agak bergetar membaca isi surat itu.
"Ya Allah, kapan aku akan bisa memeliki gadis ini." Lirihnya pelan. Dia mengusap muka dengan kedua telapak tangannya.
Rudi yang dari tadi pura-pura tidur langsung bangkit. Dia mendekati Ghibran yang masih duduk bersila di atas tempat tidurnya.
Gerakan Rudi tidak membuat Ghibran terusik. Dia malah bangkit berjalan keluar ruangan. Dia terus berjalan menjauh dari Asramanya dan mendekati Asrama Santri Putri.
Rudi terus mengekor di belakang. Mengikuti langkah Ghibran, kemanapun laki-laki itu melangkahkan kakinya.
Rudi mulai tidak nyaman. Karena sepertinya, Ghibran akan menuju Asrama Santri Putri.
"Ghi, ini kita mau kemana?" Tanya sambil mencoba menggapai pundak Ghibran.
"Aku tidak memintamu untuk mengikutiku." Ghibran menjawab tanpa menoleh.
"Tapi kamu sudah melewati batas wilayah."
"Kita ini bukan Santri lagi, Rudi. Kita ini sudah menjadi Pembimbing Adik Santri. Kenapa kamu masih hawatir dengan hal itu?"
"Tapi ini masih pagi. Bahkan tadi kamu tidak ikut menertibkan adik santri. Dan sekarang kamu tiba-tiba muncul di Asrama Santri Putri saat mereka sudah tertib belajar di dalam kelas."
Ghibran menghentikan langkahnya tepat di ujung kolam ikan yang menjadi pembatas masuknya wilayah Santri Putri. Dia bersandar pada pohon mahoni yang berdiri kokoh di sampingnya. Tatapannya langsung tertuju pada tiga orang gadis yang sedang duduk di sebuah gazebo di tengah kolam ikan.
Rudi menatap temannya heran. "Kamu lihat apa?"
"Kamu tau, Rud? Aku jatuh cinta pada sosok gadis yang gemar beristighfar itu." Ghibran menunjuk ke arah tiga gadis yang sedang tertawa sambil menutup mulut mereka.
Tepat saat itu terdengar suara Chayra melafadzkan Istighfar dengan suara yang agak kencang sampai terdengar di telinga kedua pria yang sedang berdiri menatap mereka.
"Subhanallah, Ghi. Kamu benar-benar jatuh cinta pada keponakannya Abah Ismail?' Ucap Rudi pura-pura tidak tau.
Ghibran mengangguk mantap. "Jantungku bahkan terasa mau meledak kalau berada di depannya. Aku bahkan jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku jatuh cinta pada semua yang ada pada dirinya. Senyumannya, caranya menjaga pandangannya. Caranya bicara." Ghibran menarik nafas berat. Dia memperbaiki posisi berdirinya. "Aku tak kuasa menahan rasa ini sendiri." Ghibran menepuk pundak Rudi. "Terimakasih sudah menemaniku sejauh ini."
Rudi menyebikkan bibirnya. "Tadi katanya tidak memintaku menemanimu. Sekarang ucaoanmu beda lagi, Ghi. Memang benar kata orang. Kalau seseorang itu sedang jatuh cinta, sifatnya akan berubah seratus delapan puluh derajat."
Ghibran tersenyum sinis. "Kata siapa? Sifatku tidak berubah kok. Cuma aku kurang fokus saja sekarang."
"Nah, itukan. Cuman, kamu terlalu gengsi mengakuinya."
"Ck! Jangan terlalu banyak omong. Ayo, kita kembali."
"Apa kamu sudah puas menatapnya?"
"Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Dia belum halal bagiku. Kalau aku menatapnya terlalu lama setan pasti akan bertepuk tangan gembira."
"Dih, sekarang baru bilang begitu. Dari tadi kau bahkan tidak berkedip saat menatapnya. Setan bukan saja sudah bertepuk tangan melihatmu. Tapi setan juga sudah bertepuk kaki."
Ghibran mengapit kepala Rudi di bawah ketiaknya. "Jangan banyak bicara, Rud. Ayo kita kembali." Ucapnya, menyeret Rudi dengan kepala masih terjepit.
"Ampun, Ghi. Lepaskan aku. Jangan sampai ada orang yang melihatmu melakukan kekerasan kepadaku."
"Nggak akan ada orang yang mendengar kesaksian seorang Rudi Abdiansyah di Pesantren ini." Ghibran melepaskan apitannya.
Rudi bernafas lega, tetapi dia langsung menatap Ghibran dengan sinis. "Kau meremehkan aku, Ghi?"
Ghibran mengangkat bahu. "Entahlah,"
"Ternyata sungguh menyebalkan bicara dengan orang yang sedang jatuh cinta." Rudi langsung mendahului langkah Ghibran. Dia menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.
"Ha..ha..ha.. kamu terlihat sangat lucu.."
"Jangan kasih komentar, Ghi. Komentarmu tidak ada gunanya untukku."
Bukannya diam, tawa Ghibran malah semakin pecah. Dia mengejar Rudi yang sudah jauh meninggalkannya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments